Tuesday, March 25, 2008

PAUH

artikel asli: http://www.presstalk.info/tajuk_harian_23%20maret08.htm

Minggu, 23 Maret 2008

PAUH

KETIKA masih bersekolah dasar di kampung dulu, malam hari kami belajar mengaji ke rumah seorang ustad. Dari rumah kami berjalan kaki cukup jauh. Usai magrib, pelajaran mengaji dimulai. Menjelang larut, seluruh murid tidur di rumah sang ustad. Subuh, shalat berjamaah, setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing.

Saya masih ingat bagaimana nenek dulu memohon kepada ustad, agar saya cucunya bisa diterima belajar. Benar-benar memohon.

Sang ustad, sangat disegani. Hampir semua murid yang mengaji kepadanya, cepat bisa membaca dan khatam Quran. Rumahnya kecil, sehingga tak banyak dapat menampung siswa.

Termotivasi oleh cerita dan wibawa sang ustad, begitu diterima menjadi murid di sana, saya begitu bersemangatnya. Pukul setengah lima petang saya sudah siap berjalan kaki, dan berharap magrib tiba di tempat ustad.

Namun sebetulnya bukan cuma belajar yang membuat saya suka. Tetapi di belakang rumah ustad ada hutan yang memiliki beberapa pohon duren yang lebat buahnya. Juga ada pauh - - sejenis mangga pipih yang buahnya besar bulat, seukuran piring makan - - wangi, manis, khas. Duren tentu banyak jenis masih dapat dijumpai di mana-mana kini. Tetapi pauh, sejak saya merantau meninggalkan kampung halaman tahun 1973 di kelas 3 SD, hingga kini tak pernah lagi bisa menyantapnya. Padahal jika dibuat jus mangga, rasanya menjadi tiada dua.

Tengah malam, bersama kawan-kawan, kami menyilinap membuka pintu. Lalu menunggu duren jatuh dari pohon berbatang tinggi. Jika dapat duren, kami langsung memukulkan ke tanah, membelah, menyantapnya.

Duren saja tidak cukup . Kami menunggu pauh jatuh. Biasanya karena hembusan angin di malam hari, buah yang berat dan matang memang berjatuhan. Karena tak membawa bekal pisau, jadilah kami serombongan delapan orang memakan pauh bagaikan beruk menguis. Hmm yummy!

Laku demikian bukan tak diketahui oleh sang ustad. Namun, ia tak pernah bertanya. Padahal jika shalat subuh berjamaah pastilah, sang ustad mencium aroma mulut kami yang seragam. Sekalipun ia tak pernah menegur kami. Ia seakan tak peduli. Ia Cuma dipastikan marah, bila kami tak bisa cepat membaca. Bahkan jika ada hafalan, diminta membaca lalu tak bisa, siap-siap jari biru kena rotan.

Ustad memang punya semacam cambuk rotan. Tetapi entah mengapa kala itu, kami tak merasa takut dirotan. Situasi dan atmosfir belajar dan mengajar dibuat ustad menyenangkan. Dan lebih menyenangkan, tentu keluar malam mencari buah itu.

Ustad yang sehari-hari menggarap sawahnya di ladang, suatu hari pernah ditawari menjadi kepala nagari - - semacam kepala desa, kini di Pemda Sumatera Barat, nagari sudah dihidupkan kembali. Ustad ini memilih tidak berkenan. Ia bilang tugasnya membagi ilmu agama saja. Sesekali, selain sibuk mengajar kami, ia datang memenuhi undangan selamatan warga. Ia memimpin membaca doa.

Ustad orangnya ramah. Suaranya berat, pelan. Ketika AA Gym mulai terkenal dulu, kerinduan saya muncul kepada ustad yang di kampung dulu. Sabar, tidak pernah berambisi menjadi macam-macam.

Suatu hari ia berpetuah, orang harus bekerja di bidangya. Dan harus berprestasi. Baginya menghasilkan anak-anak kampung mampu mengaji, mampu menerjemahkan ayat Al Quran, sudah merupakan kebahagiaan. Baginya, itulah sebuah konsep kebahagiaan, yang bila berwujud, menjadi segalanya. Ia berusaha menjadi tauladan.

Saya masih merekam segala tindak, laku ustad mencontohkan sikap. Bukan hanya kata. Memori itu seakan enggan pergi.


PUKUL 06.45 di bilangan Sultan Agung, Jakarta Selatan. Di perempatan jalan Halimun menuju Menteng, Jakarta Pusat hampir tiap hari saya perhatikan bapak-bapak di motor membonceng anaknya berseragam sekolah. Sang bapak tanpa dosa menabrak lampu merah.

Laku menabrak lampu merah itu di Jakarta kini, seakan mewabah. Mereka tanpa peduli. Entah mengapa begitu. Apakah ada korelasinya semacam unjuk gigi, jengkel dengan keadaan, jengkel melihat laku pemimpin yang tidak berpihak kepada rakyatnya? Sehingga di level receh, menjadi pelampiasan dengan melanggar aturan lalu lintas.

Di saat menyaksikan hal demikian setiap pagi, benak saya selalu merekam wajah ustad di kampung dulu. Gila benar bapak yang menabrak lampu merah itu, dengan anak berseragam sekolah di boncengannya.

Pepatah mengatakan guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Nah bila orang tua menabrak lampu merah di jalanan, anak-anak …, silakan Anda lanjutkan.

Suatu hari ketika berpamitan hendak merantau, ustad di kampung dulu berpetuah kepada saya.

“Jika orang berbuat baik sama kita, kita harus berbuat baik sama orang.”

“Pun jika orang berbuat tidak baik kepada kita, kita tetap harus berbuat baik kepada orang itu”

Kala itu saya protes si ustad. Bagaimana bisa harus berbuat baik, jika sudah disakiti. Kala itu suara ustad yang berat agak meninggi, “Ya harus tetap begitu!”

Di liburan hari agama memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dan Paskah di penghujung pekan ini, saya mendapatkan sebuah tulisan bagus yang ditulis oleh Paulus Bambang WS, Vice President PT United Tractors Tbk, penulis buku Built to Bless itu, di www.wartaekonomi.com.

Ia memaparkan tentang laku kekuasaan, berikut penggalannya yang saya copy paste-kan:

“Ketika sampai di puncak yang paling tinggi, tidak ada lagi pemandangan di atas. Yang ada adalah panorama di bawah. Di sanalah tempat yang paling baik untuk berpikir, apa yang dapat diperbuat untuk yang ada di bawah.”

Mencapai puncak adalah impian semua orang. Entah itu puncak kekayaan, prestasi, posisi, atau puncak gunung dalam arti harfiah.

Impian tentang berada di puncak membuat banyak orang menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Keinginannya hanya satu: di puncak, ia bisa melampiaskan segala keinginan tanpa ada orang yang melawannya. Di sanalah perkiraan banyak orang tempat bertahtanya absolute power dan absolute pleasure yang tak mungkin dirasakan ketika berada di lembah atau lereng. ”Tunggu, kalau saya jadi presiden, bupati, wali kota, atau presiden direktur,” begitu impian banyak orang.

Motivasi untuk meraih kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan bagi dirinya menyebabkan seseorang yang sudah berada di puncak enggan turun. Jangankan transfer of knowledge, kalau ada pesaing yang akan muncul dan berpotensi menggesernya dia akan segera melakukan politik bumi hangus.

Ketakutan akan lengser membuatnya membangun barikade tembok yang sebenarnya makin mengucilkan dirinya sendiri. Ia makin tersendiri di sana. Ia berada di puncak kesepian, walau bergelimang segala yang dibutuhkannya. Ini adalah manusia yang terjangkit penyakit At the TOP Point Sickness (ATPS).

Pengidap penyakit kronis ini, walaupun ia sudah di puncak, matanya tetap menengadah ke atas. ”Di atas puncak Taysan masih ada puncak Himalaya,” begitu filosofinya. Jangankan merasa puas, ia justru makin merasa haus seperti meminum air laut.

Kalau pemimpin terjangkit penyakit ini, ia tak akan pernah memikirkan bawahannya. Pikirannya hanya tertuju pada dirinya sendiri dan kolega di sekeliling yang terbiasa menjilatnya, dan membuatnya terbuai oleh angin puncak. Tak pernah terbayangkan betapa sulitnya para bawahan mendukungnya agar sampai di puncak. Buat dia, ”itu sudah seharusnya” atau ”mereka sudah dibayar untuk itu”. Ia merasa di puncak karena kompetensi dan kinerjanya sendiri, yang lain hanya disebutnya sebagai supporting unit.

Kalau penyakit ini sudah berubah jadi akut, maka ia mudah kalut ketika badai besar melanda di puncak. Ia tidak sadar bahwa makin tinggi, angin juga bertiup makin kencang. Kala topan sudah melanda, maka seluruh pendukung dan bawahannya akan berusaha menyelamatkan diri sendiri. ”Bukankah cuma segini bayarannya?” atau ”Itu tidak termasuk dalam job description.” Senjata makan tuan. Dia menuai apa yang ditanamnya.

Beruntung, banyak pemimpin yang tak terkena penyakit ATPS ini. Salah satu tokoh yang melegenda adalah Sir Edmund Hillary dan sekondannya, Sherpa Tenzing Norgay. Pada 29 Mei 1953 keduanya membuktikan kualitas manusia yang mencapai puncak bukan untuk dirinya sendiri. Bertahun-tahun tertutup rapat tentang siapa yang pertama kali menginjakkan kaki di puncak, agar tidak menimbulkan polemik. Sejarah kemudian mencatat keduanya sebagai dwitunggal penakluk Everest yang pertama.

Rahasia itu baru terkuak setelah Sherpa Tenzing Norgay mengungkapkannya dalam bukunya The Answer to the Great Mystery. Dia jujur mengatakan bahwa Sir Hillary-lah yang pertama. Sebagai penunjuk jalan, ia tahu fungsinya. Tujuannya bukan menjadi yang pertama di puncak, melainkan mengantarkan tuannya ke puncak. Ketika hampir sampai di puncak, Sherpa mempersilakan Sir Hillary untuk mendaki lebih dahulu. Ia mengikutinya dari belakang. ”You did it Mr. Hillary. Congratulation.”

Sir Hillary memang menjadi manusia pertama, tetapi itu karena sikap Sherpa Norgay yang tidak terkena ATPS. Sir Hillary juga menunjukkan kualitasnya sebagai seorang ”Sir”, yakni mengakui bahwa keduanya bersama sampai di puncak. ”No, we did it Norgay.” Ia tak ingin menikmati ketenaran sendiri.

Ia berbagi dengan sekondannya—suatu keputusan pemimpin yang sudah jarang ditemui pada zaman ini. Berbagi dengan bawahan atas sebuah kesuksesan, ini bukan cerita fiksi. Itu fakta yang masih terjadi di dunia nyata, bahwa ada manusia yang tak ingin berada di puncak sendirian. Ada yang masih ingin berbagi ketenaran. Prestasi bukan untuk prestise individu.

Ketika ATPS tidak menjangkiti petinggi macam begini, muncullah semangat At the TOP Point Desire (ATPD). Sir Hillary melihat dunia lain di puncak sana. Keterbelakangan, kemiskinan, dan ketidakberdayaan kaum Sherpa. Di puncak, ia tidak mendirikan batu loncatan untuk meraih puncak lain, tetapi membuat batu karang untuk fondasi perbaikan masyarakat sekitar.

Yayasan Himalaya didirikan Sir Hillary tujuh tahun kemudian. Pendidikan menjadi prioritas utama. Setidaknya ada 27 sekolah, dua rumah sakit, dan belasan pusat kesehatan didirikannya. Ribuan Sherpa telah menjadi ”Sir”. Artinya, dari seorang yang terbelakang, dia bisa menjadi dokter. Dulu hal itu bagi kalangan Sherpa adalah bak impian di siang hari bolong. Jangankan sekolah, bertahan hidup tanpa sakit saja sudah merupakan anugerah.

Petinggi yang ”terjangkiti” semangat Sir Edmund Hillary Spirit (SEHS) akan mengubah komunitas dan bahkan negara secara dramatis dan revolusioner. Ia ingin berada di puncak untuk menyejahterakan mereka yang berada di lereng atau lembah. Ia mampu melihat peluang untuk tampil dan berkontribusi buat pendukungnya. Tidak terpikirkan konsep ”return on investment” atas biaya pilkada yang mencekik lehernya.

Kalau para petinggi berpikir seperti itu, pilkada menjadi makin asyik. Bukan adu janji, melainkan adu bukti. Bukan pamer promosi, melainkan pamer prestasi. Semoga SEHS ini menjangkiti organisasi, bahkan komunitas dan negara kita. Hanya perlu waktu, dan kita akan merasakan negara yang ”adil dan makmur” serta ”gemah ripah loh jinawi”. Ini bukan mimpi. Selamat datang ”Sir”.

SIKAP Sherpa Tenzing Norgay dan Sir Hillary memberikan pembelajaran dalam. Anda tentu melihat langgam sebaliknya terjadi di kekuasaan kita kini. Di semua lini, orang ingin berkuasa.

Mereka yang pernah menjadi menteri di zaman Soeharto dulu, kini berusaha menjadi Gubernur di daerah, macam laku Abdul Gafur.

Tidak boleh?

Tentu sah!

Mantan menteri di kabinet lalu, ada pula yang jadi Bupati di Depok kini. Rano Karno, yang terkenal karena keproduserannya di Si Doel Anak Sekolahan itu, kemarin baru saja dilantik menjadi wakil bupati Tangerang. Apakah ia ke depan juga ancar-ancar menjadi calon gubernur DKI, bisa jadi.

Yang pasti mantan menteri lain, Agum Gumelar dan artis Dede Jusuf , mencalonkan diri menjadi Gubernur Jawa Barat kini.

Kawan saya artis Marisa Haque, kian asyik saja ke sana ke mari memperkarakan Gubernur Banten terpilih, Atut, yang katanya terindikasi berijazah palsu. Entah sampai kapan ia meradang.

Tapi anehnya, kini saya belum melihat tokoh dan orang yang seakan kehausan jabatan itu, melakukan revolusi macam tulisan Paulus Bambang WS ihwal dua sosok penakluk Himalaya di atas.

Setelah berkuasa, mereka semua menjadi selanggam seirama. Di tengah daya beli melemah, di tengah harga bahan pangan, susu bayi, dan obat-obatan serta biaya sekolah melambung, mereka semua tetap enak menikmati berbagai gaji dan fasilitas negara dari uang rakyat.

Mereka tak berani misalnya untuk naik mobil daihatsu Ceria, yang untuk ukuran jalanan macet di Jakarta, menjadi mobil paling rasional, misalnya. Jika usulan ini mereka baca, mereka seakan menjawab koor senada, ”Kan ada aturan protokol yang mengatur fasilitas.”

”Gila apa elo, gue kan pejabat!”

Mungkin begitu jawab mereka.

Bila hadapkan kepada situasi demikian, saya lebih baik membayangkan nikmatnya rasa pauh, yang kini bibitnya tiada itu. Ia hilang dimakan oleh laku kufur nikmat, yang tidak memelihara aset flora bangsa.

Seakan bermimpi pula saya bertemu dengan orang macam Sjahrir dan tokoh pendiri bangsa ini, macam Hatta, yang di tahun 1972, di saat pensiun di Jakarta, belum memiliki rumah pribadi. Hatta juga tak pernah bertanya kepada negara, kenapa gajinya selama sepuluh tahun terakhir tidak pernah dinaikkan negara.

Ada sikap, ada rasa tabu, ada rasa malu di hati Hatta.

Sayang memang, urat malu para pemimpin bangsa di berbagai lini dan otoritas negara kini, seakan putus saja, seakan lenyap laksana pauh, yang tidak lagi bisa saya kuis macam kanak-kanak dulu.

Iwan Piliang

4 comments:

  1. Bacaan yang bagus. Tadinya saya buka karena judul Pauh-nya mengingatkan saya pada gulai ikan Pauh. Kalau ke Padang, gak lengkap kalau gak mampir di gulai ikan Pauh. Lezatnya itu lho..... eee malah ngelantur ke makanan. BTW, it's a very nice sharing.

    ReplyDelete
  2. *terdiam, membayangkan lezatnya gulai ikan pauh*

    no problemo, lha wong bukan tulisan saya lho, Mas (^^)

    ReplyDelete
  3. Mas Ari, kata yang punya restoran, gulai ikan pauh ini dimasak selalu segar. Dia hanya masak ikan yang ditangkap kurang dari satu hari dan didapat hanya dari perairan tertentu di sekitar Pauh (katanya sih ini nama daerah di sekitar Padang Pariaman atau Pasaman - SumBar).

    (sengaja bikin Ari tambah tergiur....)

    ReplyDelete
  4. duh *dezigh*
    kapan yah Dinas Liar -eh- Dinas Luar ke SumBar..?
    *ngiler dot com*

    ReplyDelete