Friday, March 21, 2008

Kompas: Perangkap Impor dalam Krisis Pangan

PERDAGANGAN KOMODITAS
Perangkap Impor dalam Krisis Pangan

Rabu, 19 Maret 2008 | 01:05 WIB

ANDREAS MARYOTO

[photo caption]
Seorang Ibu menyapu ceceran beras di tengah aktifitas angkut karung beras impor Bulog patahan 15 persen dari gudang Bulog DKI Jakarta. Dikawasan Kelapa Gading, ke Truk yang akan mendistribusikan ke Pasar innduk Bersa Bertsa Cipinang. Jakarta , Selasa (5/2).

Warto Gultom terus mengendarai becak motor di jalanan Kota Medan. Dari pekerjaan itulah uang ia dapat. Setiap hari ia menjalankan becak itu. Namun, kenaikan harga kebutuhan makin ”mengecilkan” pendapatannya itu. Harga barang kebutuhan dirasa makin mahal, sementara pendapatan tetap saja alias tak berubah.

Warto dan jutaan penduduk Indonesia harus menerima nasib. Harga barang kebutuhan pokok, mulai dari beras, minyak, tahu, tempe, dan daging, terus membubung naik. Sepertinya tidak ada hubungan antara penderitaan mereka dan kesalahan pemerintah dalam mengambil kebijakan. Padahal, akar semuanya adalah kegagalan pemerintah dalam melihat masalah dan mengambil keputusan mengenai persoalan pangan sejak beberapa tahun lalu.

Lebih dari enam tahun lalu organisasi petani, peneliti, dan juga pengamat telah mengingatkan soal perangkap pangan impor menyusul liberalisasi ekonomi pascakrisis ekonomi. Saat itu kecenderungan mengimpor komoditas pertanian terjadi karena hanya melihat harganya lebih murah tanpa melihat kemungkinan jebakan impor itu. Akibatnya, saat ini ketergantungan pada produk impor makin parah karena produksi dalam negeri telanjur rusak.

Krisis harga pangan yang sekarang muncul merupakan hasil dari produksi pangan yang tidak mendapat insentif dan adanya upaya sistematis perangkap impor dari negara produsen. Komoditas mulai dari beras, daging sapi, jagung, dan bahkan paha ayam sudah lama diincar oleh produsen asing untuk dimasukkan ke Indonesia hingga menciptakan ketergantungan.

Di level mikro upaya sistematis itu bisa terlihat dalam perdagangan kedelai. Harga selalu ditekan. Langkah yang dilakukan pedagang kedelai impor adalah menjual kedelai impor sekitar Rp 500 di bawah harga kedelai lokal. Semisal pada tahun 2002, saat harga kedelai lokal Rp 2.600 per kilogram, pada saat yang sama pedagang kedelai impor tersebut membayangi harga kedelai lokal itu dengan harga Rp 2.100 per kilogram.

Dalam sebuah kesempatan Ketua Dewan Pembina Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo mengatakan, cara-cara seperti itu dipastikan membuat petani kedelai lokal frustrasi. Mereka tidak lagi mau menanam kedelai karena selalu ditekan oleh kedelai impor. Dengan harga Rp 3.000 saja, petani hanya mendapat keuntungan yang minim karena biaya produksi saat itu di atas Rp 2.200 per kilogram.

Persoalan kedelai ini sebenarnya sudah muncul sejak lama karena lahan kedelai terus merosot. Pada tahun 1984 saat Indonesia mencapai swasembada pangan jumlah areal lahan kedelai sekitar 1,6 juta hektar dengan produksi 1,8 juta ton, tetapi pada tahun lalu lahan hanya tinggal sekitar 362.000 hektar dengan produksi kedelai hanya sekitar 700.000 ton.

Di level makro upaya pemerintah untuk memberi insentif bagi petani agar memproduksi kedelai juga sama sekali tidak berjalan. Pengenaan bea masuk sebesar 10 persen juga tidak menolong petani. Tekanan kebutuhan lahan untuk nonpertanian juga mengurangi areal lahan tanaman kedelai. Kasus khusus untuk lahan kedelai di Aceh yang juga merupakan sentra kedelai juga berkurang akibat situasi keamanan yang tak menguntungkan sehingga petani tidak bisa menanam kedelai.

Di samping itu, permainan pedagang di level internasional juga perlu disoroti. Dalam kaitan ini bukan hanya soal kedelai, melainkan juga komoditas lain. Mereka memang sengaja untuk membuat perangkap impor sehingga mereka mendapatkan pasar yang luas. Dengan penduduk mencapai 210 juta jiwa, Indonesia merupakan pasar yang sangat besar.

Sebuah artikel di koran Financial Time beberapa waktu lalu menceritakan bagaimana perusahaan-perusahaan multinasional komoditas pertanian membuat jaringan dan lobi untuk pemasaran produk mereka. Di Amerika Serikat kampanye presiden menjadi awal dari lobi-lobi itu. Mereka akan membuat jaringan di level kebijakan dan diplomasi internasional.

Selanjutnya semisal Presiden Indonesia berkunjung ke Amerika Serikat, mereka akan diundang untuk jamuan makan malam. Sebenarnya tidak ada yang aneh, tetapi jamuan makan malam biasanya ditindaklanjuti dengan komunikasi bisnis. Dalam komunikasi ini, biasanya diutarakan berbagai keinginan-keinginan para produsen produk pertanian hingga mengeluhkan sejumlah kebijakan yang dirasa bisa menghalangi bisnis mereka di Indonesia.

Tidak ada yang aneh dari permintaan para pebisnis ini. Yang menjadi aneh adalah respons pejabat di Indonesia yang kadang berlebihan sehingga kadang malah merugikan kepentingan di dalam negeri. Para pejabat atau diplomat kita kadang ketakutan berlebihan hingga tidak sedikit yang memenuhi permintaan mereka.

Kesaksian mantan Dirjen Peternakan Sofjan Sudardjat dalam salah satu bukunya bisa menggambarkan kejadian itu. Pada tahun 2001 pejabat AS berkunjung ke Indonesia. Di dalam salah satu kunjungannya itu pejabat AS tersebut mengutarakan keluhan sejumlah hal, termasuk di antaranya penolakan paha ayam AS oleh Indonesia. Pejabat ini sebenarnya menampung keluhan kalangan produsen ayam yang tak bisa memasukkan paha ayam itu karena Indonesia meragukan masalah kehalalannya.

Permintaan yang sederhana ini sampai harus dijawab di level menteri koordinator hingga terjadi perdebatan yang sangat sengit antardepartemen. Kalangan Departemen Perdagangan dan Perindustrian kala itu mencemaskan akan terjadi aksi pembalasan oleh AS jika Indonesia tetap ngotot menolak masuknya paha ayam. Saat itu Departemen Pertanian tetap dengan pendirian bahwa paha ayam tidak bisa masuk terkait dengan kehalalan produk itu.

Pada akhirnya paha ayam itu tidak masuk ke Indonesia. Diplomasi yang lebih cantik bisa dilakukan dan AS bisa diyakinkan terkait dengan soal kehalalan itu. Bisa dibayangkan apabila paha ayam itu masuk ke Indonesia, industri unggas di dalam negeri akan hancur alias masuk ke dalam jebakan impor itu.

Apalagi beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2005, dalam buku Fast Food Nation karya Eric Schlosser memperlihatkan betapa produsen ayam asal AS memang mengincar sejumlah negara, termasuk di dalamnya disebut Indonesia, untuk dijadikan pasar paham ayam atau yang di kalangan internasional disebut chicken leg quarter (CLQ).

Kesaksian Sofyan Sudardjat juga memperlihatkan cara-cara kotor dilakukan oleh produsen internasional. Tahun 2003 dalam kasus 57.000 domba asal Australia yang ditolak oleh Arab Saudi karena diketahui berpenyakit beberapa pelobi di Indonesia melakukan berbagai cara agar masuk ke Indonesia. Bahkan, seorang pejabat di daerah mendukung agar hewan itu diterima. Namun, ketegasan Departemen Pertanian berhasil menolak produk itu.

Di samping upaya-upaya di dalam negeri untuk meningkatkan produksi komoditas pertanian yang memang harus bisa diwujudkan, diplomasi internasional untuk menghadapi perundingan-perundingan perdagangan komoditas pertanian juga harus ditingkatkan. Menghadapi para pelobi internasional membutuhkan keyakinan diri dan juga argumentasi yang memadai.

Setiap saat para produsen komoditas pertanian dari luar negeri selalu berusaha membuat perangkap impor. Mereka ingin agar Indonesia bergantung pada komoditas pertanian impor karena Indonesia tergolong pasar yang besar.

---

sumber asli: Kompas / Sorotan
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.19.01053557&channel=2&mn=234&idx=234

foto asli : Kompas / Riza Fathoni / Kompas Images
http://www.kompas.com/data//photo/2008/03/19/2695327p.jpg

1 comment:

  1. artikel di atas adalah menarik dari kompas

    quote:
    Lebih dari enam tahun lalu organisasi petani, peneliti, dan juga pengamat telah
    mengingatkan soal perangkap pangan impor menyusul liberalisasi ekonomi
    pascakrisis ekonomi. Saat itu kecenderungan mengimpor komoditas pertanian
    terjadi karena hanya melihat harganya lebih murah tanpa melihat kemungkinan
    jebakan impor itu. Akibatnya, saat ini ketergantungan pada produk impor makin
    parah karena produksi dalam negeri telanjur rusak.

    untuk beberapa kasus seperti ketika stok sedikit, impor wajar dilakukan sebatas untuk menjaga ketersediaan supply, bila tidak ada kebutuhan itu, maka artinya diantara 2: 1) ada yang sedang mencari untung, dan 2) menjaga hubungan baik. pertanyaan lanjutannya tentu adalah: hubungan baiknya siapa ?
    -duh, prasangka buruh aja nie ;p

    dari sisi konsumen, benar bahwa konsumen akan diuntungkan dengan adanya pilihan produk (yang lebih) murah. akan tetapi bila terus2an memanjangan kepentingan konsumen dengan cara yang seperti ini terus, pada suatu saat, akan tiba waktunya para pengusaha/peternak/petani prooduk lokal yang terjepit dan supply turun. jalan paling mudah adalah: memperbesar import produk asing terkait. ketika produk asing menjadi penguasa produk, apakah mereka akan memikirkan kepentingan kantung konsumennya ? masih, sepanjang ada pesaing yang hampir sama kuat pengaruhnya, apakah itu produk yang sama, atau produk substitusinya. kalau pesaingnya tidak ada lagi, maka konsumen yang jadi sapi perah.

    namun, hukum ekonomi ini tidak hanya terjadi untuk barang impor, tapi juga untuk lokalan.
    ada lagi faktor lain yang imho menentukan soal harga, yakni mitra lokal yang menguasai (pemegang hak) pemasaran produk2 impor tersebut. maksud saya, dalam contoh di atas saya menggunakan contoh bila minimal ada 2 merek produk yang sama atau substitusi, tapi itu ngga akan terjadi bila keduanya ada di tangan sole-distributor atau hanya beberapa importir/distributor resmi yang ditunjuk entah dengan cara bagaimana.

    kesimpulan akhir, kita ini ngga cuma salah membaca perangkap dalam impor produk, tapi mungkin juga salah karena masih menggunakan jasa "pedagang perantara" yang 4L (lu lagi lu lagi), atau mungkin juga karena ketiadaan aturan yang melarang penguasaan sebuah kelompok produk tertentu di tangan sebuah atau sekelompok pengusaha yang mampu mengendalikan harga.
    PS: maksud saya produk, yah.. bukan merek (^^)

    mungkinkah demikian dalam kasus harga2 (produk pangan) di indonesia ? cmiiw pls

    ReplyDelete