Friday, October 31, 2008

Kemenangan Obama Bagus bagi Indonesia?

URL link http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/31/10023283/kemenangan.obama.bagus.bagi.indonesia

/Home/Internasional/Road to White House
Kemenangan Obama Bagus bagi Indonesia?
 
Jumat, 31 Oktober 2008 | 10:02 WIB

Oleh Bara Hasibuan

Pemilihan Presiden Amerika Serikat kali ini dinantikan dengan antusiasme tinggi oleh banyak kalangan di Indonesia. Antusiasme itu sangat beralasan. Belum pernah terjadi sebelumnya seseorang yang memiliki hubungan historis yang begitu kuat dengan Indonesia menjadi kandidat salah satu partai dan bahkan mempunyai kans yang sangat besar untuk menang.

Banyak kalangan di Indonesia juga menyimpulkan bahwa jika Barack Obama benar-benar terpilih menjadi Presiden AS, secara otomatis hubungan bilateral Indonesia dan AS akan berubah secara dramatis, dalam arti lebih dekat dan menguntungkan Indonesia.

Namun, betulkan begitu? Apakah hanya karena Obama pernah tinggal di Indonesia selama beberapa tahun semasa kecilnya, maka sebagai presiden, ia akan memberikan perhatian ekstra terhadap Indonesia? Satu hal yang pasti, kebijakan luar negeri bukan ditentukan oleh romantisme, melainkan prioritas dan kepentingan strategis.

Masalahnya kita tidak bisa menduga sampai seberapa strategis Indonesia bagi Obama karena Indonesia sebagai isu tidak pernah sekali pun disinggung selama masa kampanye, baik itu di dalam debat maupun pidato. Di dalam sebuah pidato kebijakan luar negeri yang paling komprehensif yang disampaikan Obama tahun lalu di Chicago, Indonesia hanya disinggung satu kali dan itu pun bukan di dalam konteks kepentingan strategis AS.

Rencana kebijakan luar negeri Obama, seperti yang tercantum di dalam situs web kampanyenya, hanya menyatakan bahwa ia akan seek new partnerships in Asia (mencari kerja sama-kerja sama baru di Asia) tanpa menyebutkan secara spesifik negara-negara mana saja di Asia yang akan diberikan prioritas baru.

Satu-satunya referensi serius yang Obama pernah kemukakan mengenai Indonesia adalah dalam konteks masa kecilnya yang ia pernah habiskan di negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Hal itu memberikannya perspektif yang paling unik dibandingkan dengan kandidat-kandidat lainnya untuk menghadapi salah satu tantangan utama yang akan dihadapi oleh Presiden AS nantinya, yaitu memperbaiki citra AS di dunia Muslim.

Kalau proses kampanye tidak dapat dijadikan ukuran bagaimana seorang kandidat memandang satu isu tertentu, cara lain yang bisa dilakukan adalah melihat rekor kandidat tersebut selama karier politiknya, yang dalam konteks Obama adalah posisinya sebagai senator. Sayangnya, itu juga tidak mudah untuk menyimpulkan nilai strategis Obama bagi Indonesia.

Tidak banyak orang di Indonesia—atau bahkan di AS—yang sadar bahwa Obama sebetulnya duduk di Subkomisi Asia Timur dan Pasifik di Komisi Hubungan Internasional Senat, subkomisi yang mengover isu-isu Indonesia. (Di Kongres AS setiap komisi dibagi lagi menjadi subkomisi berdasarkan isu-isu spesifik dan setiap senator/anggota kongres duduk di lebih dari satu komisi). Namun, walaupun begitu, Obama selama ini tidak dikenal sebagai senator yang mengangkat isu Indonesia.

Betul, walaupun kalau berbicara soal prioritas atas Asia di Kongres AS, isu Indonesia kalah dibandingkan dengan China, Korea Utara, Afganistan, India, dan Jepang. Ada beberapa senator dan congressmen (anggota House of Representatives-DPR) yang dikenal sering mengangkat isu Indonesia, apakah itu dalam arti kritis ataupun supportive. Sebut saja Senator Kit Bond, Senator Patrick Leahy, congressman Eni Faleomavaega dan congressman Robert Wexler.

Tidak jelas kenapa Obama tidak pernah menggunakan keanggotannya di SubKomisi Asia Pasifik untuk mengangkat isu-isu Indonesia. Dengan ikatan historis sebesar itu, Obama seharusnya bisa memosisikan dirinya sebagai sekutu Indonesia di Kongres. Satu hal yang mungkin, dari awal kariernya sebagai Senator—yang ia mulai Januari 2005—Obama sudah mulai memikirkan kemungkinan untuk maju sebagai calon presiden pada pemilihan tahun 2008 sehingga ia tidak ingin terlalu diasosiasikan dengan Indonesia. Atau, yang lebih mungkin, bagi Obama, Indonesia tidak memiliki nilai strategis dibandingkan dengan prioritas kebijakan luar negeri lainnya.

Memang dapat dipastikan siapa pun yang memerintah AS nantinya—Obama sekalipun— prioritas kebijakan luar negeri AS pada umumnya tidak akan berubah. AS tetap akan terkonsumsi pada isu-isu yang selama ini menyedot perhatian pemerintahan Bush, seperti situasi di Irak, masalah program nuklir Iran, penyelesaian konflik Israel-Palestina, terorisme global, isu keamanan energi, serta makin agresifnya Rusia sebagai kekuatan ekonomi dan militer.

Secara gaya dan pendekatan betul akan terdapat perbedaan fundamental kalau Obama yang menang, di mana prinsip multilateral lebih ditekankan. Namun, secara prioritas tidak akan ada perubahan dramatis.

Secara spesifik mengenai Asia, kebijakan luar negeri AS nantinya akan tetap pula didominasi isu- isu klasik, seperti berkembangnya China sebagai sebuah kekuatan ekonomi dan militer, penyelesaian isu program nuklir Korea Utara, instabilitas di Pakistan dan Afganistan, serta berkembangnya India sebagai kekuatan ekonomi. AS juga tetap akan mempertahankan hubungan dengan sekutu-sekutu tradisionalnya di Asia Pasifik, yaitu Jepang, Korea Selatan, dan Australia.

Kongres

Faktor lain yang harus diperhatikan adalah Kongres, institusi yang juga memiliki otoritas dan peran penting di dalam menentukan arah kebijakan luar negeri AS melalui apa yang sering disebut sebagai power of the purse (kekuatan dompet) atau diartikan dengan kekuatan melalui fungsi budgetingnya. Sering sekali Kongres mengeblok suatu alokasi dana atas program atau bantuan untuk negara tertentu, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu atas program IMET untuk Indonesia. Dalam memberikan persetujuan terhadap alokasi dana, Kongres juga selalu mencantumkan kondisi-kondisi yang menyebabkan ruang gerak pihak eksekutif di dalam memainkan politik luar negeri sering terbatas.

Setelah pemilihan tahun 2008 nanti. hampir pasti Kongres tetap akan dikuasai oleh Partai Demokrat (bahkan dengan jumlah kursi yang lebih banyak). Itu berarti isu-isu seperti hak asasi manusia, peran militer dan buruh, yang selama ini sering mengganjal hubungan bilateral AS dan Indonesia, mungkin akan tetap muncul.

Betul salah satu yang membuat rakyat AS tertarik dengan Obama adalah bahwa, sebagai presiden, ia akan mempunyai kemampuan untuk memobilisasi dukungan dari Kongres, tidak hanya dari anggota-anggota Partai Demokrat, tetapi juga Partai Republik. (Satu hal yang membuat rakyat Amerika muak dengan para politisi di Washington adalah dominannya semangat partisan sempit di proses politik sehingga sering terjadi gridlock atau kemacetan). Namun, belum bisa dipastikan apakah sebagai presiden, Obama akan mampu untuk mengubah posisi anggota-anggota partainya sendiri atas isu-isu yang secara tradisional melekat pada mereka. Tidak dapat dipastikan apakah Obama bersedia untuk memengaruhi anggota Partai Demokrat atas isu yang bukan merupakan prioritas pemerintahannya.

Yang juga penting untuk dicatat, secara ideologis Obama adalah seorang liberal. Bahkan, ia dinobatkan sebagai senator yang paling liberal pada tahun 2007 oleh majalah National Journal. Dengan begitu, secara prinsipil dan insting kemungkinan akan sulit baginya untuk tidak mengacuhkan isu-isu seperti hak asasi manusia dan buruh.

Selama masa kampanye pun, terutama selama proses nominasi Partai Demokrat, Obama beberapa kali mengeluarkan statemen bahwa sebagai presiden, ia akan mencantumkan isu-isu buruh dan hak asasi manusia sebagai kondisi penting dalam menyusun perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain. Ia juga pernah mengkritik tajam berbagai perjanjian perdagangan bebas yang sudah ditandatangani AS, termasuk yang paling penting Area Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) karena kurang memerhatikan isu-isu buruh. Bahkan, ia juga pernah menyatakan, jika terpilih sebagai presiden, ia akan melakukan review atas berbagai perjanjian perdagangan bebas AS yang tidak memerhatikan isu-isu buruh.

Prospek kemenangan Obama

Meskipun demikian, prospek terpilihnya Obama akan tetap merupakan sesuatu yang menggairahkan. Dibandingkan dengan calon dari Partai Republik, John McCain, tidak dapat dibantah Obama-lah yang paling dapat memperbaiki image global AS secara cepat. Ia mempunyai aset yang sangat dahsyat, yaitu latar belakang dan wajahnya. Aset inilah yang merupakan manifestasi dari the new America yang plural dan berdasarkan prinsip siapa pun dengan latar belakang apa pun punya kesempatan untuk maju.

Aset inilah yang juga dapat direpresentasikan soft power AS untuk menghadapi tantangan terbesar yang akan menghadapi pemerintahan AS baru nanti, yaitu bagaimana memenangkan hati dan pikiran banyak pihak di dunia, termasuk di Indonesia, yang selama ini teralienasi oleh berbagai kebijakan kontroversial pemerintahan Bush.

Bayangkan efek yang dapat diciptakan atas citra AS ketika Obama sebagai presiden datang ke Indonesia dan mengunjungi bekas sekolahnya di Menteng. Namun, adalah sesuatu ilusi kalau itu semua akan secara otomatis membawa hubungan AS-Indonesia ke level yang baru, dalam arti lebih menguntungkan Indonesia. Untuk dapat memanfaatkan kemenangan Obama sebagai dasar untuk meningkatkan hubungan AS-Indonesia, tidak semata-mata tergantung dari pihak AS, tetapi kita di Indonesia juga.

Bara Hasibuan Congressional Fellow 2002-2003

Sumber : Kompas Cetak

Tuesday, October 28, 2008

Dahlan Iskan : Kapan Harga BBM Harus Turun (1)

link URL: http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=32136

[ Senin, 27 Oktober 2008 ]
Dahlan Iskan : Kapan Harga BBM Harus Turun (1)

SUDAH pasti harga bahan bakar minyak (BBM) harus turun. Persoalannya tinggal kapan waktu yang terbaik.

Tapi, ada yang lebih mendasar dari itu. Bisakah mementum BBM ini dimanfaatkan ''untuk nyalip di tikungan" dalam krisis global ini. Yakni, untuk meletakkan dasar-dasar yang kukuh dalam penentuan harga BBM yang lebih rasional. Seumur hidup kita belum pernah bisa mengatasi masalah keruwetan BBM. Selalu saja soal BBM jadi isu sensitif multidimensi yang sering membuat instabilitas nasional.

Untuk menata keruwetan BBM, kita belum pernah mendapatkan momentum sebagus dan sehebat sekarang ini. Maka, momentum yang langka ini harus bisa dimanfaatkan secara jitu. Kinilah saatnya kita membuat fondasi yang kukuh di bidang yang amat peka dalam sejarah politik Indonesia. Tapi, kalau momentum ini terlewatkan begitu saja, kesempatan ini akan lewat begitu saja.

Harga BBM sudah terbukti sarat dengan isu politik dan stabilitas. Padahal, sudah terbukti stabilitaslah yang menjadi kunci kemajuan bangsa yang langgeng. Setiap kali ada kenaikan harga BBM, dampak yang terbesar bukan akibat selisih kenaikannya itu sendiri, tapi ekses ketidakstabilannya.

Momentum yang saya maksud itu adalah: inilah untuk yang pertama harga BBM tidak perlu disubsidi. Bisakah momentum ini dipakai untuk menghapuskan sistem subsidi BBM selama-lamanya? Kini saatnya pemerintah melepaskan diri untuk jadi penentu harga BBM. Ini demi kestabilan pemerintah untuk jangka yang panjang. Juga sebagai salah satu rintisan terbentuknya pemerintah yang efektif yang kita cita-citakan bersama. Terutama setelah terbukti kita memerlukan pemerintah yang lebih efektif dari sekarang, meski juga jangan kembali ke sistem Orde Baru. Terlalu banyak energi dan risiko yang dipertaruhkan di bidang BBM ini.

Lalu, siapa yang sebaiknya menentukan harga BBM? Mekanisme pasar bebaskah? Artinya, masyarakat dibiasakan saja membeli BBM seperti membeli lombok. Tiap hari bisa saja harganya tidak sama. Disesuaikan dengan naik turunnya harga BBM di pasar bebas. Toh negara-negara maju juga sudah lama melakukan sistem ini. Kalau tidak mau dengan cara ini, bisa saja harga BBM ditentukan oleh satu komisi independen yang dibentuk DPR. Atau oleh siapa pun yang bisa fair, yang intinya jangan lagi soal BBM mengganggu stabilitas politik nasional. Kinilah saatnya kita membuat sejarah baru di bidang BBM.

Sementara menunggu konsep itu, sebaiknya harga BBM diturunkan sedikit saja dulu. Pertama, menunggu apakah turunnya harga minyak mentah dunia ini sudah stabil. Tidak lagi turun-naik secara drastis. Kedua -dan ini yang lebih penting- tunggu dulu apakah negara kita ini sudah benar-benar akan selamat dari krisis sekarang ini. Setiap negara kini sedang mencari jalan sendiri-sendiri untuk menyelamatkan diri. Indonesia tentu tidak boleh kalah cerdik. Begitu kalah cerdik, kita akan ambruk.

Sekarang ini sudah tiga negara yang ambruk. Mula-mula Islandia, sebuah negara Barat yang belum lama dipuja sebagai negara maju dengan sistem pengelolaan energi panas bumi yang terbaik. Islandia ini bulan lalu seperti pengemis yang keleleran. Minta-minta pinjaman ke berbagai negara maju, tapi tidak ada yang berbelas kasihan. Mengapa?

Sebabnya ya itu tadi: semua negara sekarang ini sedang menyelamatkan diri masing-masing. Sampai-sampai Perdana Menteri Islandia Geir Haarde mengeluh, ''Ternyata dalam keadaan susah, kami ini tidak punya teman baik." Dia menyindir habis-habisan AS, Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya sebagai sekutu yang tidak punya solidaritas.

Apa yang kemudian dilakukan Islandia? Pergi ke Rusia! ''Bagaimana lagi?" ujar perdana menteri Islandia. ''Tidak ada jalan lain. Sahabat sendiri tidak membantu." Langkah ini sebenarnya bisa menampar muka negara-negara Barat, tapi toh tidak ada negara yang merasa tertampar. Dalam keadaan seperti ini, harga diri dan solidaritas tidak masuk dalam pertimbangan lagi.

Di Rusia, dia hanya ingin cari pinjaman USD 5 miliar. Setelah berunding bolak-balik, pinjaman tidak bisa cair juga. Gagal. Mengapa? Rusia sendiri harus cari selamat. Sehari sebelum kita menutup pasar modal, Rusia sudah melakukan lebih dulu. Bahkan, ketika kita sudah membuka kembali pasar modal, Rusia masih terus menutup, entah sampai kapan.

Akhirnya, Islandia menyerah ke IMF. Tapi, juga belum dapat jalan keluar yang terbaik.

Lalu, Ukraina. Negara yang semula amat percaya diri bisa sejajar dengan negara Barat ini harus ambruk juga. Ukraina yang begitu pisah dari Rusia langsung bergabung ke persekongkolan negara Barat tidak juga dapat jalan keluar dari sahabat barunya.

Negara ketiga yang menyerah ke IMF adalah Pakistan.

Kita masih belum tahu negara mana lagi yang akan menyusul. Korea Selatan, negara yang paling cepat sembuh setelah krisis moneter tahun 1997, kini sangat parah. Mata uangnya, won, jatuh sampai 30 persen. Keruwetan politiknya, gara-gara di antara 16 menteri kabinet hanya tiga yang Buddha (selebihnya Kristen), juga meningkat.

Satu per satu, negara yang tidak siap akan menyusul seperti Islandia. Kita, alhamdulillah, baru terkena sedikit. Tapi, harga kelapa sawit kita sudah tinggal USD 500 per ton. Harga seperempat dibanding sebulan lalu ini sudah di bawah biaya produksi. Perkebunan besar, yang tahun lalu pesta, kini menangis. Ratusan ribu petani yang punya kebun kecil-kecil (1-2 ha) sudah tidak mau lagi memanen kelapa sawitnya.

Harga kakau turun drastis pula, sedrastis kelapa sawit. Pekan lalu saya ke beberapa provinsi di Indonesia Timur melihat harga kopra juga tinggal sepertiganya. Kita masih belum tahu apa yang akan terjadi dalam beberapa bulan mendatang.

Meski para politisi terlalu sulit untuk bisa ikut merasakan semua ini, yang penting jangan membuat beban tambahan. Karena itu, soal harga BBM jangan dibawa ke politik. BBM memang harus turun, tapi memanfaatkan momentum harga BBM ini bagi perkuatan negara jauh lebih penting.

Saya sangat khawatir gelombang permintaan penurunan harga BBM akan menjadi isu politik yang hanya akan membuat Indonesia menyusul Islandia. Kita tidak ingin jadi pasien IMF sekali lagi. Kita sudah kapok dengan peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Konsentrasi mencegah datangnya krisis yang lebih besar jauh lebih penting.

Sekarang ini pemerintah tentu lagi konsentrasi penuh mengurus krisis ini. Tim ekonomi (termasuk Bapepam, BEJ) sudah satu bulan penuh kurang tidur. Saya bisa membayangkan bagaimana Menteri Keuangan Sri Mulyani sampai tidak bisa mengunjungi ibunya yang keadaannya kritis. Bahkan, ketika besoknya sedang memimpin rapat untuk mencari cara menyelamatkan uang para penabung di bank, tiba-tiba dia mendapatkan SMS bahwa ibunya meninggal dunia. Dia menangis karena tidak bisa mendampingi ibunya di saat-saat terakhirnya.

Dalam keadaan berduka seperti itu, rapat juga tidak bisa ditunda. Kalau rapat tidak membuat keputusan, bisa-bisa keesokan harinya bank-bank rontok seperti sepuluh tahun lalu. Dia masih bisa membuat keputusan untuk menjamin semua nasabah bank. Bukan Rp 1 miliar seperti yang diusulkan masyarakat, tapi sampai Rp 2 miliar.

Sampai setelah itu pun, dia masih belum bisa berangkat ke bandara untuk terbang ke Semarang di mana jenazah ibunya sudah menunggunya. Dia masih harus memimpin rapat yang satu lagi untuk menyelamatkan pasar modal. Dia putuskan agar pasar modal dibuka kembali hari Senin dengan taruhan besar. Akibat keputusannya itu begitu kritis: selamat atau hancur. Pilihan begitu sulit. Sampai-sampai dia berpesan kepada pengelola pasar modal agar sebelum membuka transaksi hari Senin itu, mereka lebih dulu mengucapkan tiga kalimat yang bukan dari buku teks ekonomi. Bahkan, kalimat itu harus diucapkan masing-masing tiga kali: Lailahaillallah, Allahu Akbar, dan Bismillah. Barulah dia berangkat ke Semarang. Itu pun harus segera kembali ke Jakarta ''menjaga" keadaan yang gawat.

Tapi, dia tidak mau dipuji. ''Pujilah DPR, khususnya Komisi XI DPR," katanya kepada saya. Dia sangat bangga bahwa kali ini DPR sangat mengerti situasi. ''Semula saya sangat khawatir. Kita ini mestinya lebih rawan daripada negara lain," ujarnya.

Mengapa? ''Pertama, kita ini negara berkembang yang belum kuat seperti negara maju. Kalau negara maju saja rontok, bagaimana kita?" katanya.

''Kedua, kita ini negara demokrasi yang tentu tidak gampang mengambil keputusan," tambahnya. ''Ketiga, sekarang ini sudah dekat pemilu. Tentu bisa-bisa dimanfaatkan untuk isu politik. Gabungan tiga hal itu sudah memenuhi syarat untuk membuat Indonesia hancur. Ternyata masih selamat. Kami bangga dengan sikap Komisi XI DPR," ujarnya.

Tapi, melihat krisis di luar negeri yang terus mewabah seperti wereng, kita belum bisa aman. Yang harus dipikirkan sekarang bukan menurunkan harga BBM, tapi bagaimana menyiapkan skenario terjelek. Yakni menolong orang miskin dalam keadaan sulit nanti. Dana yang sangat besar diperlukan agar bisa mendistribusikan uang ke lapisan paling bawah rakyat kita. Bukan sebulan dua bulan, tapi selama dua tahun.

Yang penting harus transparan. Yang perlu disiapkan bukan saja dana, tapi juga cara penyalurannya. Mumpung masih ada waktu memikirkannya. Yang penting jangan lewat departemen pemerintah. Bisa dalam bentuk bantuan yang bisa langsung sampai ke orang di bawah atau untuk penjaminan kredit usaha mikro dalam jumlah yang besarnya belum pernah terjadi dalam sejarah kita. Menurunkan harga BBM memang perlu, tapi sewajarnya saja. Menyiapkan skenario krisis terburuk harus jadi perhatian utama. (*)

Bakrie & Brothers, dari krisis ke krisis

link URL http://web.bisnis.com/artikel/2id1659.html


Selasa, 28/10/2008 11:45 WIB

Bakrie & Brothers, dari krisis ke krisis

oleh : Abraham Runga Mali

Kalau di Amerika Serikat ada Lehman Brothers, negeri ini punya Bakrie & Brothers. Keduanya sama-sama didirikan oleh keluarga dan disebut dengan nama keluarga yang mendirikannya. Yang lebih penting lagi kedua kelompok usaha itu sama-sama mendapat sorotan tajam dalam krisis finansial pada 2008.

Mengenai Bakrie & Brothers, ingatan saya terseret jauh ke satu dekade lalu ketika krisis finansial menghujam negeri ini. Saat itu, 12 Desember 1997, pemilik kelompok usaha Bakrie, Aburizal Bakrie, bersama Menkeu Mar'ie Muhammad memimpin rombongan yang melobi penyelesaian utang perusahaaan di hadapan aktivis Wall Street yang saat ini juga didera krisis yang sama.

Kira-kira sepelemparan batu dari Wall Street-simbol pasar bebas yang sedang mendapat olok-olokan dunia-Aburizal seusai pertemuan dengan para pengelola keuangan global (fund manager) berpetuah tentang pelajaran yang harus disimak oleh perusahaan di Indonesia dari krisis finansial Asia.

Perusahaan, demikian kata pemilik Grup Bakrie itu, harus berhati-hati dalam mengelola keuangan sebagai antisipasi terhadap sistem keuangan global yang rapuh.

Rekor kapitalisasi pasar saham Grup Bakrie
Perusahaan Harga* Rekor kapitalisasi pasar
Bakrie & Brothers Rp560 Rp52,48 triliun
Bumi Resources Rp8.550 Rp165,87 triliun
Energi Mega Persada Rp1.180 Rp16,99 triliun
Bakrie Telecom Rp380 Rp10,82 triliun
Bakrie Sumatera Plantations Rp2.040 Rp7,71 triliun
Bakrieland Development Rp445 Rp8,86 triliun
T O T A L Rp262,73 triliun
Sumber : Bloomberg.
Keterangan : *) Harga tertinggi tiap-tiap saham perusahaan Grup Bakrie.

Sebagai Ketua Umum Kadin Indonesia saat itu petuah tersebut memang layak meluncur dari mulutnya. Namun, petuah itu menjadi lebih bermakna karena keluar dari pengalaman bisnis yang digeluti Ical, panggilan Aburizal Bakrie.

Ketika itu, akibat krisis pada 1997/1998, yang ditandai oleh depresiasi rupiah dari level Rp2.000-an hingga sekitar Rp16.000-an, bisnis keluarga Bakrie dicekik utang yang sedemikian besar.

Total utang kelompok usaha itu tercatat sebesar US$1,08 miliar (ekuivalen dengan Rp10 triliun pada saat rupiah dinilai Rp9.000 per US$). Bakrie kemudian melakukan restrukturisasi yang berlangsung hingga empat tahun dan mencapai final pada 2001.

Proses tersebut sangat melelahkan karena harus bernegosiasi dengan kurang lebih 150 kreditor. Melalui pola debt equity swap (menukar utang menjadi saham), para kreditor membentuk sebuah holding sebagai master special purpose vehicle (MSPV) yang menguasai 80% aset di lima anak usahanya, yaitu Bakrie Sumatera Plantations, Bakrie Electronics Company, Bakrie Kasei Corp, Arutmin Indonesia, dan Iridium LLC. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menguasai sekitar 15% dari total aset-aset itu.

Harga yang dibayarkan oleh keluarga Bakrie pada saat krisis itu sangat mahal. Selain kehilangan Bank Nusa Nasional (BNN), keluarga itu harus melepaskan sejumlah asetnya. Saham keluarga di PT Bakrie & Brothers Tbk menyusut dari 58% menjadi 2,5%. Bisnis keluarga itu pun terjerembab.

Usai menandatangani restukturisasi utang, Ical berujar begini, "Kalau kepada saudara saya gampang menjelaskan. Namun, kepada ibu, itu cukup sulit. Bayangkan, barang yang semula begitu besar tiba-tiba habis. Itu perlu waktu yang pas menjelaskannya."

Namun, justru pada saat yang paling sulit itu semangat dan harapan keluarga Bakrie kembali berkobar untuk menguasai lagi aset-aset perusahaan. Sebuah harapan yang sangat realistis karena dalam negosiasi restrukturisasi utang dengan kreditor disepakati kalau akhirnya Bakrie diperkenankan membeli kembali aset-aset tersebut.

Lalu, seperti diketahui, Bakrie tidak hanya bisa membeli kembali, tetapi justru kembali mengangkasa. Perjalanan bisnis keluarga setelah krisis 1997 itu diringkas dalam sebuah tajuk tulisan yang dipersembahkan kepada Nirwan Bakrie dalam perayaan ulang tahunnya ke-55 setahun lalu: Nirwan, Setelah Terjerembab Kembali Mengangkasa (Mozaik Nirwan D. Bakrie, hal. 54).

Saat itu, Bakrie memang benar mengangkasa dengan sayap-sayap komoditas bersama baling-baling utang. Di tengah keasyikan ekspansi dan berputar dalam roda perekonomian nasional, Ical seperti telah melupakan petuahnya sendiri, tentang kehati-hatian dalam berekspansi, tentang kesiapan dalam menghadapi kerapuhan sistem keuangan global.

Pada awalnya keluarga dan manajemen Bakrie berlangkah dengan sangat tepat melalui visi yang sangat jelas. Pada tahun-tahun sesudah krisis, mereka dengan sangat jeli membidik sektor-sektor komoditas, seperti pertambangan batu bara (PT Bumi Resources Tbk), minyak dan gas bumi (PT Energi Mega Perkasa Tbk), dan kelapa sawit (crude palm oil) yang diwakili oleh Bakrie Plantations.

Walaupun fokus ke komoditas, Bakrie tidak meninggalkan sektor infrastruktur dan properti (PT Bakrieland Development Tbk) dan telekomunikasi (PT Bakrie Telecom Tbk).

Di puncak kejayaannya pada awal tahun ini, Bakrie & Brothers menyatukan anak-anak perusahaannya dengan membeli 35% saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI), 40% saham PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), dan 40% saham PT Bakrieland Development Tbk (ELTY). Akuisisi internal itu menghabiskan dana sebanyak Rp48,4 triliun.

Sumber dana untuk aksi korporasi itu berasal dari penerbitan saham baru (rights issue), penerbitan waran, dan pinjaman bank. Perseroan melakukan rights issue terbesar dalam sejarah bursa di negeri ini, yaitu senilai Rp40,1 triliun dan waran senilai Rp2,9 triliun. Selebihnya, akan dibiayai dari pinjaman Barclays Capital senilai Rp8,3 triliun.

Gravitasi saham Bumi

Kendati induknya adalah Bakrie & Brothers, Bumi Resources tetap merupakan mutiara termahal dari Grup Bakrie. Seiring dengan booming harga batu bara, Bumi Resources menjadi pusat rotasi dan dinamika bisnis keluarga Bakrie, terutama setelah saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) berhasil dikuasainya.

Pada awal 2002 dan 2005, harga saham Bumi Resources masih Rp55,90 dan Rp900 per saham. Pada saat itu, harga batu bara masih sekitar US$30-US$50 per ton. Kemudian harga saham perusahaan pertambangan itu terus mengangkasa seiring dengan meroketnya harga batu bara.

Pada saat harga batu bara di pasar spot mencapai puncaknya tiga bulan yang lalu, yaitu US$1.200 per ton, harga saham Bumi Resources juga berada di level Rp8.550 (12 Juni 2008).

Dalam dua terakhir ini, saham Bumi menjadi primadona para pemodal bursa efek Indonesia. Hampir semua manajer investasi dan pialang serta investor ritel tidak lepas dari gravitasi saham Bumi.

Pelaku pasar modal Indonesia mendapatkan keuntungan besar dari pergerakan saham-saham keluarga Bakrie. Selain pemodal, sejumlah perusahaan sekuritas lokal, seperti PT Danatama Makmur-yang selalu dipercayai oleh kelompok usaha ini sebagai penjamin emisi dan penasihat keuangan-ikut melambung bersama bisnis keluarga Bakrie. Begitu pun institusi keuangan asing, seperti Credit Suisse dan JP Morgan tak ketinggalan.

Melalui riset dan konsensus para analis mereka, harga saham-saham dalam Grup Bakrie terus dikerek naik. Sebuah pembentukan persepsi yang terkadang lepas dari kinerja fundamentalnya.

Maka terjadilah, kapitalisasi saham Bumi Resources pun sempat meroket dan menyentuh Rp163,9 triliun pada 9 Juni 2008, melampaui nilai pasar PT Telekomunikasi Indonesia Tbk yang 13 tahun tidak pernah bergeser dari peringkat pertama.

Naiknya haga saham kelompok Bakrie, tentu saja, langsung menggelembungkan kekayaan kelompok usaha itu. Tidak mengherankan kalau Forbes pada Desember 2007 menobatkan Ical, pemilik Grup Bakrie, sebagai orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan mencapai US$5,4 miliar.

Kuatnya gravitasi saham Bumi dan saham Grup Bakrie menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya 'pasang naik indeks' di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sejak 2005, indeks terus bergerak dan mencapai puncaknya pada April 2008,yaitu di level 2.800.

Sebegitu kuatnya gairah saham kelompok Bakrie sampai para investor tidak begitu peduli dengan sejumlah kejadian penting di kelompok usaha itu. Dengan kata lain, sejumlah peristiwa penting yang menimpa perusahaan Grup Bakrie itu tidak cukup kuat mengikis gairah irasional para pelaku pasar (irrational exuberance).

Bakrie terjerembap, Bakrie kembali mengangkasa. Dalam perjalanan menuju puncak bisnis, kelompok usaha itu seakan tidak pernah sepi dari persoalan.

Persoalan kemudian menjadi semakin kompleks karena dikait-kaitkan dengan kepentingan politik, ditafsir dalam bingkai persaingan bisnis dan diembuskan sebagai sentimen spekulasi permainan saham di lantai bursa.

Harap maklum, kejadian itu terkait dengan perusahaan publik milik keluarga Bakrie. Lagi pula di sana hadir seorang Aburizal Bakrie (Ical) yang saat ini menduduki posisi menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu.

Mari kita sebut beberapa kejadian itu. Pertama, munculnya kasus semburan lumpur panas Lapindo. Walaupun oleh pemerintah kasus yang mencuat pada pertengahan 2006 itu ditetapkan sebagai peristiwa alam-bukan kesalahan manusia dan perusahaan-solusi terhadap relokasi permukiman tidak bisa dipungkiri menguras tenaga dan dana triliunan rupiah.

Kedua, perselisihan lahan yang melibatkan PT Porodisa. Pertarungan itu berujung pada penyitaan alat berat dan penghentian produksi di proyek yang ditangani PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur.

Ketiga, yang tidak kalah pentingnya adalah urusan utang royalti Bumi Resources yang menjadi alasan pencekalan sejumlah eksekutif KPC. Oleh pemerintah, Bumi diminta harus membayar utang royalti sebesar US$510 juta. Jumlah ini tentu belum termasuk persoalan pajak yang menimbulkan polemik panjang.

Walaupun sempat mengganggu sebagian aktivitas bisnisnya, berbagai persoalan itu dengan mudah dikendalikan. Harga saham Bumi pada khususnya dan saham keluarga Bakrie pada umumnya seperti tidak terpengaruh oleh berbagai persoalan itu.

Itulah sebabnya sejumlah analis hingga tiga atau empat bulan lalu masih mengeluarkan proyeksi bahwa harga saham Bumi-pada saat itu berada di level Rp7.300 per saham-masih bisa mencapai Rp12.000-Rp13.000. Mereka seperti sebuah koor masih merekomendasikan kepada pemodal untuk terus mengoleksi saham perusahaan pertambangan itu.

Pergerakan harga saham UNSP, ELTY, BTEL (Rp/saham)
UNSP BTEL ELTY
06/10 460 185 150
17/10 415 167 135
20/10 375 151 122
21/10 360 136 113
22/10 330 123 103
23/10 300 111 93
Sumber: Bloomberg
Ket.: UNSP (Bakrie Sumatra Plantations), ELTY (Bakrieland Development),
dan BTEL (Bakrie Telecom)

Apalagi pemilik dan manajemen Bakrie memang berusaha sekuat tenaga menjaga agar harga saham dari enam emiten di bawah kelompoknya tetap menanjak. Ini adalah sebuah usaha yang sangat beralasan, karena banyak sekali saham dari grup itu yang digadaikan untuk mengeduk utang yang diambil dalam jumlah besar guna menopang ekspansi usaha.

Catatan ekspansi terakhir adalah ketika Grup Bakrie, lewat perusahaan yang dibentuk oleh Bumi Resources, membeli 51,34% saham perusahaan tambang Australia, Herald Resources, dengan harga Aus$2,85per saham pada pertengahan Juli 2008. Dana itu diperoleh dari fasilitas kredit yang diberikan oleh Credit Suisse senilai US$375 juta.

Saat itu, Bumi Resources harus mati-matian bersaing dengan PT Aneka Tambang Tbk (Antam) yang lebih dahulu memiliki saham 19,86% di salah satu lokasi pertambangan timbal dan seng di di proyek Anjing Hitam di Dairi, Sumatra Utara.

Itulah sebabnya sejumlah analis hingga tiga atau empat bulan lalu masih mengeluarkan proyeksi bahwa harga saham Bumi-pada saat itu berada di level Rp7.300 per saham-masih bisa mencapai Rp12.000-Rp13.000. Mereka seperti sebuah koor masih merekomendasikan kepada pemodal untuk terus mengoleksi saham perusahaan pertambangan itu.

Apalagi pemilik dan manajemen Bakrie memang berusaha sekuat tenaga menjaga agar harga saham dari enam emiten di bawah kelompoknya tetap menanjak. Ini adalah sebuah usaha yang sangat beralasan, karena banyak sekali saham dari grup itu yang digadaikan untuk mengeduk utang yang diambil dalam jumlah besar guna menopang ekspansi usaha.

Catatan ekspansi

Catatan ekspansi terakhir adalah ketika Grup Bakrie, lewat perusahaan yang dibentuk oleh Bumi Resources, membeli 51,34% saham perusahaan tambang Australia, Herald Resources, dengan harga Aus$2,85 per saham pada pertengahan Juli 2008. Dana itu diperoleh dari fasilitas kredit yang diberikan oleh Credit Suisse senilai US$375 juta.

Saat itu, Bumi Resources harus mati-matian bersaing dengan PT Aneka Tambang Tbk (Antam) yang lebih dahulu memiliki saham 19,86% di salah satu lokasi pertambangan timbal dan seng di proyek Anjing Hitam di Dairi, Sumatra Utara.

Kendati memiliki cadangan sebesar 5,6 juta ton, proyek itu belum berproduksi dan izin lahannya masih dipersoalkan.

Gairah membeli Herald tampaknya menjadi sia-sia ketika harga seng terus menurun dari harga tertinggi sebesar US$2.822 per ton pada 3 Maret ke posisi terendah, yaitu US$1.149 pada 16 Oktober. Harga saham Herald pun terus terkoreksi.

Selain berutang membeli Herald, dalam satu dua bulan terakhir menjelang krisis finansial, Grup Bakrie masih rajin berutang. Misalnya, Bakrie & Brothers lewat anak perusahaannya, Sebastal dan Bakrie Fund, berutang US$300 juta, Bakrie Plantations meminjam US$150 juta untuk membeli lahan sawit di Kaltim dan Riau.

Pinjaman dan ekspansi itu terjadi justru di tengah berakhirnya booming komoditas.

Perhatikan bahwa hanya dalam tiga bulan harga minyak mentah dunia anjlok dari US$140 per barel menjadi US$70 per barel. Begitu pula dengan harga komoditas yang lain, termasuk CPO dan batu bara.

Tekanan komoditas dan kejatuhan Wall Street-akibat sistem perekonomian global yang rapuh dan tentu di luar kendali siapa pun-mengikis ekspektasi Bakrie terhadap saham-sahamnya yang diperdagangkan di bursa efek.

Pasar seperti memiliki jalan pikiran dan skenario cerita sendiri. Tidak bisa dihindari, saham-saham di bursa Jakarta pun terkena, termasuk saham milik Grup Bakrie.

Beruntung bursa Jakarta menutup perdagangan dalam dua hari (8 dan 9 Oktober) dan saham-saham milik keluarga Bakrie harus disuspensi dalam waktu seminggu. Sebuah tindakan yang tepat. Kalau tidak, nilai saham Grup Bakrie makin tertekan dan koreksi di bursa efek kian dalam.

Maka mata pelaku pasar dan regulator di Indonesia terus memelototi saham-saham Bakrie. Mereka menunggu langkah yang diambil oleh kelompok usaha itu.

Pemilik dan manajemen Bakrie harus mencari lagi dana dalam jumlah besar untuk menaikkan nilai jaminan (top up) agar terhindar dari kenyataan gagal bayar (default).

Seperti diakui oleh manajemen Bakrie & Brothers, perusahaan itu harus melunasi utang senilai US$1,2 miliar kepada tiga kreditor besar, seperti Oddickson Finance, JP Morgan, dan ICICI Bank Ltd, India, senilai US$1,2 miliar. Utang itu telah dijaminkan dengan aset perusahaan senilai US$6 miliar.

Maka dalam hari-hari ini kita menyaksikan Bakrie melepas asetnya satu demi satu. Yang sudah diumumkan adalah pelepasan saham tahap pertama, yaitu penjualan 15,3% saham Bakrieland kepada Avenue Luxembourgh yang sudah lebih dahulu menguasai 15,45% saham perusahaan itu.

Sementara itu, 5,6% saham Bakrie Plantations dilego kepada Longines Offshore Co Ltd melalui The Royal Bank of Scotland.

Penjualan saham di dua perusahaan itu baru mendatangkan dana Rp554,40 miliar. Itu berarti kelompok usaha tersebut masih membutuhkan banyak dana untuk menutupi utang sebesar US1,2 miliar (sekitar Rp12,39 triliun dengan asumsi kurs Rp9.900 per dolar AS).

Dengan hasil seperti itu, tidak berlebihan kalau banyak yang meragukan apakah Grup Bakrie serius menyelesaikan persoalannya. Di tengah keraguan itu, Direktur Bakrie & Brothers Dileep Srivastata mengatakan setelah pelepasan saham kedua perusahaan di atas, aset berupa saham Bakrie Telecom dan Bumi Resources pun akan dilepas.

Belum diketahui berapa jumlah saham dan kepada siapa aset-aset itu akan dilepas? Kalaupun akan dilepas, siapa yang berminat membeli?

Banyak konsorsium yang sudah menyatakan minatnya, seperti Texas Pacific Group (TPG), aliansi antara PT Timah Tbk dan Yunan Tin ataupun Xsrtata Plc.

Calon yang tidak boleh dilupakan sebagai pembeli adalah Tata Group dari India. Perusahaan itu sebelumnya sudah membeli 30% saham KPC dan Arutmin 30%. Apalagi dalam hari-hari ini Nirwan Bakrie bersama eksekutifnya Nalinkant Rathod berada di India untuk mengadakan negosiasi.

"Saya sedang bersiap-siap ke India. Sabtu kita bisa saling kontak," ujarnya kemarin.

Itu semua dilakukan di tengah berondongan pertanyaan, mungkinkah keluarga Bakrie akan melepaskan kepemilikannya di Bumi Resources yang adalah berlian dan tempat pijakan utama bagi keluarga?

Pertanyaan lain, seberapa cepat semua persoalan itu akan diselesaikan? Sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijawab

Sebagai perbandingan, pada krisis 1997 restrukturisasi utang tidak semudah membalik telapak tangan karena prosesnya berlangsung hampir lima tahun hingga 2001.

Terdapat perbedaan yang mendasar sebenarnya dalam krisis 1997 dengan yang terjadi sekarang. Kalau dahulu, utang Grup Bakrie diserang melalui pelemahan mata uang rupiah, sehingga utang US$1,08 miliar yang tidak dilindung nilai itu (hedging) bertambah dari sekitar Rp2 triliun (rupiah pada level Rp2.000) menjadi sekitar Rp10 triliun ketika rupiah tidak pernah turun-turun dari Rp9.000-an.

Dalam krisis 2008, pembusukan utang Bakrie terjadi lewat penurunan nilai saham. Maka tidak bisa ditepis adanya dugaan lain kalau Grup Bakrie mencoba pasrah dan menunggu akan terjadinya rebound pada harga sahamnya sehingga nilai jaminan pun kembali normal. Padahal, sebaliknya harga saham di bursa terus terkoreksi ke level yang semakin dalam. Kemarin indeks menyentuh level 1.337,204.

Tetap menunggu

Daripada menduga-duga-termasuk dugaan perpecahan dalam kabinet menyangkut upaya penyelamatan terhadap Gurp Bakrie-kita mestinya tetap menunggu langkah yang akan ditempuh kelompok usaha itu.

Daripada menghakimi, bangsa ini mestinya menanti dengan penuh sabar keberhasilan Grup Bakrie keluar dari deraan krisis finansial.

Apa pun kondisi grup itu, bangsa Indonesia tetap membutuhkan keberanian keluarga dan manajemen grup usaha dalam menantang risiko di dunia usaha. Bukankah mereka berbeda dari Lehman Brothers yang utangnya justru terjebak pada kertas-kertas sampah (subprime mortage)?

Penantian yang disertai kepercayaan bahwa pengalaman mereka dalam menghadapi krisis satu dekade lalu menjadi kekuatan dan modal untuk keluar dari krisis kali ini. Apalagi di tengah mereka (Bakrie Brothers) masih ada seorang Nirwan yang dalam berbagai krisis berani tampil mengambil alih risiko dan tanggung jawab.

Semoga saudagar yang dijuluki berhati singa, memiliki tujuh jantung, dan 1.000 akal (Mozaik Nirwan D. Bakrie, hal.154 dan 299) mampu memulihkan kembali sayap-sayap (yang patah), agar bisnis keluarganya bisa kembali mengangkasa.

Andaikan saja bisnis Bakrie kembali terbang tinggi, mudah-mudahan Ical (dan saudara-saudaranya) tidak cepat lupa pada petuahnya sendiri, yaitu "berhati-hati dalam berutang di tengah sistem finansial yang rapuh."

Hanya dengan memegang erat petuah itu, bisnis keluarga Bakrie yang sudah berusia 66 tahun ini bisa bertahan dan berusia lebih panjang lagi dari Lehman Brothers yang bangkrut pada usia ke-158. (abraham.runga@bisnis.co.id)

Wednesday, October 15, 2008

LATimes: Hey U.S., welcome to the Third World!

http://www.latimes.com/news/opinion/la-oe-brooks18-2008sep18,0,6908905.column

Rosa Brooks:
Hey U.S., welcome to the Third World!
It's been a quick slide from economic superpower to economic basket case.

Rosa Brooks
September 18, 2008

Dear United States, Welcome to the Third World!

It's not every day that a superpower makes a bid to transform itself into a Third World nation, and we here at the World Bank and the International Monetary Fund want to be among the first to welcome you to the community of states in desperate need of international economic assistance. As you spiral into a catastrophic financial meltdown, we are delighted to respond to your Treasury Department's request that we undertake a joint stability assessment of your financial sector. In these turbulent times, we can provide services ranging from subsidized loans to expert advisors willing to perform an emergency overhaul of your entire government.

As you know, some outside intervention in your economy is overdue. Last week -- even before Wall Street's latest collapse -- 13 former finance ministers convened at the University of Virginia and agreed that you must fix your "broken financial system." Australia's Peter Costello noted that lately you've been "exporting instability" in world markets, and Yashwant Sinha, former finance minister of India, concluded, "The time has come. The U.S. should accept some monitoring by the IMF."

We hope you won't feel embarrassed as we assess the stability of your economy and suggest needed changes. Remember, many other countries have been in your shoes. We've bailed out the economies of Argentina, Brazil, Indonesia and South Korea. But whether our work is in Sudan, Bangladesh or now the United States, our experts are committed to intervening in national economies with care and sensitivity.

We thus want to acknowledge the progress you have made in your evolution from economic superpower to economic basket case. Normally, such a process might take 100 years or more. With your oscillation between free-market extremism and nationalization of private companies, however, you have successfully achieved, in a few short years, many of the key hallmarks of Third World economies.

Your policies of irresponsible government deregulation in critical sectors allowed you to rapidly develop an energy crisis, a housing crisis, a credit crisis and a financial market crisis, all at once, and accompanied (and partly caused) by impressive levels of corruption and speculation. Meanwhile, those of your political leaders charged with oversight were either napping or in bed with corporate lobbyists.

Take John McCain, your Republican presidential nominee, whose senior staff includes half a dozen prominent former lobbyists. As he recently put it, "I was chairman of the [Senate] Commerce Committee that oversights every part of the economy." No question about it: Your leaders' failure to notice the damage done by irresponsible deregulation was indeed an oversight of epic proportions.

Now you are facing the consequences. Income inequality has increased, as the rich have gotten windfalls while the middle class has seen incomes stagnate. Fewer and fewer of your citizens have access to affordable housing, healthcare or security in retirement. Even life expectancy has dropped. And when your economic woes went from chronic to acute, you responded -- like so many Third World states have -- with an extensive program of nationalizing private companies and assets. Your mortgage giants Fannie Mae and Freddie Mac are now state owned and controlled, and this week your reinsurance giant AIG was effectively nationalized, with the Federal Reserve Board seizing an 80% equity stake in the flailing company.

Some might deride this as socialism. But desperate times call for desperate measures.

Admittedly, your transition to Third World status is far from over, and it won't be painless. At first, for instance, you may find it hard to get used to the shantytowns that will replace the exurban sprawl of McMansions that helped fuel the real estate speculation bubble. But in time, such shantytowns will simply become part of the landscape. Similarly, as unemployment rates continue to rise, you will initially struggle to find a use for the expanding pool of angry, jobless young men. But you will gradually realize that you can recruit them to fight in a ceaseless round of armed conflicts, a solution that has been utilized by many other Third World states before you. Indeed, with your wars in Iraq and Afghanistan, you are off to an excellent start.

Perhaps this letter comes as a surprise to you, and you feel you're not fully ready to join the Third World. Don't let this feeling concern you. Though you may never have realized it, you've been preparing for this moment for years.

rbrooks@latimescolumnists.com

Saturday, October 4, 2008

RI Harus Mengantisipasi Krisis


original article: http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/04/07051644/ri.harus.mengantisipasi.krisis
/Home/Bisnis & Keuangan/Ekonomi
RI Harus Mengantisipasi Krisis
Presiden AS George W. Bush saat menyampaikan paket penyelamatan ekonomi pemerintahnya di Diplomatic Reception Room, Gedung Putih, Washington, DC, 30 September 2008.
Sabtu, 4 Oktober 2008 | 07:05 WIB

JAKARTA, SABTU - Banyak negara sudah berbicara soal cara mengantisipasi dampak buruk krisis ekonomi di AS di negara masing-masing. RI juga diharapkan melakukan hal serupa ketimbang terlambat dan kemudian terjerembab pada masalah lebih dalam.

Bicara soal antisipasi, kepada Kompas, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menekankan pentingnya mempercepat reformasi ekonomi. Hal ini terasa abstrak, klasik, dan membosankan. Akan tetapi, reformasi itu mendesak untuk dilakukan, seperti percepatan perbaikan iklim investasi, perbaikan sarana dan prasarana, serta percepatan pengadaan listrik, yang menjadi keluhan umum investor.

Jika hal ini dilakukan, arus dana yang mengering dari bursa saham dan bursa uang bisa dikompensasikan dengan arus masuk uang dari penanaman modal asing langsung.

Mari Pangestu mengatakan, ini adalah hal yang harus dilakukan jika krisis keuangan di AS berlangsung lebih lama. Sejauh ini, kata Mari Pangestu, ekspor Indonesia masih meningkat pesat ke Asia Timur juga AS dan Eropa. Sejauh ini tampaknya tak ada masalah. Namun, jika krisis ekonomi di AS berlangsung lebih lama, ekspor Indonesia ke Asia Timur juga bisa terpengaruh alias berdampak negatif. Masalahnya ekonomi di Asia Timur, yang menjadi landasan utama ekspor RI, juga bergantung pada keadaan ekonomi Eropa dan AS.

Melihat kecenderungan pelemahan ekonomi di AS, yang sudah merembet ke Perancis, jelas Indonesia harus serius melakukan antisipasi dini. Analisis IMF menunjukkan, ada 113 krisis keuangan (termasuk krisis perbankan) di 17 negara industri dalam 30 tahun terakhir. Hanya setengah dari krisis itu yang memicu resesi. Namun, krisis di AS diperburuk dengan krisis perbankan. Merujuk pada analisis IMF, dampak buruk dari krisis perbankan dua atau tiga kali lebih besar karena bisa membuat aliran dana tersendat, dan membuat sumber permodalan mengering. ”Besaran krisis keuangan di AS sangat krusial,” kata Subir Lall, Wakil Ketua Divisi Riset IMF. Ia mengatakan, besar potensi penurunan ekonomi AS akibat krisis sektor perbankan, termasuk bank investasi.

Rencana darurat

Di Seoul, Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak meminta teknokrat ekonomi menyiapkan rencana darurat mengantisipasi skenario terburuk dari krisis keuangan AS. Presiden Lee meminta otoritas menjamin kebutuhan dana-dana yang diperlukan perusahaan lokal, termasuk kebutuhan akan dollar AS.

Presiden Lee juga sudah mengusulkan koordinasi dengan para menteri keuangan China dan Jepang untuk merespons pada potensi krisis. ”Semua birokrat harus memberi respons tanpa mengeluh dan harus menyusun rencana darurat,” kata Presiden Lee. Hal ini dinyatakan karena investor asing sudah mulai menarik dana dari Korea Selatan dan menyebabkan sumber permodalan bagi bisnis menyurut.

Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo juga mengatakan, memantau secara saksama perkembangan krisis. ”Masalahnya tidak ada negara yang akan lepas dari dampak krisis,” kata Presiden Arroyo.

Federasi Industri Thailand (FTI) juga mengadakan pertemuan dengan Menkeu Thailand Suchart Thada-Thamrongvech, Jumat (2/10). Dalam pertemuan itu, Presiden FTI Santi Vilassakdanont mengatakan, krisis di AS telah menyebabkan produk ekspor Thailand melemah akibat penurunan pertumbuhan ekonomi di negara tujuan ekspor. FTI mengajukan delapan langkah yang penting dilakukan, seperti penurunan bea masuk impor, peningkatan keyakinan konsumen, dan penurunan pajak korporasi. FTI meminta otoritas moneter mengawasi produk-produk investasi asing yang beracun (toxic)

Jangan puas diri

Hal serupa juga dikatakan ekonom Dr Rizal Ramli. ”Kita selama ini seperti merasa puas diri dan mendaulat sukses ekonomi karena terjadi kenaikan harga komoditas ekspor. Rasa bangga itu kini gugur karena harga-harga komoditas sudah anjlok. Pernyataan bahwa ekonomi makro baik- baik saja seharusnya ditelaah kembali,” kata Rizal.

Rizal menyarankan, bangunlah ekonomi Indonesia dengan mengembangkan atau mendorong produktivitas dan ini adalah hal urgen. Faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi, lagi-lagi kembali pada desakan soal perbaikan pelayanan birokrasi, penghapusan pungutan- pungutan, red tape, dan lainnya. ”Ini tidak saja berguna untuk mendatangkan investasi asing, tetapi juga merangsang aktivitas ekonomi domestik. Ini terkesan naif, tetapi jika dilakukan secara saksama dan berkesinambungan, ekonomi Indonesia akan memiliki pijakan kuat,” katanya.

Rizal Ramli mengatakan, China telah menunjukkan hal itu, yakni dengan memperbaiki pelayanan pada investor yang meningkatkan produktivitas dan ekspor. Dari hasil ekspor, China memiliki cadangan devisa lebih dari 1,5 triliun dollar AS, tertinggi di dunia. Hal ini membuat ekonomi China menjadi salah satu yang paling solid di dunia dan Pemerintah China bisa memiliki kas yang mencukupi untuk memompa perekonomian jika krisis di AS memberi dampak negatif.

Sisi moneter

Antisipasi dari sektor moneter juga harus dilakukan. Ekonom A Tony Prasetiantono menyarankan agar BI tetap mempertahankan suku bunga inti (BI Rate). Masalahnya, jika BI menaikkan suku bunga, hal ini akan mengetatkan peredaran uang, yang justru tidak pas pada saat pasar modal sedang ketat. Jika BI menurunkan suku bunga, inflasi akan menjadi ancaman dari sisi lain. Sebaiknya BI tidak perlu melakukan intervensi atau tidak perlu mengubah suku bunga dan cukup dengan mempertahankan BI Rate pada level 9,25 persen.

Pengamat pasar modal, Januar Rizky, kembali mengkritik otoritas Indonesia yang terkesan menganggap sepele krisis keuangan AS, yang sudah mengorbankan Indonesia, berupa kerugian yang dialami warga kaya Indonesia yang membeli produk-produk Investasi asing.

Januar meminta otoritas tidak lengah. Masalahnya, kerugian yang dialami korporasi AS juga membuat mereka mencoba mencari celah, dengan bermain di bursa saham dan di pasar uang di negara berkembang. Celah itu harus disumbat.

”Jika tidak, secara perlahan dana RI akan tersedot lewat permainan di bursa, dari naik turunnya indeks di bursa saham dan kurs rupiah,” kata Januar, yang meminta investor awam absen dulu dari bursa.



Sumber : Kompas Cetak

WW" Krismon 1997 dan Wall Street Crash 2008: kita gimana?

original articlehttp://www.perspektif.net/article/article.php?article_id=947

Krismon 1997 dan Wall Street Crash 2008: kita gimana?

Perspektif Online
22 September 2008

oleh: Wimar Witoelar

Apakah bisa dibandingkan, dua peristiwa ambruknya dunia keuangan ini? Dari segi akibat, krismon 97 di kita mengakibatkan hancurnya bank dan konglomerat, dipecatnya Gubernur Bank Indonesia dan akhirnya kejatuhan rezim Suharto disertai peristiwa berdarah tragedi Mei dan peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II. Wall Street Crash 2008 tidak disusul huru-huru fisik, tapi sangat jauh lebih besar dalam ukuran uang.

Krismon 97 ditandai oleh paket bantuan IMF sebesar US$ 23 Billion (Milyar). Wall Street Crash 2008 sedang diusahakan penanggulangannya dengan paket bantuan pemerintah Amerika Serikat sebesar US$ 700B, yang mungkin menggelembung menjadi US$ 1,300B yaitu US$ 1.3 Trillion, atau lebih dari sepuluh kali APBN Indonesia! Dilihat dari asal usulnya, ada persamaan dan tentunya banyak perbedaan.

Krismon 1997 di Indonesia adalah bagian dari krisis finansial yang melanda beberapa negara Asia mulai Juli 1997. Mulainya di Thailand dengan jatuhnya mata uang Thai Baht setelah Baht dilepaskan dari “peg” dengan US Dollar setelah melemahnya Baht akibat menggelembungnya hutang luar negeri, sebagian besar sebagai akibat spekulasi real estate. Orang membangun gila-gilaan menggunakan uang hutang yang tidak bisa dibayar kembali. Melemahnya Thai Baht secara mendadak menular pada melemahnya mata uang lain di wilayah ini dan krisis melanda Thailand, Korea Selatan dan Indonesia. Hong Kong, Malaysia, Laos dan Filipina juga “kena”.

Thailand dan Korea Selatan bisa pulih dalam waktu singkat karena ekspor mereka cukup kuat untuk melayani hutang luar negeri. Tapi walaupun kebijaksanaan fiskal negara-negara Asia cukup baik, IMF meluncurkan program bantuan US$ 40B untuk memperkuat mata uang tiga negara itu agar tidak menyebar.

Tapi di Indonesia, hutang kepada IMF yang tidak bisa dibayar oleh penghasilan nasional membuat ekonomi kita makin masuk krisis. Akhirnya efek sampingnya menyebar sampai Presiden Suharto terpaksa mundur akibat kehilangan kendali akibat devaluasi Rupiah.

Krisis Moneter 1997 di Indonesia

michel.jpg

Direktur IMF Michel Camdessus dan Presiden Suharto

Pada waktu krisis melanda Thailand, keadaan Indonesia masih baik. Inflasi rendah, ekspor masih surplus sebesar US$ 900 juta dan cadangan devisa masih besar, lebih dari US$ 20 B. Tapi banyak perusahaan besar menggunakan hutang dalam US Dollar. Ini merupakan cara yang menguntungkan ketika Rupiah masih kuat. Hutang dan bunga tidak jadi masalah karena diimbangi kekuatan penghasilan Rupiah.

Tapi begitu Thailand melepaskan kaitan Baht pada US Dollar di bulan Juli 1997, Rupiah kena serangan bertubi-tubi, dijual untuk membeli US Dollar yang menjadi murah. Waktu Indonesia melepaskan Rupiah dari US Dollar, serangan meningkat makin menjatuhkan nilai Rupiah. IMF maju dengan paket bantuan US$ 20B, tapi Rupiah jatuh terus dengan kekuatiran akan hutang perusahaan, pelepasan Rupiah besar-besaran. Bursa Efek Jakarta juga jatuh. Dalam setengah tahun, Rupiah jatuh dari 2,000 dampai 18,000 per US Dollar.

paulson.jpg

Menteri Keuangan AS, Gubernur Bank Sentral dan pimpinan Kongres

Ceritera yang sama terjadi di Amerika Serikat dengan meningkatnya cita-cita memiliki rumah bagi semua dengan menggunakan hutang. Pemerintah menawarkan kredit murah dan mudah dengan sumber lembaga keuangan perumahan Fannie Mae dan Freddie Mac, yang dananya disalurkan pada pembeli rumah baik secara langsung maupun melalui bank.

Pernah ketemu orang bank atau kartu kredit yang menawarkan pinjaman dengan bersemangat? Begitulah Fannie Mae dan Freddie Mac menawarkan kredit perumahan secara agresif, sering kepada orang yang sebetulnya tidak mampu membayar pelunasannya. Bagi lembaga keuangan, meminjamkan keuangan memang pekerjaannya. Tanpa kendali dari pimpinan perusahaan dan pemerintah, tidak lama kemudian kelihatan uang yang dipinjamkan dalam bentuk KPR itu tidak akan kembali, macet.

Dengan banyaknya uang pembangunan rumah di pasar, harga rumah menggelembung keluar jangkauan peminjam uang. Satu persatu pinjaman menjadi kredit macet, sampai akhirnya Fannie Mae dan Freddy Mac harus diambil alih pemerintah.

Problemnya tidak berhenti disini. Kredit macet selalu menular, seperti juga kemacetan lalulintas. Penyitaan asset rumah mencapai rekor. Pinjaman rumah dipaketkan dalam instrumen keuangan yang diperdagangkan di bursa yang dikenal secara populer sebagai Wall Street, maka nilai sekuritas di Wall Street jatuh dengan hilangnya ‘investor confidence’.

Korban berjatuhan, antara lain Lehman Brothers yand merupakan pedagang sekuritas besar dan AIG, perusahaan asuransi terbesar di Amerika Serikat. Melihat ini, Menteri Keuangan AS Henry M. Paulson dengan terpaksa mengumumkan bahwa pemerintah AS akan membeli perusahaan yang macet dan mengelola kredit macet, mirip dengan yang dilakukan oleh IBRA atau BPPN di Indonesia kapan hari.

Ini adalah krisis keuangan terbesar di Amerika Serikat sejak Perang Dunia Kedua, dan bisa menular menjadi krisis dunia. Mudah-mudahan tidak. Ini tergantung dari efektivitas sistem politik Amerika Serikat dalam mengatur pemerintah dan lembaga keuangan. Kebetulan AS akan memilih Presiden baru 43 hari dari tanggal posting ini. Seru sekali, mendebarkan.

Wall Street and Main Street:  Dampaknya pada Orang Biasa

Biasanya naik turunnya nilai uang hanya berpengaruh pada perdagangan luar negeri. Naik turunnya harga sekuritas dan indeks Pasar Modal seperti IHSG dan Dow-Jones Index hanya berpengaruh pada investor bursa. Tapi kalau terjadi guncangan besar, maka semua orang akan kena. Kalau suatu bank jatuh, nasabahnya akan kena walaupun ada bagian-bagian yang dijamin oleh garansi asuransi. Tapi kalau perusahaan asuransi jatuh, maka pihak yang dijamin jatuh juga. AIG adalah perusahaan asuransi terbesar di Amerika dan salah satu terbesar di dunia. Kalau AIG bangkrut, pemegang asuransi tidak bisa dibayar. Ini terdiri atas perusahaan asuransi lain, bank dan perusahaan di seluruh dunia. Maka setiap orang yang berurusan dengan bank atau perusahaan besar akan terpengaruh krisis.

Karena itu Henry Paulson memberanikan diri untuk menyelamatkan AIG dan perusahaan lain. Tapi ia menggunakan uang negara yang adalah uang rakyat Amerika Serikat. Kalau paket penyelamatannya gagal, maka ekonomi AS akan jatuh benar-benar. Jangan sampai sebegitu….


Friday, October 3, 2008

SYEKH SITI JENAR; Wali Kesepuluh

tulisan menarik tentang Syekh Siti Jenar
http://husniya.blogspot.com/2007/02/syekh-siti-jenar-wali-kesepuluh.html

Monday, February 12, 2007

SYEKH SITI JENAR; Wali Kesepuluh

oleh Husni Hidayat El-Jufrie 

Mengkaji sejarah merupakan sebuah upaya yang tidak mudah. Apalagi bila realitas sejarah tersebut telah menjadi opini yang menghegemoni atau hanya sekedar suara sumbang yang kurang dapat dibuktikan. Kenyataan tersebut menimpa sejarah ulama agung, syeh Siti Jenar. Keberadaannya yang misterius membuat pelbagai kalangan terjebak dalam data-data sejarah yang tidak bisa dibuktikan keabsahannya sampai sekarang.

Oleh sebab itu , melalui sebuah karya seorang ulama Jawa Timur tersohor K.H. Abil Fadol Senori Tuban dalam karyanya " Ahla al- Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al-'Asyrah ( sekelumit hikmah tentang Wali sepuluh ). Penulis mencoba menampilkan sejarah yang sinkron dengan realitas. Mendengar karya tersebut, tentu kita akan ta'ajub, sebab selama ini yang terkenal di Jawa sebagai penyebar Islam adalah Wali Songo atau wali sembilan. Nah, K.H. Abil Fadol ingin menyampaikan realitas abu-abu sejarah yang selama ini terabaikan. Sebab realitanya, Syeh Siti Jenar sering diklaim sebagai seorang ulama yang sesat dan menyesatkan. Gagasan K.H Abil Fadol sebenarnya telah bergulir semenjak berpuluh-puluh tahun lalu. Tapi, karena kehati-hatian beliau, karya-karya " kanonikal " beliau tidak dipublikasikan secara umum. Akan tetapi, saat ini banyak karya beliau yang mulai dilirik oleh kiyai-kiyai pesantren tanah Jawa. Seperti ringkasan " Audhoh al- Masalik Ala al-Fiyah Ibn Malik , Kawakib al-Lama'ah Fi Tahqiq al-Musamma Bi Ahlissunnah Waljama'ah, Ahlal Musammarah " ( sebuah karya yang penulis jadikan rujukan utama dalam biografi Syah Siti Jenar dalam tulisan ini ), dan lain-lain. Bahkan ada karya beliau tentang Syarh Uqud al-Juman Fi Ilmi al-balaghah yang belum selesai, karena beliau telah berpulang kekhadirat-Nya, sehingga proyek balaghah tersebut menunggu uluran tangan para Kiyai di Indonesia. Dan kabar yang penulis terima, tak satu pun ulama Indonesia pada saat ini, mampu menyelesaikan maha karya tersebut, hanya seorang pakar balaghah dari Yaman lah yang mampu mencoba menyelesaikannya.Namun penulis tidak akan menyinggung banyak tentang K.H Abil Fadol, tapi penulis ingin menuangkan data-data beliau dengan realitas yang penulis jumpai.

Syekh Siti Jenar mungkin tidak banyak yang mengetahui asal-usulnya. Dikatakan bahwa beliau berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal dari persia, bahkan ada juga yang menyatakan beliau sebagai keturunan seorang empu kerajaan Maja Pahit. Bagi penulis, sumber-sumber tersebut tidak dapat disalahkan akan tetapi juga tidak dapat dibenarkan secara mutlak. Penulis hanya ingin menampilkan sosok Syekh Siti Jenar alias Sunan Jepara alias Syekh Abdul Jalil dengan didukung beberapa data yang realistis. Dalam sumber yang penulis terima, beliau merupakan keturunan (cucu ) Syekh Maulana Ishak. Syekh Maulana Ishak merupakan saudara kandung dari Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Siti Asfa yang dipersunting Raja Romawi. Syekh Maulana Ishak merupakan putra dari Syekh Jumadil Kubro, yang secara silsilah keturunan sampai ke Sayyidina Husain, Sayyidina Ali, sampai ke Rosulullah. Walaupun dalam versi yang lain, Syekh Maulana Ishak merupakan putra dari Syekh Ibrahim Asmarakandi, namun penulis tetap yakin dengan versi pertama. Syekh Ibrahim Asmarakandi menikah dengan Dewi Condrowulan, putri cempa yang menjadi saudara sekandung istri prabu Brawijaya yang bernama Dewi Martaningrum. Prabu Brawijaya (Rangka wijaya) memiliki banyak istri, diantaranya putri raja Cina yang bernama yang melahirkan Raden Patah, Martaningrum ( putri cempa ) dan Wandan Kuning yang melahirkan Lembu Peteng. Dari pernikahan Syekh Ibrahim Asmarakandi dengan Condrowulan melahirkan tiga buah hati, Raden Raja pendita, Sayid Rahmat (Sunan Ampel ), dan Sayyidah Zainab. Setelah dewasa, Raden Raja pendita dan Raden Rahmat mampir ke tanah Jawa untuk mengunjungi bibinya yang dipersunting Prabu Brawijaya. Tatkala akan kembali ke negeri cempa, keduanya dilarang oleh Prabu Brawijaya sebab keadaan Cempa tidak aman, maka keduanya pun diberi hadiah sebidang tanah dan diperbolehkan untuk menikah dan mukim di tanah Jawa. Raja Pandita menikah dengan anak Arya " Beribea " yang bernama Maduretno, sedangkan Raden Rahmat menikah dengan anak Arya teja yang bernama Condrowati. Dari pernikahan dengan Condrowati, Raden Rahmat dianugerahi lima anak, Sayyidah Syarifah, Sayyidah Mutmainnah, Sayyidah Hafsah, Sayyid Ibrahim ( Sunan Bonang ), dan Sayyid Qosim ( Sunan Derajat ).

Adapun Syekh Maulana Ishak menikah dengan seorang putri pasai, dengan dikaruniai dua orang anak, Siti Sarah dan Sayyid Abdul Qadir. Sunan Ampel menyebarkan Islam di daerah Surabaya dan sekitarnya, sedangkan Syekh Maulana Ishak meninggalkan Istrinya di Pasai menuju kerajaan Blambangan ( Jawa Timur bagian Timur ). Walaupun hanya tinggal di sebuah bukit di Banyu Wangi, namun keberadaannya dapat diketahui pihak kerajaan dan beliau berhasil menyelamatkan kerajaan Blambangan dari bencana. Sehingga ia pun diberi hadiah Dewi Sekardadu Putri Menak Sembuyu, Raja Blambangan. Pernikahan tersebutlah yang melahirkan Sunan Giri ( Raden Paku 'ainul Yaqin ). Sayyid Abdul Qadir dan Sayyidah Sarah sebagai buah hatinya pun tak mau ketinggalan dengan ayahnya, keduanya mondok di pesantren Ampel Denta asuhan Sunan Ampel atas perintah sang ayah.

Setelah mumpuni keduanya pun dinikahkan, Siti Sarah dinikahi oleh Raden Syahid ( Sunan Kali Jaga ) bin Raden Syakur (Adipati Wilatikta) , sedangkan Sayyid Abdul Qadir dinikahkan dengan Dewi Asiyah, anak dari Jaka Qandar (Sunan Malaya). Nah, dari kedua padangan inilah lahir Syekh Abdul Jalil.

Sayyid Abdul Jalil mempunyai himmah untuk belajar Ilmu Tasawwuf kepada Sunan Ampel. Diantara temen-temannya, dialah yang sangat paham dalam menyingkap Ilmu tauhid secara tepat; tidak ingkar dan tidak kufur. Sebab tatkala seseorang memahami Tauhid tentu keyakinannya tehadap Tuhan tidak akan ekstrim kanan (ingkar ) atau ekstrim kiri (kufr ), tetapi berada dalam neutral point ( Nuqtah Muhayidah ).

Kegesitan dalam dunia da'wah melalui kedalaman teologi ( tauhid ) menarik simpati pelbagai keluarga keraton Majapahit, termasuk Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga untuk memeluk agama Islam, Ki Ageng Pengging dan Ki Ageng Tingkir adalah dua sosok guru yang mendidik Mas Karebet alias Jaka Tingkir untuk menjadi manusia yang saleh ritual, sosial dan intelektual. Sehingga keberadaan jaka tingkir sebagai seorang politisi, mampu mendamaikan konflik politik antara Arya Penangsang ( yang di back up oleh Sunan Kudus ) dan Ratu Kalinyamat. Setelah Arya Penangsang dapat ditaklukan, Jaka Tingkir memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang, dan menyerahkan kekuasaannya ke Sutawijaya. Sedangkan beliau mengembara dan berdakwah lewat jalur kultural, hingga meninggal di desa Pringgo Boyo, Lamongan. Kesuksesan Ki Ageng Pengging mendidik Jaka Tingkir tak lepas dari peran Sunan Abdul Jalil yang juga lihai dalam berpolitik. Bila anda mengkaji literatur tentang beliau, banyak sekali yang menyebutkan bahwa kematian beliau dikarenakan faktor politik. Sebagaimana yang telah diteliti oleh Agus Sunyoto dalam 300 literatur Jawa. Jadi bukan karena ajaran " Manunggaling Kaulo Gusti" ( wihdatul wujud ) " yang kurang bisa dipahami oleh sebagian kalangan. Memang Wali sepuluh menyebarkan Islam tidak dengan kekerasan, melainkan dengan kearifan, hikmah, mauidhoh hasanah, dan mujadalah lewat mata hati. Sehingga akulturasi budaya budha, hindu, dan Islam adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi esensi ajaran Islam tetap mendominasi dan tidak bercampur dengan syrik dan kufur. pernahkah kita berfikir, andaikan Wali Sepuluh memisahkan esensi Islam dengan budaya-budaya non Islam tersebut, tentu mungkin Islam belum belum mendarah daging d pulau Jawa, hingga sekarang. Sunan Abdul Jalil adalah seorang Wali yang juga menempuh metode tersebut, sehingga secara intelektual beliau berada dalam papan atas. Tak heran bila banyak kalangan elite Maja Pahit yang masuk Islam, Santri-santrinya lah yang dikhawatirkan mencegah berdirin dan berkembangnya kerajaan Demak Bintoro, sungguh sangat kejam, hanya demi tegaknya negara Syari'at Sunan Abdul Jalil direndahkan reputasinya dan dituduh menyebarka ajaran sesat.

Hal ini dapat anda buktikan dengan kematiannya yang misterius, tanpa diketahui tahun dan tempat eksikusi tersebut. Sehingga seolah-olah beliau hilang begitu saja, padahal santri-santrinya pun aman dan tidak mendapatkan tekanan dari penguasa, seperti Ki Ageng Pangging alias Kebo Kenanga.yang berhasil mendidik Jaka Tingkir. Konflik antara proyek besar negara Islam yang berpusat di Demak Bintoro dan Glagah Wangi (Jepara ) inilah, yang menjadikan nama Syekh Siti Jenar harum sebagai Sunan Jepara alias Syekh Abdul Jalil. Makamnya, yang terletak di dekat makam Ratu Kalinyamat (Bupati pertama Jepara) sampai sekarang banyak diziarahi orang,. Memang proyek Demak Bintoro merupakan garapan kontroversial, sebab Raden Patah sebagai pendiri merupakan anak dari Prabu Brawijaya, seolah-olah Demak Bintoro ingin membangun sebuah kerajaan New Majapahit versi Islam. Tak heran bila setelah Raden Trenggono wafat, banyak tarik ulur kekuasaan, terutama Glagah Wangi (jepara ) dengan pusat kerajaan (Demak Bintoro). Oleh sebab itu, tak heran bila kemudian Jaka Tingkir memindahkannya ke Pajang.

Begitulah sekelumit sejarah tentang Syekh Siti Jenar alias Syekh Abdul Jalil atau Sunan Jepara, lebih jelasnya anda dapat mengunjungi makamnya dan dapat bertanya kepada juru kunci makam tersebut, yang telah menutup rapat-rapat selama bertahun-tahun. Wallahu A'lam …..


Dandossi Matram: "Subprime Mortgage" dan "Bailout": Selanjutnya...


http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/03/10422462/quotsubprime.mortgagequot.dan.quotbailoutquot.selanjutnya...
/Home/Bisnis & Keuangan/Fiskal & Moneter
KRISIS EKONOMI GLOBAL
"Subprime Mortgage" dan "Bailout": Selanjutnya...
Gedung Capitol, tempat berkantornya senat Amerika Serikat. Senat menyetujui rencana penyelamatan pasar keuangan senilai 700 miliar dollar AS, Rabu (1/10), di Capitol Hill, Washington.
Jumat, 3 Oktober 2008 | 10:42 WIB

DANDOSSI MATRAM

Sungguh sulit dipercaya bahwa pembiayaan kredit properti yang tidak hati-hati bisa meluluhlantakkan ekonomi negara adidaya semacam Amerika Serikat. Seluruh lapisan masyarakat di Amerika dan dunia saat ini menyesali investasi di surat utang subprime mortgage yang telah menyapu bersih modal mereka.

Subprime mortgage (SM) merupakan kredit perumahan yang skema pinjamannya telah dimodifikasi sehingga mempermudah kepemilikan rumah oleh orang miskin yang sebenarnya tidak layak mendapat kredit. Tingkat bunga The Fed, sepanjang tahun 2002-2004 yang hanya sekitar 1-1,75 persen, membuat bisnis SM dan perumahan booming. Tingginya bunga pinjaman SM (pada saat bunga deposito rendah) menarik investor kelas kakap dunia (bank, reksadana, dana pensiun, asuransi) membeli surat utang yang diterbitkan perusahaan SM.

Ketika The Fed, mulai Juni 2004, bertahap menaikkan bunga hingga mencapai 5,25 persen pada Agustus 2007, kredit perumahan mulai bermasalah akibat banyaknya nasabah yang gagal bayar. Dampaknya, banyak perusahaan penerbit SM rugi besar karena nasabahnya gagal bayar dan perusahaan SM tidak mampu membayar utang karena tidak dibayar nasabahnya. Terjadi banyak penyitaan rumah (1 dari 10 rumah di Cleveland, AS, dalam kondisi tersita). Pasar properti berubah menjadi seller market akibat banyak yang ingin menjual propertinya sehingga harga properti turun 10 persen.

Investor institusi keuangan yang membeli surat utang SM rugi besar karena surat utangnya hanya bernilai sekitar 20 persen. Akibatnya, harga saham atau nilai aktiva bersih dari investor yang memiliki SM jatuh dan membuat investor rugi besar.

Butuh likuiditas

Sialnya, kebutuhan likuiditas juga mendesak. Selain tiadanya capital gain dan penerimaan cash inflow dari kupon bunga SM yang gagal bayar, juga ada kebutuhan dana tunai karena sebagian investor yang mencairkan investasinya. Parahnya, pada saat bersamaan semua pihak butuh likuiditas, yang berakibat terjadinya credit crunch (kelangkaan likuiditas).

Akibatnya, untuk menutupi kebutuhan likuiditas, mayoritas investor terpaksa menjual portofolionya, termasuk sahamnya, secara besar-besaran, di seluruh dunia yang mengakibatkan terempasnya pasar modal dunia.

Akhirnya, Pemerintah Amerika Serikat (AS) turun tangan sepenuhnya mengatasi masalah yang ditimbulkannya sendiri. Dana 700 miliar dollar AS, secara bertahap, akan digelontorkan ke pasar untuk membeli surat utang SM yang bermasalah, yang telah membuat ekonomi AS babak belur.

”Bailout” dijegal

Rencana bailout, walau telah mendapatkan keputusan Senat, ternyata terjegal oleh keputusan House of Representative. Bursa global yang sudah bereaksi positif saat rencana diajukan kembali terkapar. Khusus Wall Street, indeks jatuh dengan angka yang ajaib. Indeks jatuh 777,7 point sebagai respons atas penolakan bailout senilai 700 miliar dollar AS tersebut. Mengindikasikan sedemikian parahnya krisis yang tengah terjadi di AS.

Saat ini, rencana bailout kedua segera diajukan kembali, dengan revisi tambahan usulan kenaikan penjaminan deposan dari 100.000 dollar AS menjadi 250.000 dollar AS untuk menenangkan deposan yang panik. Serta membebaskan Federal Deposit Insurance Corp meminjam tanpa batas kepada Departemen Keuangan saat membutuhkan dana.

Pertanyaannya, bila bailout ini disetujui, apakah kita bisa berharap krisis ekonomi global akan cepat pulih kembali? Ada baiknya kita lihat bagaimana bailout ala Amerika Serikat ini dilakukan.

”Bailout” untuk surat utang

Bailout dilakukan dalam bentuk pemerintah akan membeli surat utang SM yang macet, yang dipegang oleh investor—yang merupakan investor institusi keuangan, seperti bank, reksadana, dana pensiun, dan asuransi. Harga pembelian surat utang adalah harga pasar, yang saat ini jauh di bawah nominal. Dana bailout diperoleh dari penerbitan surat utang pemerintah di pasar uang. Setiap perusahaan yang menjual surat utang ke pemerintah terikat ketentuan tentang pembatasan gaji top eksekutif.

Dengan skema bailout yang seperti ini, manfaat utama yang bisa terlihat hanyalah berkurangnya tekanan penjualan portofolio, khususnya saham, secara global karena nantinya, dengan bailout, kebutuhan likuiditas, selain dari saham, bisa dipenuhi juga dari penjualan surat utang SM kepada pemerintah.

Namun, skema ini tidak akan mencegah kerugian yang diderita investor karena, dengan prinsip akuntansi marked to market, kerugian tetap harus diakui dalam pembukuan investor yang memiliki surat utang SM yang bermasalah. Kerugian yang besar tetap berpotensi menggerus modal yang mengakibatkan insolvensi, yang bermasalah pada ekuitas yang negatif bila tidak dilakukan injeksi modal baru.

Investor sendiri diragukan akan bersedia menjual surat utang mereka ke pemerintah dengan harga pasar. Mereka pasti akan berusaha keras mencari alternatif pendanaan lainnya daripada merealisasikan kerugian yang sangat besar dalam buku mereka.

Pemilik rumah tampaknya juga tidak mendapat manfaat banyak dari bailout ini karena kewajiban cicilan dengan bunga pasar tetap berlaku. Keringanan paling berbentuk kelonggaran dalam kriteria penyitaan oleh kreditor bila peminjam tidak mampu membayar kewajibannya.

Perusahaan penerbit SM juga tidak diberikan perhatian dalam bailout ini. Padahal, masalah utama krisis ini adalah nasabahnya yang gagal bayar, pasar properti yang over supply, serta nilai properti yang anjlok sehingga mereka tidak sanggup membayar kewajibannya kepada investor keuangan.

Skema bailout ini agak diragukan efektivitasnya dan manfaatnya bagi pemulihan ekonomi Amerika Serikat. Bayangkan ketika investor bertahan tidak menjual surat utangnya, atau pemilik rumah tetap tidak sanggup membayar kewajibannya dan penerbit surat utang tidak sanggup membayar.

Skema bailout ini berbeda sekali dengan saat Pemerintah Indonesia mem-bailout bank yang bermasalah. Saat itu, pemerintah mem-bailout dengan cara mengambil alih kepemilikan saham bank yang bermasalah melalui rekapitalisasi bank kemudian menjual sahamnya secara tender (yang sayangnya penjualannya terlalu dini dengan harga murah dan berorientasi ke investor asing).

Hindari intervensi

Kalau bailout ala AS, hanya untuk surat utang saja. Mungkin, prinsip kapitalisme dan liberalisme membuat bailout kepemilikan (saham) oleh pemerintah, yang bersifat intervensi, menjadi sesuatu yang dihindarkan di Amerika Serikat. Padahal, Inggris dengan cepat menasionalisasikan bank kedua terbesar di Inggris, Bradford & Bingley, juga Northern Rock’s yang bermasalah gara-gara subprime mortgage ini. Begitu pula dengan Fortis yang sebagian sahamnya diambil alih Pemerintah Belgia dan Belanda.

Tidak heran, ketika proposal bailout ini disetujui Kongres pada hari Minggu, pada perdagangan saham hari Seninnya, indeks global mengalami penurunan. Bisa jadi penurunan tersebut merupakan respons negatif terhadap usulan bailout yang memang tidak menyembuhkan penyakitnya secara tuntas.

Oleh karena itu, dengan skema bailout ini, janganlah kita terlalu berharap bahwa bailout ini akan tuntas menyelesaikan krisis ekonomi Amerika Serikat dan global dalam waktu 1-2 tahun ke depan.

Dampak terhadap Indonesia

Krisis SM sangat merugikan investor keuangan dunia yang juga berinvestasi di pasar modal dan uang Indonesia. Pukulan terbesar memang di pasar modal mengingat saham merupakan instrumen likuid, begitu pula deposito. Kebutuhan likuiditas yang tinggi membuat mereka keluar dari pasar keuangan Indonesia.

Untuk surat utang negara (SUN), tekanan tidak terlalu parah karena merupakan instrumen jangka panjang yang bebas risiko yang dimungkinkan ”disekolahkan” dalam bentuk REPO. Selain itu, pasar sekunder yang ada belum memungkinkan investor asing keluar secara instan dalam jumlah besar.

Penerbitan SUN baru untuk sementara waktu akan terganggu dengan masih akan absennya investor asing.

Tidak terlalu terpengaruh

Ekspor beberapa produk mungkin terganggu karena menurunnya permintaan. Namun, dengan pertumbuhan pasar domestik yang pesat, bisa meminimalisasi dampak penurunan pasar ekspor secara agregat. Dengan pasar domestik yang kuat, pendanaan dalam negeri yang likuid, serta pertumbuhan ekonomi yang terus tumbuh, seharusnya Indonesia tidak terlalu terpengaruh krisis yang terjadi di Amerika Serikat. Bahkan, krisis ini sebenarnya merupakan peluang Indonesia menyelinap lebih gesit.

Sejarah juga mencatat bahwa, pascakrisis moneter di Indonesia, setiap terjadi krisis di Amerika Serikat (9/11, Enron, SM), Indonesia berada pada posisi yang lebih baik atau malah diuntungkan. Buktinya, nilai kurs rupiah dalam jangka panjang malah relatif stabil atau menguat.

DANDOSSI MATRAM, Pengamat Pasar Modal


Wednesday, October 1, 2008

BBC: Why did the bail-out bill fail?


http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/7643199.stm

Why did the bail-out bill fail?

By Kevin Connolly
BBC News, Washington

There were a few moments between the casting of the final vote in Congress and the announcement that the $700bn (£380bn) bail-out had been rejected when the world of American politics appeared to be frozen.

US Capitol
Many members of Congress were worried about losing their seats

Votes in the House of Representatives are not official until the Speaker's gavel is lowered and - for what felt like an eternity - the speaker's gavel remained suspended above the desk.

News services waited for several minutes before calling the result - a rare enough occurrence in a world of instant information.

Rumours began to circulate that attempts were being made to change the minds of some of the members who had voted "no".

Stunned

It would be an extraordinary step in a democracy to ask a member of a legislature to simply reverse a vote on an issue vital to the national interest without any extra revision or debate, and the rumours may not be true.

But it captures something of the mood of stunned apprehension in the House that they were believed even for a moment.

In that moment, the House appeared to be absorbing, very slowly, the sheer magnitude of what it had done.

Members had rejected a bill which the Treasury and the Federal Reserve had insisted was essential to the stability and viability of the American financial system - and by extension the financial system of the entire world.

This has all come at the most awkward possible moment in the American political cycle, when normally powerful institutions do not have the normal range of tools of persuasion at their disposal

The Bush administration had argued that without its bail-out plan and the funds to back it, the American economy would begin to grind to a halt.

Everyone knew there was deep unhappiness among both Republicans and Democrats with the nature of the American government's blueprint for rescuing the country but very few - if any - predicted that the sentiment would be strong enough to provoke a revolt on this scale.

Members of Congress have been dealing with two powerful conflicting forces over the last week.

The first was remorseless pressure from the White House - the argument that the country faced a crisis so profound that unless they approved the government's plans, American capitalism would grind to a halt as funds flowing between the banks began to dry up.

But the second pressure which is much harder to measure came from ordinary voters writing or emailing their own members of Congress angrily demanding that they reject a scheme which is universally perceived here as a bail-out of Wall Street bankers.

They are perceived as greedy, incompetent fat cats who have created this crisis themselves and who are now being allowed to pick the pockets of American voters to fix it.

Awkward moment

A majority of House Democrats did back the bill, in spite of their doubts about plans which appear to be rescuing irresponsible banks, rather than the customers they are throwing out of their re-possessed homes.

The real problems came on the Republican side - where a large majority saw this as an un-American measure which flies in the face of the basic rules of capitalism.

To make things worse, this has all come at the most awkward possible moment in the American political cycle, when normally powerful institutions do not have the normal range of tools of persuasion at their disposal.

President George W Bush
President Bush is nearing the end of his presidency

George W Bush, his authority sapped anyway by his abiding unpopularity, is very much in the Lame Duck phase of the closing days of his presidency.

He simply did not have the clout to get the job done.

Members of Congress face not just the abstract knowledge of the need for re-election which haunts them throughout their working lives, but the immediate knowledge that they will be facing the judgement of voters in November.

Politicians shy away from difficult and unpopular decisions at the best of times. They are inclined to run a mile from this kind of issue, at least for now.

That is a crucial caveat.

The most frequently asked question of all at this kind of moment is "What Happens Now?" and the short answer is that the Bush administration aided by the two sets of party leaders on Capitol Hill will have another go.

They might need to offer concessions to individual members to turn them around and they will certainly need to re-write parts of the bill - but the US government clearly cannot give up on this.

Frightening

Before the search for a bi-partisan deal can resume, you can expect a fair bit of bi-partisan bloodletting.

Some Republicans are saying they were preparing to vote "yes" until they heard the closing remarks of Speaker Nancy Pelosi who criticised the ethos of Republican economics, which prompted them to change their minds at the very last minute.

Senior Democrats are contemptuous of the idea that senior legislators would plunge their country's financial system into chaos in what would amount to a fit of pique.

The search for a fix is already under way, but you can be sure it will now take place against a backdrop of plunging share prices all around the world.

It is possible that the sense of global crisis may - perversely - offer a way out of this.

American voters simply have not seen this as a crisis that affects their real lives on Main Street - it is seen as a welfare scheme for the humbled plutocrats of Wall Street.

If the problems deepen and people suddenly see unemployment rising because businesses cannot get money from the banks to pay their bills and honour their payrolls, then that sentiment might change.

That is the optimistic assessment - that American lawmakers and voters having registered their pain and anger will eventually fall into line and give the US Treasury the money it wants.

The pessimistic assessment is almost too frightening to contemplate.

It is that a majority of members of Congress, backed by their voters, simply do not believe in a plan which basically involves the United States government borrowing hundreds of billions of dollars to prop up a financial system which is clearly deeply flawed.

If the warnings from US Treasury Secretary Hank Paulson are to believed, such a decision would usher in an age of catastrophe.

We will discover in the next few days which of those two interpretations will be borne out - when the issue is put back before the House of Representatives and the House once again says "yes" or "no".