Monday, August 20, 2007

PPN ? Siapa Takut..!?

tulisan ini dibuat dalam rangka lomba artikel menyambut ulang tahun mailing list khusus pembayar pajak (tax-ina@yahoogroups.com) yang ke-4 per 14-08-2007.

PPN ? Siapa Takut..!?

by Anton MS Wardhana

 

 

Terus terang saja, tulisan ini berangkat dari rasa penasaran: mengapa sih kebanyakan orang rada “anti” dengan Pajak Pertambahan Nilai ? Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menguraikan apa dan bagaimana itu PPN, secara udah pada bosen dengernya kayaknya, tetapi mengenai beberapa pendekatan penggunaan PPN dalam usaha.

 

Beberapa waktu yang lalu, seorang rekan wirausaha bertanya tentang kapan sebuah usaha harus memungut PPN. Ia bertanya demikian sebab rekanannya mempertanyakan status Pengusaha Kena Pajak-nya alias status berhak (dan wajib) memungut PPN dalam usahanya. Setelah saya jelaskan, omzet rekan ini ternyata sudah di atas ambang batas seorang pengusaha tidak wajib memungut PPN 

--ahem.. kayaknya laris nih Boss bisnisnya ?! *tuing*tuing*  <ari.ams

--hush ! serius dikit !  <bu momod

 

Keadaan yang demikian, ternyata malah membuat rekan kami ini tersenyum kecut. Ketika ditanya mengapa, sang rekan mengemukakan beberapa alasan:

1.       kalau PKP, banyak kerjaan administrasi tambahan setiap bulan, kalo telat dendanya gede pula, apalagi yang mulai tahun depan 

2.       kalau memungut PPN, harga jual jadi tidak bersaing lagi, kalah sama toko sebelah 

3.       tapi intinya, kalo harus pake PPN, kok kayaknya tambah susah aja, geto lowh..

 

Hmm.. Alasan nomor satu, dengan terbitnya Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan yang baru yang No 28 Th 2007 itu lho.. yah iya juga sih (hiks). Kalo alasan nomor dua, kalo gw bilang sih itu salah elu sendiri  ngapain juga milih buka toko persis di sebelah toko saingan..

--halah !  <oom momod

--ups ! ok, back to laptop ! <ari.ams (katro mode on)

 

Memang sih dengan dikukuhkan sebagai PKP, seorang pengusaha jadi ketambahan beban administratif yang lumayan berat. Tapi, lihat dulu dong:

1.       Pasti memang berat kalo dilakukan dengan sistem SKS alias Sistem Kebut tanggal Setor PPN  *maksa*dot*com*.    Tapi betul, kan ? Seandainya setiap kali kita menerbitkan dan atau menerima invoice  langsung kita input itu data PPN-nya dalam suatu sistem yang langsung nyambung ke SPT (seperti e-SPT PPN itu lho), rasanya pekerjaan beratnya sudah cukup terbantu deh

2.       Kalau pekerjaan administratif itu enggak dilakukan, mana kita tahu berapa PPN yang masih harus dibayar ke kas negara, atau sebaliknya: yang bisa kita mintakan restitusi atau kompensasi dari negara. Itu pun, kalo pake cara nomor satu, sudah bisa dilakukan otomatis kok, asal rajin tiap transaksi langsung diinput ajah. Jadi ngga pake seradak seruduk menjelang tanggal 15 atau tanggal 20.

3.       Oh iya, kalo usaha elo pengin diklasifikasi jadi kelas B alias bisa ikut tender kelas M-M-an gitu, ini biasanya kalo bouwheer-nya pemerintah nih, umumnya dia minta status PKP elo, prend

4.       Dan tambahan pekerjaan administratif ini, khususnya di bagian ekualisasi PPN, bisa dimanfaatkan  untuk pengendalian internal, yakni untuk menguji ketaatan dan keandalan pencatatan data dan...

--mas, kayaknya elo udah mulai ngecap, deh !  <mas penyelenggara

--duh ! ya jangan buka rahasia gitu dong, Yan.. kan gw malu.. <ari.ams (tersipu mode on)

 

Oke deh kita masuk alasan nomor dua: harga jadi tidak bersaing. Ah, masa iya ? Memang sih, bila harga jual kita dikenakan PPN, tidak otomatis harga jual kita menjadi lebih bersaing

--yah, ni orang ! emang sebelumnya guwa bilang apa yah, bro ?! <rekan yang wirausaha

--iye dah, iyee !  <ari.ams 

 

Intinya, dengan dikenakan PPN,  harga jual dan atau profit margin kita tidak selalu juga lantas jadi lebih buruk ! Sebab, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika kita berbicara strategi PPN, antara lain :

 

1.       Kastemer dan Vendor

 

Apakah pelanggan kita kebanyakan sudah PKP atau banyak yang non PKP ? ketika banyak yang sudah PKP, maka perubahan status perusahaan kita menjadi PKP akan ikut menguntungkan mereka dari sisi kredit pajak. Dan itu poin plus tersendiri, artinya: pelanggan tidak akan menghilang gara-gara kita berubah jadi PKP.

 

Begitu juga dengan pemasok, ketika banyak yang ternyata PKP, perubahan status kita menjadi PKP akan menguntungkan perusahaan dari sisi pengkreditan PPN dan penurunan cost/biaya. 

 

By the way, adakalanya juga nih ya pada saat-saat tertentu, seperti kombinasi pemasok PKP dan pembeli non PKP, secara cash flow justru lebih bagus bila kita tetap non PKP. Apalagi bila dikaitkan dengan harga jual yang bagi pembeli non PKP tentu dianggap lebih mahal.   Dan mungkin juga itulah sebabnya, sampai pada level tertentu, seorang pengusaha diperbolehkan atau tidak wajib memungut PPN.   Nah, sepanjang memang kasusnya demikian dan kesempatannya diberikan oleh peraturan, yah.. ahem.. sebaiknya dimanfaatkan. Ya nggak sih prend   ?!

--so, kenapa ngga selamanya aja ngga usah mungut PPN ? <rekan yang wirausaha

--yah ! kalo udah lewat ambang batas PKP, artinya udah jadi pengusaha gede, bo.. masa ngga malu sih masih ngembat jatahnya pengusaha kecil..!?   <ari.ams 

 

2.       Strategi Penentuan Harga dan/atau Laba Kotor

 

Sebenarnya dalam penentuan harga dan atau laba kotor, kita bisa melakukan perbandingan atau perhitungan sederhana bilamana kita PKP atau tetap bertahan non PKP.  Dalam hal itu, secara garis besar ada tiga pendekatan yang bisa dilakukan:

 

2.1.  Harga beli dan Harga Jual pada level yang sama

 

Misalnya PT A membeli barang dari supplier PKP seharga Rp5 juta (diluar PPN) dan dijual seharga Rp6 juta (diluar PPN), maka:

 

Keterangan

PKP

Non PKP

Harga Beli

Rp5.000.000,- +PPN

Rp5.500.000,-

Uang Dikeluarkan

Rp5.500.000,-

Rp5.500.000,-

Harga Jual

Rp6.000.000,- +PPN

Rp6.000.000,-

Uang Diterima

Rp6.600.000,-

Rp6.000.000,-

Laba Kotor

Rp1jt (Rp6jt-/-5jt)

Rp0,5jt (Rp6jt-/-Rp5,5jt)

Penerimaan Kas

Rp1jt ((Rp6jt-/-5jt)-(Rp0,6jt-/-0,5jt))

Rp1jt ((Rp6jt-/-5jt)-/-Rp0,5jt)

 

Sebenarnya penerimaan kas yang betul-betul diterima adalah 1,1 juta (6,6jt-/-5,5jt) tetapi kan ada hutang PPN 0,1jt yang harus dibayar (0,6jt-/-0,5jt) jadi pada akhirnya penerimaan kas hanya 1 juta, dengan keuntungan pemanfaatan waktu atas uang senilai 0,1 juta sebelum disetor ke kas negara. [perhitungan terlampir]

 

Kesimpulan, dengan jalan seperti ini maka seharusnya sih mengenakan PPN lebih untung.

 

Tapi masalahnya, metode ini otomatis mengalami kenaikan harga/biaya, maksud saya setidaknya bagi konsumen harus mengeluarkan dana 10% ekstra (kecuali tentu bagi pembeli yang PKP, soalnya bisa dikreditkan). Dan ini mungkin akan berdampak pada penurunan penjualan.  Kecuali, tentu saja bila diimbangi dengan strategi pemasaran lain dan atau kondisi seperti kastemer dan vendor kebanyakan PKP.

 

2.2.  Jumlah yang dibayar oleh konsumen sama

 

Dengan kasus yang serupa, tetapi dalam hal ini jumlah uang yang dikeluarkan pembeli sama-sama Rp6.000000 (misalnya). Bagi PKP harga tersebut termasuk PPN, bagi Non PKP tentu diluar PPN.

 

Keterangan

PKP

Non PKP

Harga Beli

Rp5.000.000,- +PPN

Rp5.500.000,-

Uang Dikeluarkan

Rp5.500.000,-

Rp5.500.000,-

Harga Jual

Rp6.000.000,- incl PPN (=Rp5.454.545,- +PPN

Rp6.000.000,-

Uang Diterima

Rp6.000.000,-

Rp6.000.000,-

Laba Kotor

Rp0,45jt (Rp5,45jt-/-5jt)

Rp0,5jt (Rp6jt-/-Rp5,5jt)

Penerimaan Kas

Rp0,45jt ((Rp6jt-/-5,5jt)-/-45rb))

Rp0,5jt (Rp6jt-/-Rp5,5jt)

 

Uang yang diterima sebenarnya Rp0,45jt (Rp6jt-/-Rp5,5jt) tetapi tanggal 15 bulan berikutnya ada hutang pajak senilai Rp45rb yang harus disetor ke kas negara. Jatuh-jatuhnya Rp0,45jt  dengan keunggulan waktu pemanfaatan Rp45rb sampai tanggal 15 bulan berikut. [perhitungan terlampir]

 

Kesimpulan, pada kondisi jumlah yang dibayar oleh konsumen yang sama persis (sangat boleh bersaing dong !? buat yang PKP, harga jualnya kan malah lebih rendah tuh..) metode ini sayangnya menghasilkan angka laba bersih di neraca yang lebih kecil bagi yang PKP daripada yang Non PKP meski tidak terlalu signifikan. Dan memang secara cash basis, angka yang diterima oleh PT A selaku PKP lebih kecil karena dipotong Hutang PPN (PPN Keluaran > PPN Masukan). Tapi ini pada level penjualan yang sama, lho.

 

Di sisi lain, mengingat harga jual resminya yang jadi lebih murah dibanding perusahan saingan yang non PKP, hal ini bisa jadi akan mendongkrak angka penjualan menjadi tinggi sehingga margin laba dan kas yang diterima jadi lebih besar dari sebelumnya.  Masalah klasiknya tentu saja: dengan harga jual kita yang jadi begitu menggiurkan, kastemer lain (yang bukan kastemer lama) pada tahu itu dan tertarik, tidak ? Kalo nggak, ya sama juga bohong.. Tapi bagian ini sih biar dipikirkan kawan-kawan di milis pemasaran aja kali ya..?!

 

2.3.  Jumlah laba kotornya sama

 

Kasus dasarnya sama, tetapi dalam hal ini PT A, baik sebagai PKP maupun bukan, sangat fokus pada cash margin. Dalam hal ini asumsinya margin penerimaan kasnya sama-sama Rp 500.000 sesuai perhitungan penerimaan kas bagi PT A bila Non PKP.

 

Keterangan

PKP

Non PKP

Harga Beli

Rp5.000.000,- +PPN

Rp5.500.000,-

Uang Dikeluarkan

Rp5.500.000,-

Rp5.500.000,-

Harga Jual

Rp5.500.000,- +PPN

Rp6.000.000,-

Uang Diterima

Rp6.050.000,-

Rp6.000.000,-

Laba Kotor

Rp0,5jt (Rp5,5jt-/-5jt)

Rp0,5jt (Rp6jt-/-Rp5,5jt)

Penerimaan Kas

Rp0,5jt ((Rp6,05jt-/-5jt)-(Rp0,55jt-/-0,5jt))

Rp0,5jt (Rp6jt-/-Rp5,5jt)

 

Uang masuk sebenarnya Rp0,55jt (Rp6,05jt-/-Rp5jt) tetapi tanggal 15 bulan berikutnya ada Rp50.000,- yang harus disetor ke Kas Negara. Jadi hasil akhirnya Rp500.000,- juga, dengan keuntungan time value of money Rp50.000,- sampai tanggal 15 bulan depan. [perhitungan terlampir]

 

Kesimpulan, pada kondisi ini harga jual perusahaan yang PKP masih lebih rendah dibanding yang non PKP (so masih bisa bersaing dong !?) Sedang jumlah uang yang dikeluarkan kastemer PKP memang sedikit lebih besar dari yang non PKP. Tetapi bila kastemernya PKP, tentu hal ini tidak jadi masalah sebab cost dilihat dari angka harga jual murninya diluar PPN.

 

Metode ini menghasilkan angka margin kotor di laporan laba rugi yang sama besar bagi perusahaan baik PKP maupun bukan, begitu pun secara cash basis. 

 

 

Oke deh, jadi kesimpulannya jangan buru-buru bilang PPN itu menakutkan, PPN itu bikin ngga mampu bersaing de el el de es be. Sebab tidak selalu demikian.

--bro bro, “tidak selalu demikian”  itu.. artinya biasanya begitu, dong ?! <rekan yang wirausaha

--halah ! mental loser, deh elu tuh ye ?!  <ari.ams 

 

Kita harus selalu bisa menilai situasi dan kondisinya dengan tepat, agar strategi/rencana perpajakan kita benar-benar mendatangkan yang terbaik bagi usaha kita..  hmm..dan atau usahanya boss kita, deh. Contohnya, bisa lihat perhitungan-perhitungan sederhana di atas.

 

Memang sih perhitungan di atas itu sangat sangat sederhana. Pasti ada banyak hal yang belum dipertimbangkan dan atau memerlukan koordinasi dengan pihak-pihak lain di dalam perusahaan.  Namun dengan perhitungan yang seperti ini dan tentunya dengan penguasaan kita  tentang produk kita sendiri, maka seharusnya keputusan menjadi PKP atau bukan PKP bukan lagi soal mental ataupun isyu, melainkan benar-benar soal perhitungan dan perencanaan. 

 

Jadi, jangan takut sama PPN, geto loh bo..

 

Dan, omong-omong, lokasi wirausaha rekan saya ini dekat rumahnya Oom Ika di BSD. Di deket situ itu ada sebuah rumah makan kecil yang menunya boleh dibilang sangat jarang ada di Jakarta, yaitu Mangut. Mangut ini semacam...

--mas, lanjutan kulinernya di sebelah aja, mas !  <mr. president, Republik OOT

--oh.. sendhika dawuh, pak presiden !  <ari.ams 

 

Dan dengan demikian, tulisan ini harus disudahi sebelum saya kena dikenakan pasal menghina Presiden Republik OOT dan menyebarkan hasutan terhadap status PKP.

 

11 Agustus 2007

koreksi 12.08.2007 dan 18.08.2007

Anton M.S. Wardhana

 

Anton MS Wardhana alias Ari AMS a.k.a Ari Latung. Pekerjaan: ngga jelas. OB di sini dan Cleaning Service di sana. Kadang juga jadi as-pri istrinya: jualan bakso..! (tapi lebih sering dimakan sendiri, sih..enak soalnya..)

--Latung !!!  <moderators, mas penyelenggara, dan presiden OOT

--iya, iya.. wis rampung ! gw diem, deh !  <ari.ams 

...

--tapi, kan..  <ari.ams 

--avada kedavra !! cruccio !! sectum sempra !! kamehame ha !! (teriakan2 mantra dan jurus para mods dan panitia membungkam ari.ams)

...

...

@EOF