Thursday, March 20, 2008

Kompas: Sorotan: "Pandemi" Autism

Hari Autis Dunia
"Pandemi" Autisme?

Rabu, 19 Maret 2008 | 01:06 WIB
Melly Budhiman

Melihat semakin banyaknya angka kejadian autisme, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 2 April sebagai World Autism Day. Siapa yang mengusulkan? Qatar!

Usul Qatar itu secara aklamasi disetujui oleh komisi tiga di PBB yang terdiri dari 192 negara. Di negara-negara Asia, angka kejadian autisme meningkat pesat. Begitu juga di Afrika. Pada tahun 2002, World Autism Conference diselenggarakan di Melbourne, Australia, dan tahun 2006 di Afrika Selatan. Dua tahun lagi, pertemua akan diadakan di Mexico City.

Meski angka kematian tertinggi di Afrika disebabkan oleh AIDS, namun pemerintahnya lebih disibukkan mengurus anak-anak autistik sebab angka kejadian autisme sudah melampaui angka kejadian down syndrome.

Di Amerika, angka kejadian ini satu dibanding 150 anak (di antara 150 anak, ada satu anak autistik). Angka di Inggris juga menyentak, satu dibanding 100 anak.

Indonesia

Hampir dalam setiap pertemuan saat delegasi Indonesia diperkenalkan, selalu muncul pertanyaan, ”Berapa angka kejadian autisme di Indonesia?”

Memang, sering muncul jawaban, ”amat banyak”, tetapi tidak pernah diketahui pasti berapa jumlahnya karena belum pernah dilakukan survei. Lantas, siapa yang sebenarnya harus melakukan survei? Tentu saja pemerintah karena untuk melakukan survei seperti itu diperlukan biaya yang cukup tinggi. Apalagi, anak-anak Indonesia yang terdiagnosa sebagai anak autistik dan belum tertangani tersebar dari Sabang hingga Merauke. Mereka berasal dari keluarga-keluarga berstatus sosial tinggi hingga rendah.

Bahkan, di suatu desa kecil di Jawa Barat, banyak sekali anak-anak yang menunjukkan gejala-gejala autisme, tetapi mereka tidak bisa dibawa ke dokter karena ”dikuasai” para dukun. Mereka dikaitkan dengan aneka kuasa gaib dan dokter tidak bisa ”menembus” daerah itu.

Dengan angka kejadian yang sedemikian tinggi, mengapa pemerintah belum memberi perhatian memadai. Apakah karena masih banyak hal yang lebih gawat yang harus ditangani seperti flu burung, demam berdarah, polio, dan sebagainya yang bisa berakibat fatal? Atau, apakah autisme dianggap tidak fatal, karena itu dianggap tidak penting. Memang, anak autis tidak mati, tetapi juga tidak ”hidup”.

Selama ini pemerintah belum memberi perhatian kepada anak-anak yang terkena autis. Karena itu, para orangtua harus berjuang sendiri, berusaha memasukkan perkembangan anaknya. Terapi yang harus dijalani anak-anak yang terkena autis ini harus amat intensif dan mahal sehingga sering tidak terjangkau oleh masyarakat bawah. Tidak jarang para orangtua habis-habisan menjual hartanya ”demi kesembuhan” anaknya.

Bila anak-anak ini sudah mengalami kemajuan dan sudah waktunya untuk sekolah, kembali para orangtua dihadapkan pada kebingungan memilih sekolah. Meski secara teori pemerintah telah mengeluarkan peraturan bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, pada praktiknya lebih banyak sekolah yang menolak mendidik anak-anak autistik. Berbagai alasan diajukan oleh banyak kepala sekolah untuk menolak anak-anak yang terkena autis.

Bila ada sekolah yang menerima anak-anak autistik, banyak guru yang belum terlatih bagaimana menangani mereka. Sering kali terjadi anak-anak ini dilecehkan atau mendapat kekerasan fisik dari guru, namun orangtua tak berani mengeluh karena takut anaknya dikeluarkan. Di lain pihak, ada sekolah-sekolah yang meski gurunya tidak mengerti mengenai autisme, sekolah tetap menerimanya, tetapi dengan uang sekolah dan uang pangkal yang amat tinggi. Kecuali itu orangtua sering dimintai uang sumbangan ini dan itu sehingga mereka merasa menjadi ”sapi perahan”.

Sayang, meski anak autistik ini mempunyai kecerdasan memadai, banyak di antara mereka ”gugur” di sekolah karena kurikulum di Indonesia terlalu rumit dan tidak memberi kesempatan bagi anak autistik berkembang menurut potensinya. Quo vadis autisme di Indonesia?

Melly Budhiman Ketua Yayasan Autisma Indonesia

sumber asli : www.kompas.com
 http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.19.01061312&channel=2&mn=234&idx=234
ilustrasi asli: www.kompas.com
 THOMDEAN / Kompas Images

No comments:

Post a Comment