Tuesday, March 25, 2008

KORUPSI = “KREATIF”

tulisan asli: http://www.presstalk.info/tajuk_harian_24%20maret08.htm

Senin, 24 Maret 2008
KORUPSI = “KREATIF”

SIANG 24 Maret 2008 di Galeri Cemara, Jalan Cemara Jakarta Pusat. Beberapa orang tampak hadir di ruang pertemuan di lantai dua galeri yang berdesain unik itu. Tangga kayunya, dari bahan jati tua yang diserut kasar. Lukisan ekspresionis di dinding bagian atas, dominan warna merah, putih. Warnanya kusam dimakan usia.

Di bagian depan tampak Thamrin Tamagola, sosiolog asal UI, dan V Crhistianto, pengamat energi terbarukan, salah seorang dari editor buku Hadron Models and Related New energy issues, InfoLearnQuest.

Kali ini Christianto hadir memberikan paparan menanggapi buku melawan Mephistopheles: Beberapa Pertimbangan dan Alternatif Tindakan. Topik yang kembali mendiskusikan rencana pembangunan PLTN fissi Muria, Jawa Tengah.

Saya diundang kembali oleh Sekolah Tinggi Driyakara. Diskusi pertama ihwal ini di kampus STF, pada tajuk bulan lalu, saya tulis berjudul Nasi Bakar ke Bahan Bakar. Sehingga sebagian besar yang menghadiri diskusi memang kalangan kampus itu. Beberapa suster dari STF di barisan belakang memakai baju khasnya.

Dari paparan yang ada dan tanya jawab, mengemuka, bahwa PLTN, selayaknya dikaji untuk menjadi sumber energi alternatif. “ Kita tidak alergi dengan PLTN-nya, tetapi penggunaan radioaktif, yang memiliki implikasi besar bagi kehidupan,” ujar Iwan Kurniawan, salah satu peserta diskusi.

Iwan menambahkan, secara hukum pun jika terjadi masalah ke depan terhadap kehidupan, manusia yang terkena radiasi sulit melakukan pembuktian. “Radiasi nuklir tidak akan pernah tampak,” ujarya.

Sumber daya energi di negeri ini tidak terkira jumlahnya justeru diekspor ke luar negeri. Sementara di dalam negeri kekurangan energi.

“Kita negara penghasil gas terbesar di Asia dan Pasifik. Batu bara kita tidak kurang, CPO justeru kita ekspor, panas bumi melimpah, mengapa pilihan kepada nuklir, “ kata Iwan pula, “Hampir semua negara maju beralih ke sumber daya alam seperti air, angin, matahari, seperti yang dilakukan Australia.”

Menjadi aneh memang bila kemudian PLTN seakan dipaksakan. Bila dilihat matrik yang dibuat Christianto, di dalam makalahnya, mengapa harus kontra kepada PLTN, tidak lain karena pembiayaan besar menggunakan hutang luar negeri. Iming-iming uang inilah tampaknya, menjadi alasan mengapa pihak pemerintah bersikeras menggelindingkan.

Sementara Prof. DR Herliyani Suharta, peneliti energi BPPT, mengatakan bahwa untuk pulau Jawa krisis energi menjadi alasan utama mengapa memilih PLTN. Ia berada dari pihak yang mendukung PLTN, Muria, terlaksana. “Lebih murah untuk jangka panjang,” ujarnya.

Saya cenderung untuk mengatakan bahwa kepentingan pengelontoran dana besar yang mencapai lebih Rp 70 triliun untuk proyek PLTN Muria,alasan utama.

Dana itu bisa saja iming-iming dari negera donor bertameng pinjaman, yang akan mengerjakan proyeknya di sini. Dalam kasus PLTN, terlihat jelas peran dari pemerintah Jepang dengan jaringannya.

Saya membaca di detik.com hari ini. Ketika membahas bukunya di Solo, Siti Fadilah, Menteri Kesehatan, secara nyata menceritakan bagaimana asing bermain membodohi bangsa ini. Ia menyebut contoh konspirasi negara besar mengakali negeri ini di bidang kesehatan sudah berjalan sejak 1974, pada kasus vaksin cacar. Indonesia tahun itu dibebaskan cacar. Tahun 1980 semua lab cacar dan persediaan vaksin cacar diminta dimusnahkan oleh WHO, berikut contoh virusnya.

Apa yang terjadi pada 2005, semua negara diminta membeli Rp 600 miliar vaksin cacar oleh WHO, dengan alasan Irak mengembangkan senjata biologi cacar. Lalu sebagai Menkes, Siti menolak, apalagi juga kini tak pernah ditemukan bukti bahwa senjata biologi cacar di temukan di Irak.

“Kenapa dulu lab kita dimusnahkan. Lalu kita kemudian dipaksa membeli vaksin dari virus itu. Saya jelas menolak membeli vaksin semahal itu, negara tak punya uang, “ ujar Siti pula, “Lalu saya ditawari membeli vaksin dengan uang pinjaman berbunga 6%.”

Dan Siti tetap pada pendapatnya tidak berkenan membeli akalan-akalan itu.

Jelas langkah menteri kesehatan itu layak diacungi jempol.

Bukan mustahil pada kasus PLTN, langgam yang sama juga terindikasi. Namun, sebagaimana pernah dikemukakan Menteristek yang juga Ketua BPPT, Kusmayanto Kadiman, pemerintah tetap ingin meneruskan proyek PLTN Muria.

Beda memang Kusmayanto dan Siti.

Siti mengatakan kepada detik.com hari ini bahwa ia memaparkan segala yang ada kini, tanpa kuatir untuk diberhentikan jadi menteri. “Saya dulu juga tak berminat jadi menteri. Karena Pak Safii Maarif yang meminta, sampai tiga kali, saya mau jadi menteri, “ katanya.

Sudah saatnya memang pejabat pemerintah menggunakan hati nuraninya dalam membangun, dalam menjalankan pemerintahan.


DI DALAM diskusi, mengemuka pula bagaimana bahwa di pemerintahan, korupsi itu menjadi kebiasaan. Karlina Leksono, yang hadir di forum itu, kepada saya mengatakan mundur dari BPPT dulu, karena tidak tahan bahwa penggelembungan biaya, anggaran fiktif, selalu ada. Karenanya setelah bersekolah dari Inggris, ia kemudian pulang, dan lebih memilih balik ke bangku kuliah, mengajar di STF Driyarkara.

Laku korup tentu bukan saja di BPPT. Tetapi bila terjadi di lembaga yang menaungi orang-orang bergelar Phd, DR, di macam BPPT, yang seharusnya mengedepankan integritas, moral dan hati nurani, tentu amat disayangkan.

Ketika berjuang mengadakan peralatan untuk industri animasi, di Departemen Perindustrian, melalui asosiasi yang turut saya dirikan, saya menyaksikan langsung laku korup itu terjadi.

Ceritanya saya memperjuangakan bantuan negara untuk pengadaan motion capture, alat untuk meng-capture gerak, sehingga proses pembuatan animasi menjadi lebih mudah. Saya coba mencari alat yang memadai, teknologi infra red, reel time. Kebutuhan anggaran total Rp 3,9 miliar. Sesuai dengan alokasi yang ada, tahun pertama hanya tersedia Rp 1,6 miliar.

Sehingga di tahun kedua hal itu akan dianggarkan kembali, dan setelah itu, juga akan diteruskan dengan memberi dukungan pembelian jaringan komputer besar untuk membangun rendering farm - -sehingga proses produksi cepat dan membuat animasi tumbuh menjadi industri.

Apa yang terjadi, mulai dari proses pengadaan, antara asosiasi, pejabat di Departemen Perindustrian yang kemudian berganti, tidak paham lagi ke mana visi yang harus dikembangkan.

Akhirnya motion capture itu dibelikan produk dengan kualifikasi kamera VGA yang bemodal tak sampai Rp 300 juta. Lalu oleh Departemen, produk itu atas referensi asosiasi, kini ditempatkan di sebuah SMK di jalan Fatmawati, Jakarta Selatan untuk sia-sia.

Begitulah salah satu contoh, bahwa sesuatu yang terdengarnya intelek, oleh pelaksana tugas di departemen, menjadi ajang mengangkangi uang negara. Padahal bila dibelikan alat yang sesungguhnya kompatibel, industri tumbuh, alat terpakai. Tetapi yang ada sebaliknya, akalan-akalan dokumen tender terjadi.

Saya melihat bahwa hal ini bisa ditelusuri KPK. Bukan perkara nilainya, tetapi perkara, kesempatan sebuah industri untuk tumbuh menjadi hilang adanya.

Begitulah contoh.

Sehingga ketika Karlina Supeli bicara sebagai ilmuwan, ia tak tahan melihat laku korupsi di komunitasnya, saya pun melihat hal yang sama di mana saya pernah ada. Padahal logikanya sederhana, jika alat yang saya usulkan dibeli, komisi dari penjual di luar negeri maksimum hanya Rp 5% tetapi dengan mengakali berkas tender, spesifikasi diubah, mendapat selisih untung besar.

Mengakhiri perjumpaan di diskusi di Galeri Cemara, kian pekat dugaan kini, bahwa di manapun keberadaan lembaga negara kini, layak diindikasikan bahwa mereka tidak berpihak kepada kepentingan rakyat banyak.

Korupsi di negeri ini memang identik dengan “kreatifitas”. Makin “kreatif”, kian besar uang yang bisa ditilap.

Iwan Piliang

2 comments:

  1. Kadang saking pintarnya malah digunakan untuk membodohi orang lain...

    ReplyDelete
  2. ya kata pintar itu kata dasar. kata sifat.
    kalo bahasa jawa, yang berupaya dalam soal pintar itu minter~
    lalu liat ujungnya, apakah jadi minterke atau malah minteri -kayak dalam kasus ini-
    (^^)

    ReplyDelete