Monday, December 3, 2012

Cerita Setitik Air di Antara Bumi dan Api


Air.  Bumi. Api. Udara.
Nenekku biasa bercerita tentang hari hari itu, masa-masa damai ketika Avatar menjaga keseimbangan diantara Suku-suku Air, Kerajaan Bumi, Negara Api, dan Pengembara Udara. Tetapi semua itu berubah sejak Negara Api menyerang. Hanya Avatar yang menguasai keempat elemen, dan hanya dia yang mampu menghentikan serangan para Pengendali Api. Tetapi saat dunia sangat membutuhkannya, ia menghilang.. [1]

Namaku Húhóu.
Usiaku tiga belas tahun.
Kami adalah warga  Kerajaan Bumi di perbatasan dengan tempat tinggal Suku Air Selatan,  tempat dimana balatentara Negara Api mendarat dan mulai menghancurleburkan apa saja yang mereka temui.  Desa kami, ada dalam jalur pergerakan mereka dan mereka kian mendekat.
Sejak semalam, peluru-peluru api mulai membombardir desa kami. Warga desa kami banyak yang mati.  Warga kami tidak bisa melawan, sebab tidak ada warga desa kami yang Pengendali Bumi. Kami yang tersisa pun tidak bisa lari, sebab peluru api itu juga menghancurkan lahan pertanian sekitar desa kami. Yang bisa kami lakukan adalah bersembunyi di antara reruntuhan rumah, berharap mereka tidak dua kali membom tempat yang sama..
Sejak malam itu, sudah 2 malam 2 hari kami dibombardir.  Aku takut.  Aku melihat ayahku tewas tertimpa bata dinding yang hancur meledak terkena lontaran bola api.  Aku tidak tahu lagi dimana Ibuku dan adikku, bagaimana keadaannya pun aku tak tahu.  Aku hanya bisa berusaha bertahan hidup, menyelinap ke sana dan ke sini..  Aku sendirian,  lapar, dan capek..  tetapi aku tidak berani tidur,  sebab aku takut mataku tidak akan pernah terbuka lagi.

Namaku Húhóu. Artinya pelanduk atau kancil.
Tapi kancil yang ini adalah kancil yang ketakutan dan kebingungan. Aku tak tahu harus bagaimana..
Jelang malam ketiga. Matahari sudah bersiap masuk ke peraduan di balik lautan. Tapi yang kulihat hanyalah kobaran api di mana-mana.
Kudengar komandan mereka, Jenderal Hijō Si Kejam, berteriak-teriak melalui corong pengeras suara.  Ia meminta kami warga desa untuk menyerahkan pasukan milisi Sorban Hijau atau desa kami dibumihanguskan..

Aku pernah mendengar nama milisi Sorban Hijau yang ia sebut sebut, tetapi jujur aku tidak pernah tahu ada anggota mereka di desak

foto: “Cerita Hujan” by Komang Suta Wirawan
u. Mereka adalah milisi lokal di wilayah ini, yang dibentuk untuk menjaga keamanan dan ketertiban, sebab menunggu pasukan dan atau polisi dari ibukota sangat lama.   Aku juga pernah mendengar pasukan Sorban Hijau dianggap bertanggung jawab menyerang  suplai  amunisi tentara Negara Api yang sedang bergerak menuju lokasi pertempuran mereka melawan Suku Air Selatan. Jujur, aku berharap berita itu benar.  Sebab,  seperti yang kulihat sendiri sejak aku kecil yakni sejak invasi mereka 10 tahun yang lalu,  nyaris seluruh desa di sepanjang pantai perbatasan dengan suku Air  musnah.   Kaum nelayan Bumi, yang untuk makan mengandalkan kerja sama dengan warga suku Air,  sangat menderita karena serangan mereka.  Dan entah apa yang dipikirkan Raja Bumi, sampai detik ini tak ada satu pun pasukannya yang datang membantu kami..

Aku masih duduk bersimpuh di balik tiang batu, saat aku mulai menyadari beberapa menit berlalu tanpa serangan.

Tes !
Kurasakan ada tetes air di wajahku..
Mulai hujan Mungkin inilah sebabnya pasukan Api berhenti menyerang..
Sementara rintik2 hujan mulai datang berjatuhan, kini aku pun mulai tenang. Aku mulai memperhatikan keadaan sekeliling..  Astaga !  Sepertinya aku berada di sebuah rumah warga yang kami sisihkan.
Menurut cerita yang kudengar dari orangtuaku, warga desa kami menyisihkan mereka sejak invasi negara Api 10 tahun yang lalu.. Warga desa menyisihkan mereka sebab mereka adalah bangsa Api, sedang kami tidak tahu mereka itu kawan atau lawan.  Kami tak tahu harus bersikap bagaimana,  jadi kami minta mereka pindah di ujung desa.  Di sini, di atas batu-batu besar persis di bibir tebing pantai.
Rumah mereka ini jelas-jelas hancur jadi sasaran tembak pasukan Api.
Di mana mereka ?
Mendadak aku menyadari ada suara terisak di balik tiang tempatku berlindung.
Perlahan aku beringsut mencoba melihat lebih jelas..  Dan aku melihat seorang anak perempuan bangsa Api sebayaku, dengan rambut merah menyala,  sedang menangisi mayat kedua orangtuanya.
Astaga..Orangtuanya pun dibunuh pasukan Api?!
Aku mendekat..
Tapi mendadak ia berbalik cepat.. tangannya membuat gerakan berjaga-jaga sembari mengeluarkan sedikit api di telapak tangannya..
Astaganagajingga Anak ini seorang Pengendali Api ?!

“Moeru Ke..! Aku bukan musuhmu!”
Aku panggil dia Moeru Ke.  Itu berarti Rambut Menyala dalam bahasa Api..
Ia menatapku tajam
“Kamu warga desa ini..! Mana tau kamu nak bunuh saye, tak!?”
“Mana mungkin aku hendak membunuhmu? Aku pun korban serangan pasukan Api!”
Ia membuat gerakan menunjuk mayat kedua orangtuanya.
“Rumah kami pun kena serangan pasukan Api.. Tapi bukan kerana pasukan Api ayah bonda saye mati..!”
“Siapa yang membunuh orangtuamu?”
“Warga kampung kamu tu lah!!”
“Apa!?”  aku tercengang,  “Mengapa pula warga desaku membunuh orangtuamu?!”
“Mereka kira kami mata-mata Negara Api!”
Hal begini tak masuk dalam pikiranku..
“Tapi.. tapi.. ,“ bingung aku memilih kata, “..bukankah mereka melihat sendiri rumah ini jadi korban serangan pasukan Api ?”
“Itulah cakap ayah, tadi..  Tapi warga kampong, mana mahu mengerti!?”  ujarnya menahan emosi,  “Belum cukup lagi ker kami diasingkan hanya kerana kami bangsa Api?! Kami lari sini kerana kami musuh Raja Api lagi, tahu?!”
Aku lihat matanya mulai berair..
Aku pikir ini waktunya aku mendekat.
Tapi aku lihat ia terkejut dengan gerakanku, dan..
SERR!
Untunglah aku berhasil mengelak dari sambaran apinya itu. Belum besar apinya, tapi kalau kena pasti gosong..
“Tahan, Moeru ! Aku bukan mereka.. ! Saat keluargamu diasingkan, aku pun masih anak-anak..”
Moeru membuat gerakan bersiap.
“Namaku Húhóu… usiaku 13 tahun.  Ayahku kepala desa ini, dia tewas kemarin karena serangan bola api..”
Gerakan tangannya berhenti.
“Húhóu ? Lemur ? Pelanduk, ker ?” Ia tersenyum kecil.
Aku pikir itu tanda baik
“Namamu siapa ?”
Ia menurunkan tangannya, “Kamu bolehlah panggil saye Moeru..”
Kami berdua kini duduk.
Saling berhadapan.
Aku di reruntuhan dinding sebelah sini, dia di sana.
Ia masih tidak mau aku mendekat.
Lama kami duduk diam diam..  sementara hujan gerimis turun membuat genangan air di lantai batu..
Karena tidak ada percakapan,  aku hanya memperhatikan genangan itu.  Genangan yang terus berhias riak kecil saat air gerimis jatuh di genangan.  Riak-riak itu dan bunyi gerimis jatuh itu merupakan hiburan istimewa di tengah suasana saat itu..
Aku tersenyum.
“Mengapa tersenyum?!” Moeru mendadak bertanya tajam.
Kaget, aku cuma menggeleng.
“Mengapa kamu tersenyum? Ada hal seronok, ker?” Moeru kembali bertanya. Kali ini nada suaranya betul betul ingin tahu.
“Tidak.  Hanya sedikit terhibur dengan bunyi hujan rintik-rintik..  dan juga gerakan riak genangan air kena titik hujan..”
Aku pakai waktu bicara ini untuk memperhatikannya.
Anak ini cantik juga..
Moeru menunduk memperhatikan genangan air dan titik titik hujan yang kumaksud.
Ia pun kini mulai tersenyum.
Moeru menghela napas panjang sambil berkata lirih, “Saye tak pernah minta lahir jadi Bangsa Api..”
“Apa ? Kamu bilang apa, tadi..?”
Duh, aku kan masih asyik perhatikan kamu, Moeru..
“Aku pun tak nak macam ini kejadiannya.. ,” ia memperjelas ucapannya, “Saye tak pernah minta jadi Bangsa Api. Kamu pun tak pernah minta jadi Bangsa Bumi, kan ?”
Aku menghela napas. Yah, dia memang benar..   “Iya lah..”
“Andai dunia ini tak perlu terbagi-bagi bangsa-bangsa..”  Moeru masih meneruskan khayalnya.
Aku kembali menghela napas, kali ini agak keras,  “Ayolah Moeru.. Terimalah. Nyatanya dunia ini terbagi empat bangsa, dan bangsa-bangsa itu sedang berperang hari ini..”
Ia menatapku tajam.
“Tahu lah,” katanya sambil menatapku aneh, “..dan saye sedang berlindung bersama seseorang yang warga kampong nya bunuh ayah bonda saye !”
“Okelah, Moeru.. Kami memang salah, ” kupikir ini saatnya aku untuk mencoba berdiplomasi seperti ayahku,  ”Atas nama warga desa kami, kami mohon maaf..  Ini kesalahan yang….”
“Kesalahan?!”  sergahnya,  “Betul!  Salah, sangat-sangat salah!  Macam ini, sudah.. Lalu apa?  Macam mana kamu nak buat hidupkan  ayah bonda aku?!”
Aku terdiam.
…dan aku cuma bisa terus diam saat ia meneruskan melampiaskan kemarahannya..
Mengatakan aku bukanlah rombongan warga yang membunuh orangtuanya pun apa lah gunanya. Tentu saja ia akan terus menganggap aku dan mereka satu kelompok. Bagaimanapun, aku adalah putra kepala desa yang memutuskan menyingkirkan mereka di pojok desa.

Loh, kok hening ? Sudah selesaikah marahnya ?
Eh, di mana Moeru?!
Mendadak Moeru naik dari balik reruntuhan dinding sebelah sana. Ada dua ekor ikan di tangannya..
“Dari laut, kah ?”
Ia mengangguk.
“Sepuluh tahun kalian asingkan, susah makan..  Lalu kami ada buat keramba ikan di laut, di bawah tebing rumah kami ini..”
Ia melemparkan seekor ikan padaku, “Makanlah..”
Terkejut kuterima ikan itu.  Eh, dia baru saja marah padaku tadi ? Sekarang dia kasih makan ?
Ia seperti tahu keterkejutanku,  “Jom, makanlah. Dua hari dua malam tak makan, kamu mestilah lapar sangat.. “
Aku tersenyum. Iya, aku lapar sekali..
Moeru mulai menyisik ikannya, sembari menatapku.
“Kita harus lari dari sini.”
“Ke mana ?”
“..tah lah. Lari dulu.  Jauh dari pasukan Api.., ” ia menjawab seperti tidak punya rencana.
“Tapi baik makan dulu, “ ia menyeringai kecil, “Badan kuat..”
Oke. Ide bagus.  Tapii.. kupandang sekeliling.. Gerimis kian menderas. Tak nampak ada kayu kering untuk buat api.  Harus bagaimana ini supaya ikan ini bisa dimakan ?  Dimakan mentah seperti orang-orang Suku Air ? Bleeeh :p
“Kemarikan kayu-kayu basah tu..”
Sepertinya dia paham mengapa aku masih berdiri diam.
“Kamu memang bukan warga kampong yang bunuh ayah bonda saye.   Tak nak marah lagi, pun,”  katanya sembari menerima beberapa potong kayu panjang yang kusodorkan.
Lalu ia menggunakan kekuatan apinya untuk menyalakan api dari kayu bakar basah itu..
Kemudian ia tersenyum sambil menunjuk api yang telah menyala.
Aku pun tersenyum lalu mulai menyisik ikan dan membuang isi perutnya, lalu menusuk ikan itu dengan kayu panjang, dan mulai membakarnya di atas api..

Gerimis mulai mereda. Sebentar lagi pasti serangan pasukan Api akan dimulai.
Proses bakar ikan ini harus dipercepat. Aku mulai buka ruang udara supaya api membesar…  Entah mengapa,  saat aku melakukan itu, menurutku Moeru menatapku dengan kuatir
“Moeru? Ada apa?”
“Jangan besar-besar sangat lah api itu..”
“Mengapakah?”
Wajahnya tampak sangat kuatir,  “Baunya memancing…”
Dan sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, beberapa sosok bersorban hijau muncul dari balik dinding..
“Nah, betul di sini rupanya..”
“Itu anaknya, Pak..” seseorang yang kukenali dari warga desaku menunjuk Moeru,  “Keluarga Pengendali Api ini sudah beberapa tahun ini tinggal di sini.”
“Pengendali Api?!” seseorang yang sepertinya komandan regu Sorban Hijau seperti memastikan pendengarannya.
“Anak itu Pengendali Api, “  warga desaku kembali menunjuk Moeru,  “tetapi orangtuanya tidak, dan sudah kami bunuh.”
Sang Komandan Regu Sorban Hijau membuat gerakan paham, lalu menatap anak buahnya dan memerintah: “Cánbào! Cánkù! Kalian tangkap anak itu sebelum jadi masalah di belakang hari..!”
Kedua orang yang sepertinya Pengendali Bumi ini maju hendak menangkap Moeru.
Aku terkesiap.
Mendadak aku sudah berada di depan Moeru, menghalangi jalannya kedua Pengendali Bumi itu.
“Húhóu, lekas minggir.  Keluarganya, bangsanya,  telah membuat ayahmu tewas..”   si penunjuk jalan, warga desaku menyuruhku pergi
“Tidak, aku tidak akan pergi!  Moeru orang baik dan bukan antek Negara Api !”
“Kamu tahu apa, anak kecil ?!” seorang dari dua Pengendali Bumi itu membentak, “Minggir ! Atau kami tidak bertanggungjawab atas keselamatanmu !”
“Aku tidak akan pergi !”
“Mereka bangsa Api dan pasti bekerja untuk mereka.. “ Pengendali Bumi yang satu lagi urun bicara, “Anak itu sendiri Pengendali Api.  Dia berbahaya bagi kita, Nak..”
“Tidak akan!”
“Mǐnjié! Kuài!  Kalian bereskan bocah bodoh itu..!   Cánbào! Cánkù! Lanjutkan..!”
Orang-orang yang disebut, Mǐnjié dan Kuài, maju ke arahku sambil tersenyum simpul dan meloloskan pedang dari sarungnya.. Aku seberbahaya itu kah ?
Cánbào dan Cánkù membuat gerakan memutar kiri dan kanan, mencoba mengepung posisi Moeru.

Mendadak Moeru berteriak, “Húhóu, lari !!”
Moeru melompat tinggi dan menyerang dengan sambaran api dari tapak tangannya..  Cánbào dan Cánkù terkesiap, mulai menggerakkan tanah untuk membentengi diri api sekaligus melumpuhkan Moeru.
Aku pun terkesiap melihat situasi berubah cepat.  Mǐnjié dan Kuài tidak menyiakan kesempatan itu dengan melompat maju mencoba menabrakku.. Terlalu cepat, aku cuma bisa refleks menggerakkan tangan melindungi kepalaku saat tubuh besar Mǐnjié dan Kuài menabrakku, menjatuhkan, dan melumpuhkan aku di tanah.
Sebelum kepalaku terantuk dengan keras, aku sempat melihat Moeru terperangkap penjara kotak kecil dari tanah yang memerangkap tubuhnya.
….

“Apa itu?!” sang komandan menunjuk pedang pedang milik Mǐnjié dan Kuài.
Kedua pedang itu bengkok.
“Kenapa bisa begitu? Siapa yang melakukan itu?”
Mǐnjié dan Kuài mengangkat bahu, lalu menunjuk-nunjuk diriku yang tengah merintih kesakitan karena kepalaku terantuk lantai batu dengan keras..
“Anak itu Pengendali Metal?!”
…dan aku tak mendengar apa-apa lagi. Mendadak semua gelap..


Empat tahun kemudian..

Namaku Húhóu.  Usiaku tujuh belas tahun.
Aku adalah pengembara kesepian,  berpetualang ke penjuru dunia untuk mencari damai..Tapi yang kualami selalu peperangan dan kebencian;  orang-orang yang saling curiga dan bisa jadi melukai, hanya karena berbeda bangsa..
Padahal, setelah mengenal Moeru, aku tahu perang ini bukan soal bangsa yang berbeda.Aku tahu ini hanya soal ego, ketamakan manusia, yang kebetulan saat ini bersarang di dalam diri Raja Api.
Hari ini Raja Api..
Besok, bisa jadi Kepala Suku Air..
Lusa, bisa jadi Raja Bumi..
Gerimis..
Kini diriku tengah berteduh di kuil peninggalan Pengembara Udara..
Aku kesini mencari Avatar, katanya ia warga kuil ini.   Tapi entahlah.. kuil ini kosong.  Avatar yang sanggup menghentikan semua ini menghilang. Sepertinya perang masih akan berlangsung sangat lama.
Mendadak aku perhatikan tetes gerimis di atas genangan air..
Beriak kecil dalam irama gerak dan bunyi yang teratur.
Mendadak hatiku rindu pada Moeru..
Yang aku tahu, setelah diperiksa bahwa dia bukan mata-mata Moeru dibebaskan..
Entah di mana kini ia berada.
Aku perhatikan lagi riak riak kecil pada genangan air itu.
Begitu alami.
Gerakannya indah mengagumkan.
Suaranya indah menenteramkan.
Tenang..
Damai..
Mendadak aku paham: damai bukanlah soal situasi.
Tapi damai adalah kondisi di dalam hati.

Kini aku hanya bisa menghela napas panjang.
Moeru, kamu di mana ?
28112012 05:13 WIB

[1] Kalimat pembukaan  episode pembukaan “Aang, The Last Airbender” menuruthttp://avatar.wikia.com/wiki/Opening_sequence

tulisan inih, juga bisa dibaca di http://lumut.wordpress.com/2012/11/27/cerita-setitik-air-di-tengah-genangan/

No comments:

Post a Comment