Friday, October 31, 2008

Kemenangan Obama Bagus bagi Indonesia?

URL link http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/31/10023283/kemenangan.obama.bagus.bagi.indonesia

/Home/Internasional/Road to White House
Kemenangan Obama Bagus bagi Indonesia?
 
Jumat, 31 Oktober 2008 | 10:02 WIB

Oleh Bara Hasibuan

Pemilihan Presiden Amerika Serikat kali ini dinantikan dengan antusiasme tinggi oleh banyak kalangan di Indonesia. Antusiasme itu sangat beralasan. Belum pernah terjadi sebelumnya seseorang yang memiliki hubungan historis yang begitu kuat dengan Indonesia menjadi kandidat salah satu partai dan bahkan mempunyai kans yang sangat besar untuk menang.

Banyak kalangan di Indonesia juga menyimpulkan bahwa jika Barack Obama benar-benar terpilih menjadi Presiden AS, secara otomatis hubungan bilateral Indonesia dan AS akan berubah secara dramatis, dalam arti lebih dekat dan menguntungkan Indonesia.

Namun, betulkan begitu? Apakah hanya karena Obama pernah tinggal di Indonesia selama beberapa tahun semasa kecilnya, maka sebagai presiden, ia akan memberikan perhatian ekstra terhadap Indonesia? Satu hal yang pasti, kebijakan luar negeri bukan ditentukan oleh romantisme, melainkan prioritas dan kepentingan strategis.

Masalahnya kita tidak bisa menduga sampai seberapa strategis Indonesia bagi Obama karena Indonesia sebagai isu tidak pernah sekali pun disinggung selama masa kampanye, baik itu di dalam debat maupun pidato. Di dalam sebuah pidato kebijakan luar negeri yang paling komprehensif yang disampaikan Obama tahun lalu di Chicago, Indonesia hanya disinggung satu kali dan itu pun bukan di dalam konteks kepentingan strategis AS.

Rencana kebijakan luar negeri Obama, seperti yang tercantum di dalam situs web kampanyenya, hanya menyatakan bahwa ia akan seek new partnerships in Asia (mencari kerja sama-kerja sama baru di Asia) tanpa menyebutkan secara spesifik negara-negara mana saja di Asia yang akan diberikan prioritas baru.

Satu-satunya referensi serius yang Obama pernah kemukakan mengenai Indonesia adalah dalam konteks masa kecilnya yang ia pernah habiskan di negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Hal itu memberikannya perspektif yang paling unik dibandingkan dengan kandidat-kandidat lainnya untuk menghadapi salah satu tantangan utama yang akan dihadapi oleh Presiden AS nantinya, yaitu memperbaiki citra AS di dunia Muslim.

Kalau proses kampanye tidak dapat dijadikan ukuran bagaimana seorang kandidat memandang satu isu tertentu, cara lain yang bisa dilakukan adalah melihat rekor kandidat tersebut selama karier politiknya, yang dalam konteks Obama adalah posisinya sebagai senator. Sayangnya, itu juga tidak mudah untuk menyimpulkan nilai strategis Obama bagi Indonesia.

Tidak banyak orang di Indonesia—atau bahkan di AS—yang sadar bahwa Obama sebetulnya duduk di Subkomisi Asia Timur dan Pasifik di Komisi Hubungan Internasional Senat, subkomisi yang mengover isu-isu Indonesia. (Di Kongres AS setiap komisi dibagi lagi menjadi subkomisi berdasarkan isu-isu spesifik dan setiap senator/anggota kongres duduk di lebih dari satu komisi). Namun, walaupun begitu, Obama selama ini tidak dikenal sebagai senator yang mengangkat isu Indonesia.

Betul, walaupun kalau berbicara soal prioritas atas Asia di Kongres AS, isu Indonesia kalah dibandingkan dengan China, Korea Utara, Afganistan, India, dan Jepang. Ada beberapa senator dan congressmen (anggota House of Representatives-DPR) yang dikenal sering mengangkat isu Indonesia, apakah itu dalam arti kritis ataupun supportive. Sebut saja Senator Kit Bond, Senator Patrick Leahy, congressman Eni Faleomavaega dan congressman Robert Wexler.

Tidak jelas kenapa Obama tidak pernah menggunakan keanggotannya di SubKomisi Asia Pasifik untuk mengangkat isu-isu Indonesia. Dengan ikatan historis sebesar itu, Obama seharusnya bisa memosisikan dirinya sebagai sekutu Indonesia di Kongres. Satu hal yang mungkin, dari awal kariernya sebagai Senator—yang ia mulai Januari 2005—Obama sudah mulai memikirkan kemungkinan untuk maju sebagai calon presiden pada pemilihan tahun 2008 sehingga ia tidak ingin terlalu diasosiasikan dengan Indonesia. Atau, yang lebih mungkin, bagi Obama, Indonesia tidak memiliki nilai strategis dibandingkan dengan prioritas kebijakan luar negeri lainnya.

Memang dapat dipastikan siapa pun yang memerintah AS nantinya—Obama sekalipun— prioritas kebijakan luar negeri AS pada umumnya tidak akan berubah. AS tetap akan terkonsumsi pada isu-isu yang selama ini menyedot perhatian pemerintahan Bush, seperti situasi di Irak, masalah program nuklir Iran, penyelesaian konflik Israel-Palestina, terorisme global, isu keamanan energi, serta makin agresifnya Rusia sebagai kekuatan ekonomi dan militer.

Secara gaya dan pendekatan betul akan terdapat perbedaan fundamental kalau Obama yang menang, di mana prinsip multilateral lebih ditekankan. Namun, secara prioritas tidak akan ada perubahan dramatis.

Secara spesifik mengenai Asia, kebijakan luar negeri AS nantinya akan tetap pula didominasi isu- isu klasik, seperti berkembangnya China sebagai sebuah kekuatan ekonomi dan militer, penyelesaian isu program nuklir Korea Utara, instabilitas di Pakistan dan Afganistan, serta berkembangnya India sebagai kekuatan ekonomi. AS juga tetap akan mempertahankan hubungan dengan sekutu-sekutu tradisionalnya di Asia Pasifik, yaitu Jepang, Korea Selatan, dan Australia.

Kongres

Faktor lain yang harus diperhatikan adalah Kongres, institusi yang juga memiliki otoritas dan peran penting di dalam menentukan arah kebijakan luar negeri AS melalui apa yang sering disebut sebagai power of the purse (kekuatan dompet) atau diartikan dengan kekuatan melalui fungsi budgetingnya. Sering sekali Kongres mengeblok suatu alokasi dana atas program atau bantuan untuk negara tertentu, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu atas program IMET untuk Indonesia. Dalam memberikan persetujuan terhadap alokasi dana, Kongres juga selalu mencantumkan kondisi-kondisi yang menyebabkan ruang gerak pihak eksekutif di dalam memainkan politik luar negeri sering terbatas.

Setelah pemilihan tahun 2008 nanti. hampir pasti Kongres tetap akan dikuasai oleh Partai Demokrat (bahkan dengan jumlah kursi yang lebih banyak). Itu berarti isu-isu seperti hak asasi manusia, peran militer dan buruh, yang selama ini sering mengganjal hubungan bilateral AS dan Indonesia, mungkin akan tetap muncul.

Betul salah satu yang membuat rakyat AS tertarik dengan Obama adalah bahwa, sebagai presiden, ia akan mempunyai kemampuan untuk memobilisasi dukungan dari Kongres, tidak hanya dari anggota-anggota Partai Demokrat, tetapi juga Partai Republik. (Satu hal yang membuat rakyat Amerika muak dengan para politisi di Washington adalah dominannya semangat partisan sempit di proses politik sehingga sering terjadi gridlock atau kemacetan). Namun, belum bisa dipastikan apakah sebagai presiden, Obama akan mampu untuk mengubah posisi anggota-anggota partainya sendiri atas isu-isu yang secara tradisional melekat pada mereka. Tidak dapat dipastikan apakah Obama bersedia untuk memengaruhi anggota Partai Demokrat atas isu yang bukan merupakan prioritas pemerintahannya.

Yang juga penting untuk dicatat, secara ideologis Obama adalah seorang liberal. Bahkan, ia dinobatkan sebagai senator yang paling liberal pada tahun 2007 oleh majalah National Journal. Dengan begitu, secara prinsipil dan insting kemungkinan akan sulit baginya untuk tidak mengacuhkan isu-isu seperti hak asasi manusia dan buruh.

Selama masa kampanye pun, terutama selama proses nominasi Partai Demokrat, Obama beberapa kali mengeluarkan statemen bahwa sebagai presiden, ia akan mencantumkan isu-isu buruh dan hak asasi manusia sebagai kondisi penting dalam menyusun perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain. Ia juga pernah mengkritik tajam berbagai perjanjian perdagangan bebas yang sudah ditandatangani AS, termasuk yang paling penting Area Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) karena kurang memerhatikan isu-isu buruh. Bahkan, ia juga pernah menyatakan, jika terpilih sebagai presiden, ia akan melakukan review atas berbagai perjanjian perdagangan bebas AS yang tidak memerhatikan isu-isu buruh.

Prospek kemenangan Obama

Meskipun demikian, prospek terpilihnya Obama akan tetap merupakan sesuatu yang menggairahkan. Dibandingkan dengan calon dari Partai Republik, John McCain, tidak dapat dibantah Obama-lah yang paling dapat memperbaiki image global AS secara cepat. Ia mempunyai aset yang sangat dahsyat, yaitu latar belakang dan wajahnya. Aset inilah yang merupakan manifestasi dari the new America yang plural dan berdasarkan prinsip siapa pun dengan latar belakang apa pun punya kesempatan untuk maju.

Aset inilah yang juga dapat direpresentasikan soft power AS untuk menghadapi tantangan terbesar yang akan menghadapi pemerintahan AS baru nanti, yaitu bagaimana memenangkan hati dan pikiran banyak pihak di dunia, termasuk di Indonesia, yang selama ini teralienasi oleh berbagai kebijakan kontroversial pemerintahan Bush.

Bayangkan efek yang dapat diciptakan atas citra AS ketika Obama sebagai presiden datang ke Indonesia dan mengunjungi bekas sekolahnya di Menteng. Namun, adalah sesuatu ilusi kalau itu semua akan secara otomatis membawa hubungan AS-Indonesia ke level yang baru, dalam arti lebih menguntungkan Indonesia. Untuk dapat memanfaatkan kemenangan Obama sebagai dasar untuk meningkatkan hubungan AS-Indonesia, tidak semata-mata tergantung dari pihak AS, tetapi kita di Indonesia juga.

Bara Hasibuan Congressional Fellow 2002-2003

Sumber : Kompas Cetak

3 comments:

  1. wah susaaaaah bacanya
    kadang tidak kelihatan tuuuch hurf2nya teh!
    sayang padahal mau baca.

    ReplyDelete
  2. makasih masukannya.. saya perbaikinya deh..

    ReplyDelete
  3. mudah2an jadi lebih mudah bacanya :)

    ReplyDelete