Saturday, October 4, 2008

WW" Krismon 1997 dan Wall Street Crash 2008: kita gimana?

original articlehttp://www.perspektif.net/article/article.php?article_id=947

Krismon 1997 dan Wall Street Crash 2008: kita gimana?

Perspektif Online
22 September 2008

oleh: Wimar Witoelar

Apakah bisa dibandingkan, dua peristiwa ambruknya dunia keuangan ini? Dari segi akibat, krismon 97 di kita mengakibatkan hancurnya bank dan konglomerat, dipecatnya Gubernur Bank Indonesia dan akhirnya kejatuhan rezim Suharto disertai peristiwa berdarah tragedi Mei dan peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II. Wall Street Crash 2008 tidak disusul huru-huru fisik, tapi sangat jauh lebih besar dalam ukuran uang.

Krismon 97 ditandai oleh paket bantuan IMF sebesar US$ 23 Billion (Milyar). Wall Street Crash 2008 sedang diusahakan penanggulangannya dengan paket bantuan pemerintah Amerika Serikat sebesar US$ 700B, yang mungkin menggelembung menjadi US$ 1,300B yaitu US$ 1.3 Trillion, atau lebih dari sepuluh kali APBN Indonesia! Dilihat dari asal usulnya, ada persamaan dan tentunya banyak perbedaan.

Krismon 1997 di Indonesia adalah bagian dari krisis finansial yang melanda beberapa negara Asia mulai Juli 1997. Mulainya di Thailand dengan jatuhnya mata uang Thai Baht setelah Baht dilepaskan dari “peg” dengan US Dollar setelah melemahnya Baht akibat menggelembungnya hutang luar negeri, sebagian besar sebagai akibat spekulasi real estate. Orang membangun gila-gilaan menggunakan uang hutang yang tidak bisa dibayar kembali. Melemahnya Thai Baht secara mendadak menular pada melemahnya mata uang lain di wilayah ini dan krisis melanda Thailand, Korea Selatan dan Indonesia. Hong Kong, Malaysia, Laos dan Filipina juga “kena”.

Thailand dan Korea Selatan bisa pulih dalam waktu singkat karena ekspor mereka cukup kuat untuk melayani hutang luar negeri. Tapi walaupun kebijaksanaan fiskal negara-negara Asia cukup baik, IMF meluncurkan program bantuan US$ 40B untuk memperkuat mata uang tiga negara itu agar tidak menyebar.

Tapi di Indonesia, hutang kepada IMF yang tidak bisa dibayar oleh penghasilan nasional membuat ekonomi kita makin masuk krisis. Akhirnya efek sampingnya menyebar sampai Presiden Suharto terpaksa mundur akibat kehilangan kendali akibat devaluasi Rupiah.

Krisis Moneter 1997 di Indonesia

michel.jpg

Direktur IMF Michel Camdessus dan Presiden Suharto

Pada waktu krisis melanda Thailand, keadaan Indonesia masih baik. Inflasi rendah, ekspor masih surplus sebesar US$ 900 juta dan cadangan devisa masih besar, lebih dari US$ 20 B. Tapi banyak perusahaan besar menggunakan hutang dalam US Dollar. Ini merupakan cara yang menguntungkan ketika Rupiah masih kuat. Hutang dan bunga tidak jadi masalah karena diimbangi kekuatan penghasilan Rupiah.

Tapi begitu Thailand melepaskan kaitan Baht pada US Dollar di bulan Juli 1997, Rupiah kena serangan bertubi-tubi, dijual untuk membeli US Dollar yang menjadi murah. Waktu Indonesia melepaskan Rupiah dari US Dollar, serangan meningkat makin menjatuhkan nilai Rupiah. IMF maju dengan paket bantuan US$ 20B, tapi Rupiah jatuh terus dengan kekuatiran akan hutang perusahaan, pelepasan Rupiah besar-besaran. Bursa Efek Jakarta juga jatuh. Dalam setengah tahun, Rupiah jatuh dari 2,000 dampai 18,000 per US Dollar.

paulson.jpg

Menteri Keuangan AS, Gubernur Bank Sentral dan pimpinan Kongres

Ceritera yang sama terjadi di Amerika Serikat dengan meningkatnya cita-cita memiliki rumah bagi semua dengan menggunakan hutang. Pemerintah menawarkan kredit murah dan mudah dengan sumber lembaga keuangan perumahan Fannie Mae dan Freddie Mac, yang dananya disalurkan pada pembeli rumah baik secara langsung maupun melalui bank.

Pernah ketemu orang bank atau kartu kredit yang menawarkan pinjaman dengan bersemangat? Begitulah Fannie Mae dan Freddie Mac menawarkan kredit perumahan secara agresif, sering kepada orang yang sebetulnya tidak mampu membayar pelunasannya. Bagi lembaga keuangan, meminjamkan keuangan memang pekerjaannya. Tanpa kendali dari pimpinan perusahaan dan pemerintah, tidak lama kemudian kelihatan uang yang dipinjamkan dalam bentuk KPR itu tidak akan kembali, macet.

Dengan banyaknya uang pembangunan rumah di pasar, harga rumah menggelembung keluar jangkauan peminjam uang. Satu persatu pinjaman menjadi kredit macet, sampai akhirnya Fannie Mae dan Freddy Mac harus diambil alih pemerintah.

Problemnya tidak berhenti disini. Kredit macet selalu menular, seperti juga kemacetan lalulintas. Penyitaan asset rumah mencapai rekor. Pinjaman rumah dipaketkan dalam instrumen keuangan yang diperdagangkan di bursa yang dikenal secara populer sebagai Wall Street, maka nilai sekuritas di Wall Street jatuh dengan hilangnya ‘investor confidence’.

Korban berjatuhan, antara lain Lehman Brothers yand merupakan pedagang sekuritas besar dan AIG, perusahaan asuransi terbesar di Amerika Serikat. Melihat ini, Menteri Keuangan AS Henry M. Paulson dengan terpaksa mengumumkan bahwa pemerintah AS akan membeli perusahaan yang macet dan mengelola kredit macet, mirip dengan yang dilakukan oleh IBRA atau BPPN di Indonesia kapan hari.

Ini adalah krisis keuangan terbesar di Amerika Serikat sejak Perang Dunia Kedua, dan bisa menular menjadi krisis dunia. Mudah-mudahan tidak. Ini tergantung dari efektivitas sistem politik Amerika Serikat dalam mengatur pemerintah dan lembaga keuangan. Kebetulan AS akan memilih Presiden baru 43 hari dari tanggal posting ini. Seru sekali, mendebarkan.

Wall Street and Main Street:  Dampaknya pada Orang Biasa

Biasanya naik turunnya nilai uang hanya berpengaruh pada perdagangan luar negeri. Naik turunnya harga sekuritas dan indeks Pasar Modal seperti IHSG dan Dow-Jones Index hanya berpengaruh pada investor bursa. Tapi kalau terjadi guncangan besar, maka semua orang akan kena. Kalau suatu bank jatuh, nasabahnya akan kena walaupun ada bagian-bagian yang dijamin oleh garansi asuransi. Tapi kalau perusahaan asuransi jatuh, maka pihak yang dijamin jatuh juga. AIG adalah perusahaan asuransi terbesar di Amerika dan salah satu terbesar di dunia. Kalau AIG bangkrut, pemegang asuransi tidak bisa dibayar. Ini terdiri atas perusahaan asuransi lain, bank dan perusahaan di seluruh dunia. Maka setiap orang yang berurusan dengan bank atau perusahaan besar akan terpengaruh krisis.

Karena itu Henry Paulson memberanikan diri untuk menyelamatkan AIG dan perusahaan lain. Tapi ia menggunakan uang negara yang adalah uang rakyat Amerika Serikat. Kalau paket penyelamatannya gagal, maka ekonomi AS akan jatuh benar-benar. Jangan sampai sebegitu….


2 comments:

  1. Krisis ekonomi AS akibat Ekonomi Neo Liberal yang mengagungkan Globalisasi. Negara-negara penganut Setia Liberalisasi seperti Eropa, Jepang, Korea Selatan akan terkena Imbas langsung. Globalisasi merugikan Megara Miskin memperkaya Negara Kapitalis. Ternyata Neo Liberal yang Kapitalis sangat Rapuh, dapat menghancurkan Ekonomi dalam "sekejap" karena Ulah Ketamakan.

    ReplyDelete
  2. apapun mazhab ekonomi yang digunakan, saya rasa akan tetap terpengaruh negatif oleh ketamakan.

    di sisi lain, bagi saya, sebenarnya kasus ini justru tidak sesuai dengan konsep neo-liberalis yang menginginkan peran negara seminimal mungkin. invisible hands ngga mungkin muncul di sini, sebab negara yang mengambil alih.

    kalau menurut kang arif, apa solusi atas krisis ini ?

    ReplyDelete