Thursday, April 12, 2007

Ketika Semua Celah Pintu Hati Telah Tertutup, Masih Adakah Secercah Cahaya Empati ?



cerita ini juga dapat dibaca di http://cerpenonline.multiply.com/journal/item/559


Somewhere over the rainbow [1]



Way up high,

There's a land that I heard of



Once in a lullaby.



 



Somewhere over the rainbow



Skies are blue,

And the dreams that you dare to dream

Really do come true.



 



Someday I'll wish upon a star

And wake up where the clouds are far

Behind me.

Where troubles melt like lemon drops

Away above the chimney tops

That's where you'll find me.



 



Somewhere over the rainbow

Bluebirds fly.

Birds fly over the rainbow.

Why then, oh why can't I ?



 



If happy little bluebirds fly

Beyond the rainbow

Why, oh why can't I ?



 



Sayup sayup, lantunan
lagu tema The Wizard of Oz, lagu
penutup siaran dari radio “teman
ronda” itu,  makin meredup hingga akhirnya
sunyi belaka melulu di gendang telinga Daud. 
Hanya bunyi degup jantungnya sendiri saja yang kini mengisi keheningan
suasana.. 



Bulan kini telah
melintasi separuh langit, suasana bebunyian di sekeliling Daud pun sudah
senyap, kecuali manusia-manusia di jalan raya yang entah mengapa seperti tidak
mau beristirahat. Namun Daud, ia masih duduk tepekur di pos ronda, memegang
secangkir kopi, yang kini sudah dingin, dengan tatapan kosong.



“Dasar lagu..
semuanya serba indah, “ gerutunya dalam pikirnya, “Gua juga mau nyeberang pelangi kalo emang di sono semua impian gua jadi kenyataan..”



Tersadar juga
ia akhirnya tengah memegangi gelas kopi dingin. Dihirupnya sedikit, lalu
diletakkan. Lalu ia menekan tombol off
radionya sambil menghela napas panjang.



Pikirannya kini
menuju pada wajah mungil Titi, putri sulungnya. Sudah beberapa hari ini ia
menangis ingin sekolah lagi. Kembali Daud menghela napas mengingat sudah hampir
dua minggu Titi “dirumahkan” oleh pihak sekolah karena sudah empat bulan
menunggak uang sekolah. Dan Titi  jelas
sangat merasa cemas, sebab ia kini sudah kelas 6 SD, sedang Ujian Akhir  SD itu kan tinggal 2 bulan lagi..



Daud bukannya ingin
Titi tidak sekolah, tapi sejak ia keluar dari pekerjaannya hampir 3 bulan lalu,
hampir-hampir ia tidak punya penghasilan selain dari upah meronda dan mengojek
yang hasilnya tidak seberapa.. Hasil itu hanya habis untuk makan mereka
sekeluarga, Daud, Layla istrinya, Titi, dan Amri. Kalau untuk sekolah, terpaksa
Titi dan Amri harus libur dulu.



“Liburan dari
Hong Kong..!” Daud menggerutu dan terkekeh sendiri mendengar leluconnya. Getir.



Kini ia
mengetuk-etuk dinding pondok ronda dengan buku jari telunjuknya cukup keras. Cukup
keras untuk mewakili kegeramannya,  Kagak habis pikir deh gua, kalo emang
Yayasan ngediriin  sekolahan buat amal, buat ngebina masyarakat katanya, kok malahan
ngelarang-larang
sekolah anak yang ngga mampu ngelunasin uang sekolahan..!?”



“Kalau tidak begitu,
semua orang mau masukin anaknya ke sekolah ini dengan gratis, Pak Daud.. Lalu
bagaimana kita bisa jaga mutu..?” begitu kata Pak Wakil Kepala Sekolah waktu
itu.



Jaga mutu ke laut !  Sekali lagi Daud menggerutu dalam hati, “Kalo
kayak gitu, ngapain juga pake nyombong
Yayasan Amal ini itu begini begitu..!?”



Lalu ia jadi
teringat angka yang harus dilunasinya. Seratus enam puluh ribu rupiah..! Dua
puluh ribu rupiah sebulan kali dua anak kali empat bulan pembayaran ! Itulah
jumlah yang harus dilunasinya..



“Tapi dari mana
gua bisa dapet duit seratus enam puluh
ribu..? Sedang ngojek sehari-hari aja paling banter cuman sepuluh ribu bersihnya, potong bensin..”



Daud menguap.



“Siapa yang
butuh tenaga gua  yah ? Halah ! Tapinya gua juga kagak bisa apa-apaan,
nah orang ngangkat karung beras
sekali doang ajah langsung encok..”



“Apa gua dagang
aja kali yah.. “ masih pikirnya di sela-sela minum kopi penahan kantuk.



“Tapi apa yang
gua mau jual yak ? Jual diri.. ?! Belon lagi, modalnya ntar dari mana..?”



Daud mengeluh
pelan, “Halah ! Masa iya gua kudu nyopet, sih ?”



...



 



Pada saat yang
sama, seorang penghuni rumah mewah di ujung jalan juga tidak bisa tidur. Bapak
Sartono yang terhormat, pejabat cukup tinggi yang lumayan “sukses”, tidak bisa
tidur. Hanya bisa duduk termangu di sisi istrinya yang tidur mendengkur pelan.



“Tukang ronda
sialan..  Tengah malam seperti ini nyetel lagu keras-keras..” gerutunya
sambil mengibas kepanasan di tengah ruangan ber-AC, “..tapi lagunya enak
juga..”



Ingatannya kini
membawanya ke wajah anak-anaknya yang tengah melanjutkan studi di Amerika
Serikat. Ia mengenang suatu masa dimana mereka, Sartono, Hartini istrinya, juga
si kembar Adi dan Ani, berkumpul bersama-sama. Menghela napas panjang, Sartono
menyadari bahwa masa itu sepertinya terjadi sudah sangat lama. Yang ada saat
ini, anak-anaknya tidak bisa akur dengannya dan istri. Ani, saat ini lebih suka
berbelanja baju, tidak buat dijual melainkan untuk dipakai sendiri, daripada
menyelesaikan thesis-nya; sedang Adi,
Sartono kembali mengeluh, ia masih harus membiayai persalinan Maya, putri
koleganya yang dihamili Adi, sedang Adi sendiri kemarin malah meminta sejumlah
uang untuk membeli condo di sana.



Sartono
mengeluh, “Kenapa yah hidupku susah sekali..?! Rasanya uangku ngga pernah cukup
untuk memenuhi kebutuhan istri dan si kembar itu..”



Mendadak
Sartono seperti teringat sesuatu, “Eh.. dan tentu saja ngga cukup buat memenui
kebutuhan TTM-an ku yang satu itu..”



Sekali lagi
Sartono menghela napas panjang, “TTM sialan ! Bagaimana bisa dia menghabiskan
pagu kartu kredit sampai puluhan juta hanya dalam waktu sebulan ? Sedang bulan
lalu pun kejadiannya persis begini..” Sartono memukul-mukul kepalanya pening.



“Dengan gaji
asliku,  dan dengan masalah kartu kredit
dan semua permintaan uang Adi dan Ani itu, bagaimana aku bisa mendapatkan uang seratus
juta dalam waktu beberapa hari ?”



Sartono menepuk
dahinya, “Kalau tidak segera dilunasi, sekali Hartini menggesek kartunya dan
dinyatakan tidak valid, pasti dia langsung bisa menebak aku belum berpisah dari
TTM-an ku.. Bisa perang dunia lagi di rumah !” 
Sartono kembali menghela napas mengingat beberapa waktu lalu ketika
Hartini memergokinya berduaan dengan si TTM di sebuah mall.



Ingatannya kini
melayang pada seorang pengusaha yang mengiming-imingi uang lebih dari
kebutuhannya sekarang bila proyeknya di-gol-kan.



“Masa aku harus
pakai cara ini lagi sih ?! Aku kok jadi terbelenggu oleh keadaanku sendiri
begini, sih ?!”  Sartono mengeluh pelan.



...



 



Daud melangkah
gontai, lalu duduk di jok motornya. Ya, ia tidak tidur semalaman karena harus
meronda. Ia kesal, ia ingin tidur tadi pagi-pagi tapi diganggu oleh istrinya
yang memaksanya shalat shubuh berjamaah. Belum lagi ia bisa tidur cukup,
lagi-lagi Titi dan Amri mengisak mengiba-iba di sisinya, meminta supaya
disekolahkan lagi..



Antara kesal
dengan rengekan anaknya sementara sedang lelah dan juga kesal karena tidak
sanggup memenuhi permintaan anak-anaknya itu, 
ia memilih langsung keluar ngojek lagi. Syukur-syukur ia bisa dapat
hasil lebihan supaya bisa membayarkan tunggakan uang sekolah anak-anaknya.



Ini sudah jam
dua belas siang, dan ia baru dapat tiga pengojek. Sialan..Mana jauh dari rumah, lagi..  



Siang itu, Daud,
akhirnya, berada di perempatan besar padat di seberang kompleks rukan dan trade
center yang terkenal ramai dan padat.



Degh..!



“Apa
lihat-lihat..!?”



eh, dia yang jalan nyenggol, dia yang
marah
..



“Ngga suka..?!”



Emosi Daud jadi
bangkit.



Ia berdiri.



Tapi sebelum
semuanya terjadi, beberapa tukang ojek di dekatnya langsung memegangi lengannya
kuat-kuat..



“Itu copet dan
rampok terkenal, Bang.. Jangan.. “



“Biasanya kalo dia
turun ke jalan, ini mesti mau ada kejadian, Bang.. Ati-ati..”



“Mending kita
pergi aja, Bang.. Jangan ampe deh kesangkut-sangkut..”



Daud jadi
sedikit waspada. Naluri perondanya segera melihat sekeliling.



Teman-teman
sesama pengojek sebagian mulai bergerak pergi. Tapi Daud memilih tinggal, tetap
memperhatikan sekeliling.



Nalurinya kemudian
terhenti pada sepasang lelaki yang baru saja keluar dari kantor  pengusaha di seberang jalan. Yang satu, nampaknya
Boss kantor seberang itu, tetapi ia tertarik melihat yang satunya. Ia mengenali
sosok itu sebagai salah satu warga rondaannya (pejabat yang ngga mau kenal tetangga-tetangganya..).



“Dua orang ini seperti
habis buat kesepakatan tertentu; sama-sama tertawa puas..” pikir Daud, “Nah itu
ada sebuah amplop tipis yang diberikan si Boss..”



Tercenung, mendadak
terlintas di pikirannya bahwa amplop itu tentu berisi cek yang pastinya lebih
dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Iri juga ia sekarang pada keberuntungan
tetangganya itu.. Tapi..



Halah, gua kok kepikiran nyopet, sih..
Gua udah gila, kali..”  Daud buru-buru
menepis ide buruk dalam pikirannya.



“Mudah-mudahan
itu rejeki halal, mudah-mudahan saya juga dapat rejeki halal yang cukup agar
anak-anak bisa melanjutkan sekolah dalam beberapa hari ini..” Daud mengelus
dada mencoba menenangkan diri, menekan perasaan cemburunya dengan berharap
kebaikan.



Daud kini
membuka mata. Seiring tibanya sebuah mobil yang dikenalinya sebagai milik  tetangganya itu, dua orang itu kini mulai
berpisah. Pak Pejabat tetangganya itu kini bersiap-siap masuk ke mobil
penjemputnya.



Saat pejabat
itu mau naik ke kendaraannya, tiba-tiba..



BRAK !!



Sebuah sepeda
motor melaju kencang dari belakang mobil tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan
menabrak sisi kendaraan si Pejabat. Itu, membuat pengendaranya terpental dan
jatuh bergulingan; tetapi hasil akhirnya terduduk dengan santai seperti habis
bercanda saja.



Sebentar.. Ini kok aneh ya, malah kayak
pertunjukan..



Sebelum Daud
menyelesaikan pikirannya, preman yang tadi menyenggolnya tiba-tiba nampak
berlari mendekati si Pejabat tetangganya 
dari belakang..



Oh ini dia tiba kejadiannya..



Tanpa pikir
panjang, Daud segera berlari menyeberang jalan mendekat, mencoba mencegah..



Tetapi
terlambat, si preman sudah berhasil menyambar amplop dari tangan si Pejabat, sedang
Daud malah tidak bisa berhenti berlari dan menabrak si Pejabat.  Keduanya jatuh terjengkang sementara si preman
terus berlari menjauh..



Tanpa Daud
duga, si pengendara motor yang terduduk mendadak bangun dan berteriak, “Gila
lu.. Nyopet di siang bolong..!!”



Pejabat itu,
yang mendadak sadar bahwa amplop di tangannya sudah lenyap, sontak berteriak,
“Copeeet !!”



Belum sempat
Daud berdiri tegak dan menjelaskan duduk perkaranya, ia sudah digebuk massa
yang tahu-tahu sudah berkumpul mendengar kata “Copet” itu.



...



 



Sartono tidak
sempat mengaduh. Terjatuh ia tertabrak seseorang yang berlari kencang ke
arahnya.



“Astaga,
amplopku..?!”



Lalu ia
mendengar pengendara motor yang menabrak mobilnya berteriak menunjuk-nunjuk
orang yang menabraknya, “Gila lu.. Nyopet di siang bolong..!!”



Spontan ia berteriak,
“Copeeet !!”



Ia sudah
ditarik dan dipapah Boss rekanannya ketika ia lihat si “copet” dipukuli massa.



“Bunuh !”



“Bakar aja !”



Ah ngga pentinglah semua itu.. Yang
penting itu: amplopku dimannaa
!?



“Ampun, Paak !
Saya bukan copet, Paak !” didengarnya suara itu dari sela-sela keriuhan.



Tapi massa yang
geram mana mau dengar kata-kata itu..



“Berhenti !
Berhenti !”  teriak Sartono mencoba
melerai amuk massa itu.



“Bapak ini
gimana sih ? Kalo ngga dimatiin, tuman, ntar..”



“Malingnya
bakar aja, Pak..”



Dan Sartono
hanya bisa termangu tidak tahu harus bagaimana, sementara si “maling” terus
saja dipukuli.



“Tapi.. tapi.. Tunggu
dulu ! Seingat saya ada dua orang tadi yang berlari ke arah saya,” Sartono masih
mencoba melerai...



“Saya..” Daud
bersuara lemah, sudah berdarah-darah, “..mau tangkap copet itu, Pak Sartono..
kenapa.. saya.. yang dipukul ?!”



Eh ? Kok kenal ?



“Lho, kamu ini
kan tukang ronda di kompleks saya, kan?” kata Sartono yang sekarang mengenali
siapa Daud..   



Daud mengangguk
lemah..



Tiba-tiba
serombongan tukang ojek berlari lemah mendekat.



“Mahaf.. Pakh,
“ kata salah seorang terengah-tengah, “Copetnya.. lari terlalu kencang..”



Lalu.. massa
pengeroyok Daud mulai menghilang satu demi satu.



...



 



Sore itu juga, Sartono
duduk termenung di teras rumahnya. Hari ini ia dapat pelajaran berharga.



Tiba-tiba ia
bersyukur bahwa amplop cek sogok si Boss tadi siang dicopet. Ia jadi punya
alasan untuk menolak proposal si Boss yang memang jauh dari memadai.



Mendadak ia
merasa jijik dengan rumahnya dan isi-isinya, bahkan jijik juga ia bila ingat
TTM-an nya..



Tiba-tiba ia
merasa mual dengan kelakuan dirinya sendiri selama ini. Bukan istri, apalagi
Adi dan Ani yang membuatnya begini.. bahkan bukan juga si TTM itu.. tapi
dirinya sendiri..!



Ia makin mual,
apalagi ia ingat cerita Daud tentang kebutuhannya sehingga hampir-hampir jadi
copet, eh malah dikira copet..



Mendadak ia
merasa sekali-sekali perlu melakukan sesuatu hal yang baik dan benar,
setidaknya untuk satu kali ini..



 



Mampang XIV. 05 April 2007 20:01 WIB



Koreksi 1. 12 April 2007. 19:11 WIB



Ari S.W. Latoeng



 



 



Epilog



Epilog ini sengaja tidak
ditulis, agar Anda pun bisa berpartisipasi untuk menulis akhir cerita ini dengan
akhir kisah yang paling sesuai menurut Anda..













[1] "Somewhere Over the Rainbow" music by Harold Arlen and lyrics by
E.Y. Harburg. The Wizard of Oz, 1939



 









2 comments:

  1. pingin belajar nulis jg ahh :).. endingnya donk menurut versi author gimana :P

    ReplyDelete
  2. aslinya, endingku itu pas sartono datang ke rumah daud dengan niat untuk "kembali" lurus, daud malah tewas karena luka2nya.. dan cerita stop di sana. tapi njuk aku dibilang terlalu sadis.
    padahal aku awalnya mau bilang, kalo mau tobat jangan nunggu2, nanti malah ngga sempat..

    jadi ya udah, karena di sini aku diprotes, lha monggo deh bikin ending yang paling enak hehehe

    ReplyDelete