Tuesday, November 14, 2006

Toha Monolog

cerita ini juga bisa dilihat di http://cerpenonline.multiply.com/journal/item/60



Toha membanting kalender saku di
tangannya. Lebih tepatnya: melepaskan genggaman jemarinya.



Ini hari Rabu, tanggal 26  Januari 2005.



Masih tanggal Dua puluh Enam..



Baru nanti,  tanggal 1 Februari ia akan menerima bayaran
gajinya yang tak seberapa. Dan itu artinya pada hari Selasa minggu depan.. Masih
enam hari lagi. Maaf, koreksi: tujuh hari, karena hari ini toh belum berakhir..



 



Ia mencoba memantikkan api dengan
geretan kayunya. Gagal.



Dicobanya lagi.



Masih gagal.



Sial ! Anginnya terlalu kencang !



Toha memasukkan rokok –batangan
terakhir miliknya-- yang tadi sudah menempel di bibir ke saku kemeja lusuhnya.



 



Ia menghela napas panjang. Masih
berdiri di halte bis itu.



Uangku tinggal sebelas ribu.



Enam hari lagi.. Lima hari kerja.



Lagi-lagi ia menghela napas.



Kalau pulang pergi dua ribu.. Yah.. alhamdulilLah masih ada
sisa dapat lah dua batang rokok.. Tiga batang lah, kalo pake nego..



Tersenyum kecil ia memikirkan
lawakannya sendiri.



Lalu ia menghela napas panjang
(lagi) sambil mencoba duduk di trotoar jalan itu, memperhatikan mobil dan orang
lalu lalang di depan wajahnya.  Masygul,
dilihatnya beberapa ibu menenteng kantung asoy belanjaan dari minimarket yang
tidak jauh dari tempatnya duduk.



Ia jadi ingat istrinya di rumah.



Kalau tidak salah, uang yang ada di Marni tinggal dua puluh
ribu lebih sedikit.



Ia menghembuskan napas panjang.



Lalu tiba-tiba ia menyeka keringat
yang tak sengaja masuk ke mulutnya.



Masih enam hari ke depan dan hanya
dua puluh ribu. Artinya sekitar tiga ribu sehari buat makan.



Apa yang masih ada di rumah ya?



Beras? AlhamduliLlah cukup.



Minyak goreng? Ah itu Marni yang lebih tahu bagaimana
memanfaatkan setengah liter lebih sedikit untuk enam hari.



Minyak tanah? Alamak.. Cukup tidak ya ?



Aduh !



Toha menepuk keningnya sendiri.
Lumayan keras.



Taruhlah tidak cukup.  Lalu tinggal dua ribu buat makan sehari. Kalau
hanya aku dan Marni, aku yakin cukup.. toh aku makan siang jatah pabrik.. Tapi,
bagaimana dengan Anisa ?



Kembali Toha menghela napas panjang.
Teringat dia akan putrinya semata wayang yang baru berusia delapan bulan.



Karena ASI Ibunya sedikit, maka
Anisa harus diberi tambahan susu. Dan itu cukup berat untuk satpam pabrik
bergaji 600 ribu sebulan.



Ngebon lagi nih kayaknya.



Untung juga ada Koperasi Karyawan..



Yah..kalo begitu kayaknya aman nih..



 



Lalu ia nyengir sendiri membayangkan
minggu depan gajian. Enam ratus ribu,
Coy !!



Potong hutang, susu anak dan rokok, masih
sisa sekitar limaratus ribu dah..



Lalu potong sewa rumah petak seratus
lima puluh ribu.



Masih ada tiga ratus lima puluh ribu.



Belanja, target lima puluh ribu per minggu.. Itu sudah buat
makan sama buat perlengkapannya..bumbu, minyak, beras, sumbu kompor –siapa tau butuh—lalu
sabun, odol, dan lain-lain.. termasuk lilin buat kalo mati lampu.. sama obat
nyamuk.. sama beli obat kalo sakit..sama..ehm..kadang-kadang sih..buat beli
kondom di minimarket depan gang, biar orang lihat dan dibilang gaul dikit.. ihik..



Lalu ia nyengir sendiri.



Hehehe, lupa..biasanya juga kudu nambah limapuluh ribu
lagi..Mana cukup lima puluh ribu buat semua gituan, hehehe? Sedang yang sisa
seminggu ini aja, dari yang harusnya lima puluh ribu nyatanya adanya cuman dua
puluh ribu..



Hehehe..bulan depan bulan pendek..Kalau hanya empat minggu
ditambah lima puluh ribu lagi, masih ada sisa seratus  ribu tuh kayaknya.. Ada hari raya, tapi kan
kalo hari raya yang ini kan ngga pake beli-beli apa-apa..



Seratus ribu..



Lagi-lagi, Toha menghela napas.



Lima puluh ribu jatah preman buat gue dong.. Lha kan gue
juga butuh ongkos sama rokok juga, iyak !?



Yang lima puluh ribu lagi ?! Buat bayar siskamling, listrik,
kebersihan, air..



Eh, itu cukup ngga ya ?



Wah, kalo gitu jatah preman tiga puluh ribu ajah deh.. biar
cukup !



 



Lalu Toha kembali menghela napas.



Kalo ngga salah, udah tiga bulan ini Marni ngga pernah pake
bedak.



Malah si kecil Anisa yang  pake.



Toha meringis kecil.



Marni kecewa nggak ya?



Perasaan kok gue ngga pernah bikin dia seneng ya?



Dia bahagia kagak sih kawin ama gue?



Toha menarik napas panjang



Terakhir aku bisa beliin dia baju, lima bulan yang lalu. Itu
juga long-dress sepuluh ribuan di emper tanah abang..



Mata Toha menerawang jauh.



Kapan ya, gue bisa lihat dia tersenyum bahagia?



Marni..



 



Toha ingat dia mengenal Marni
sewaktu ia masih jadi kernet metro.



Kebetulan mereka tinggal di daerah
yang sama. Satu RW lah..



Marni seorang buruh pabrik, tidak
jauh dari rumah.. hanya satu kali naik metro.. Dan dari metro itu pula Toha dan
Marni berkenalan dan semakin akrab..apalagi ternyata tetanggaan..



Toha sendiri penghasilannya waktu
itu dua atau tiga ratus ribu sebulan. Tergantung banyak tidaknya penumpang
lah..



Tapi waktu itu dia nekat mendekati
Marni. Eh ternyata bersambut. Dan menikahlah mereka.



AlhamduliLlah, mereka cepat dikaruniai momongan. Akhir bulan ke-8 hamil,
Marni terpaksa cuti hamil dan ternyataa.. keuangan segera jadi masalah utama.
Maka Marni bicara dengan beberapa atasannya, sehingga Toha bisa jadi satpam di
pabrik tempat Marni kerja. Sayangnyaa, karena di pabrik itu tidak boleh ada dua
orang karyawan yang menikah, maka salah satu harus keluar.. Marni memilih mengalah,
dia yang keluar.  Toh dia memang belum
bisa bekerja setidaknya sampai sekitar 3 bulan ke depan. Toh sekarang Toha
kerjanya pasti, pasti waktunya, pasti gajinya,maupun pasti dapat pensiunnya.. dan
yang pasti gaji Toha jadi berlipat, bahkan melebihi gaji Marni dan Toha bila
mereka tetap pada pekerjaan lama masing-masing, masih dapat penggantian biaya
kesehatan pula..



Marni seperti itu lantas bukannya tidak
ingin bekerja. Setelah melahirkan,  Marni
juga bikin kue-kue kecil dan berkeliling, tepatnya sih mangkal di tempat-tempat
tertentu. Tapi suatu ketika, dagangan Marni diambil paksa petugas tramtib
dengan dalih penertiban.



Toha meringis.  



Seandainya kami punya uang, kami pasti akan berjualan di
tempat resmi. Tapi yah.. mau bagaimana lagi, sanggupnya hanya itu.. Itu aja
diambil petugas.. padahal sebagai pedagang kecil, seluruh dagangan Marni adalah
modal untuk dagang esok harinya..



Sejak itu, Marni sudah kapok
berjualan.. Itu katanya, tapi Toha tahu Marni hanya ngga mau Toha berhutang
lagi untuk modal.. Toha tahu istrinya menyisihkan beberapa ribu tiap bulan di
celengan kecil yang disimpan disudut dapur, untuk modal jualan lagi.. suatu
saat..



 



Ah, Marni.



Toha tersenyum.



Tiba-tiba ia ingin segera pulang.



Tiba-tiba ia ingin memberikan Marni
sesuatu.



Dia tidak terlalu peduli lagi dengan
ongkos pulang perginya yang masih 5 hari kerja.. toh ia masih punya banyak
kawan di metro..



Toha tahu. Ia akan membelikan Marni
sesuatu.



Lalu langkah kakinya membawanya
menembus kerumunan orang yang sedang menunggu bis menuju ke toko kecil yang
menjual perhiasan mainan.. Ia akan membelikan istrinya anting-anting yang
sekilas nampak seperti perak dengan harga yang hanya 8.000-an..



Aku kan masih punya sebelas ribu. Cukuplah.. masih ada sisanya sedikit..



Tersenyum Toha menimang benda itu,
membayangkan rasa senang istrinya nanti. Lalu Toha segera tersadar  dan segera meraih dompetnya..



Tapii..



Astagaa..!!



Dompetku mana ?!



Dompetnya hilang...



Alamak..!!



Toha tiba-tiba pusing.



Hilang sudah bayangan wajah gembira
istrinya.



Pusing sudah ia membayangkan setiap
kali naik metro harus bilang numpang..



Pusing ia memikirkan masih tujuh
hari lagi sebelum ia gajian..



Mendadak Toha pucat pasi.



Apa kata Marni nanti ?!



.....



 



 



Epilog Tidak
Monolog



 



Marni membelai pipi suaminya mesra.



“Abang yang sabar, yah ? Insya Allah
ini semua hanya ujian dari Allah, untuk menguji iman kita..”



Toha tersenyum. Istrinya benar.
Apakah ini hanya kalimat hiburan atau benar-benar keluar dari lubuk hati, tapi
kalimat itu benar adanya.



Toha hanya berharap, agar mereka
diberi anugerah untuk tetap dapat bersyukur, dalam kondisi bagaimanapun..



Harapan dan Iman, yah.. itulah harta
mereka yang paling berharga..



 



Kalau Anda, bagaimana ?



 



 



Kampung Opas,
Pangkalpinang



Bumi Serumpun
Sebalai



26.01.05








No comments:

Post a Comment