Wednesday, November 19, 2008

Makan Apa ?

pesan mas gaw yang saya ambil dari idaarimurtiandfriends

dulu tahun 92, sekelompok mahasiswa kampus kami pernah membuat acara  live in..  boleh percaya boleh tidak, acara itu murni  diusulkan , didanai, dan dilakukan oleh mahasiswa yang baru naik ke tahun kedua :)
tujuan dari live in itu adalah hmm.. gampangnya kayak.. Jika Aku Menjadi.. deh
bedanya, dalam live in, full 3-4 hari berbaur --salah-- "menjadi" bagian dari keluarga yang sebelumnya tidak kiat kenal dan tidak terbayang seperti apa kehidupannya itu.. mencoba melihat situasi dari kacamata orang lain, yang mungkin sekali lebih berkekurangan dibanding kita (kalo pun justru kita yang lebih kekurangan, setidaknya situasi dan kondisi untuk mengambil keputusan, dan atau caranya, masak sih ya 100% sama persis dengan yang kita alami, tha ?)

saya sendiri, saat itu pertama kali dalam hidup saya makan tiwul.. ( bukan nasi aking ! suwer, bukan nasi aking..! ). kali pertama sih rasanya eksotis.. gilaaa, guwa makan tiwul, jek.. siangnya ketemu tiwul lagi, malamnya ketemu tiwul lagi..
mulailah saya merasa heran akan kedayatahanan keluarga baru saya. ternyata kuncinya adalah mensyukuri nikmat-Nya, teman-teman.. keluarga ini menyikapi segala hal sebagai anugerah Tuhan.

itu dari satu sisi. di sisi lain, saat itu saya merasa ingin sekali membelikan mereka sesuatu, yang meski pun mungkin saya mampunya cuma membelikan sekali, tapi insya Allah lebih baik dari yang biasanya mereka makan.. tidak sekedar perbaikan gizi, lha wong cuman sekali.. tapi itu adalah wujud kepedulian yang pasti bisa mereka rasakan juga.
pikiran saya simpel, jika tiwul saja mereka syukuri seperti itu.. bagaimana jika yang terhidang itu tongseng  kambing--misalnya-- ?

untuk membeli sesuatu itu..saat itu saya gagal, teman-teman.. bukan apa-apa, lha anu.. waktu itu saya bodho banget (sampe sekarang masih, sih..) tidak kepikiran oleh saya pinjam kendaraan rekan saya sebentar ke kota (rada) besar terdekat..
tapi ya emang ga kepikiran, abis gimana yah.. to be jujurly ya, saya baru bisa naik motor itu ya setelah itu.. dari situlah saya tahu uenaknya naik motor --dan keterusan, sampe sekarang..

kali ini ada tawaran serupa. (bukan tawaran naik motor, mas.. suwer deh..) bagaimana jika kita sekali2 berbagi rasa syukur dengan kawan-kawan ini ?
bukan berarti mereka belum bersyukur..
pikiran saya simpel, selain mereka mestinya akan --mudah2an-- jadi merasa tidak dipinggirkan --ada yang perhatian, gitu loh--...... kalo buat saya, belajar berbagi begini sebenarnya baik buat saya, sebab dengan demikian saya juga belajar bersyukur..

bagaimana dengan teman-teman ?

BR, ari.ams
 

---------- Forwarded message ----------
From: bayugautama 
Date: 2008/11/19
Subject: Makan Apa?
 
Waktu saya kecil, ada sebuah permainan kelompok dengan cara bernyanyi yang judulnya "Sedang Apa?". Dimainkan oleh dua kelompok anak yang dimulai dengan pertanyaan "sedang apa?" kemudian dijawab oleh kelompok kedua misalnya, "sedang makan, sekarang makan apa, makan apa sekarang?" Masih ingat dengan permainan ini?

Saya tidak tahu apakah saat ini permainan yang cukup menggali kreativitas anak ini masih disukai anak-anak atau tidak, masih diajarkan guru-guru di sekolah atau tidak. Tapi dugaan saya, masih ada sekolah-sekolah yang mengajarkannya kepada para muridnya. Namun saya tidak sedang ingin membahas kreativitas permainan tersebut, melainkan hal lain.

Seandainya pertanyaan "makan apa?" itu disodorkan kepada Chairul, 7 tahun, bocah penderita gizi buruk di Desa Jagabita, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, sudah bisa dipastikan ada tiga jawaban; "nasi", "kerupuk" atau "nggak makan".

Irul, anak yang sudah ditinggal `kabur' ayahnya sejak ia berumur kurang dari tiga tahun itu hanya berbobot 13,5 kg. Anak lain seusianya yang tumbuh sehat dan normal memiliki berat badan berkisar 25 – 30 kg, bahkan ada yang lebih dari itu. Dari angka tersebut, jelas Irul tidak normal. Perutnya buncit dengan tulang-tulang iga dan pangkal lengan yang menonjol, wajah pucat, mata yang kosong, diduga anak ini menderita gizi buruk.

Irul hanyalah contoh potret sebagian anak negeri ini, anak-anak yang tidak punya pilihan untuk makan. Kalau pun ada, pilihannya hanya dua, makan seadanya atau tidak makan sama sekali. Jangan membayangkan "makan seadanya" itu seperti di meja makan kita, "seadanya" itu bisa berarti ada sayur, ada ayam, tahu, tempe, sambal, ada juga telur. Namun "makan seadanya" di rumah Irul itu ya hanya nasi tanpa pelengkap, atau adanya singkong, bahkan tidak ada apa-apa.

Tidak sedikit orang tua yang kebingungan urusan makan ini. Ada anak-anak di luar sana yang mau makan saja susah, berbeda dengan anak-anak lainnya yang susah disuruh makan. Hampir mirip sih, yang di luar mau makan susah, sedangkan anak-anak lainnya disuruh makan susah.
Sama-sama susah dan sama-sama bikin bingung orang tua. Yang satu bingung anaknya makan apa karena tidak ada apa-apa, yang lain bingung membujuk agar anaknya mau makan, sampai-sampai apapun akan disediakan.

Ide menarik, sesekali ajaklah anak-anak kita yang sering susah disuruh makan itu untuk bertemu dengan anak-anak yang kurus kering perut buncit yang mau makan tapi sering tidak punya apa-apa untuk dimakan. Entah mereka akan mengerti atau tidak, setidaknya mereka mulai ditunjukkan pada lingkungan yang jauh dari yang sehari-hari dilihatnya. Bahwa mereka semestinya bersyukur masih bisa bertemu makanan lezat setiap hari, ketimbang anak-anak lain yang tak seberuntung dirinya. Kalau pun anak-anak masih terlalu kecil untuk mengambil pelajaran dari kenyataan itu, mungkin orang tuanya yang bisa belajar bersyukur dan berbagi.

Memang kasus gizi buruk tak semata karena faktor kemiskinan. Tradisi dan minimnya pengetahuan tentang makanan murah dan bergizi pada masyarakat kita pun mempengaruhi kondisi tersebut. Tetapi jelas kemiskinan menjadi penyebab utama terjadinya kasus gizi buruk dan busung lapar di berbagai daerah, sebuah kenyataan yang dulu hanya kita lihat terjadi di negeri lain.

Teman saya pernah berpesan, "kalau cangkir kepenuhan saat menuang teh dari teko, tuangkan ke cangkir yang lain. Mubazir kalau sampai luber dan tumpah ke meja". (gaw)

-----------------------

Relawan Pelangi, Portal Warnaislam.com, Komunitas MPers (Multiplyers),
Komunitas My Quran, Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC), Remaja Masjid
Attin, YISC Al Azhar, mengajak Anda bersama-sama bahu membahu
membuktikan cinta, dengan mengadakan bakti sosial di Desa Jagabita,
Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor. Kegiatannya berupa layanan
kesehatan, perbaikan madrasah dan bangunan majelis ta'lim serta
pemotongan hewan kurban pada saat hari raya Idul Adha nanti. Kegiatan
akan dilangsungkan pada hari raya Idul Adha tahun ini, tanggal 8
Desember 2008 usai sholat Id.

Informasi kegiatan hubungi :
Gaw 0852 190 68581
Balisdjadi 0813 999 80000

- BCA KCP Cinere No. Rekening :267-106-5401 atas Mohd. Heriyadi Arifin
- Bank Muamalat Cab. Arthaloka No. 9000-251-877 an Kosirotun
- BNI Cab. Bekasi No. 001-558-7547 an Kosirotun
- Mandiri KCP Jkt. Wisma Indosemen : No. 122-000-441-8870 an Kosirotun

Mohon konfirmasi ke nomor 08128510372 (Kosi), ketik: nama spasi
jagabita spasi jumlah donasi

2 comments:

  1. kalo dipikir2 kita itu emang kaya tp suka ngerasa miskin ya.. jd inget sama cerita,ada ibu2 tukang sapu , dia bela2in nabung uang buat ikutan qurban, masa' gue kalah sih sama ibu2 itu..? doain ya, pingin qurban thn ini, thn kemarin ga qurban, krn hrs beli kambing 2 ekor, buat akikah si baby..

    ReplyDelete
  2. aamiyn :)
    sama Dis, meski ini derajatnya sunnah, bahkan abu bakar ra dan umar ra belon pernah qurban karena takut dianggap "kewajiban", rasanya ada yang kurang kalo belum berkurban.. apalagi karena tahu (seharusnya) daging kurban itu buat siapa

    ReplyDelete