Friday, June 7, 2013

Menilai Manusia


Ajining Diri Saka Lathi, Ajining Sarira Saka Busana

Manusia Dihargai Karena Lidahnya, Manusia Dihargai Karena "Busana"-nya

Jujurly, tulisan ini sebenere idenya gegara tadi shubuh itu ada yang share link kaskus, ulasan twitwar-nya seorang tante doktor dengan seorang sutradara. Sebelumnya tante itu dengan seorang musisi. Baca-baca ke belakang, saya kok jadi merasa manusia gampang sekali menilai manusia lain jelek, ya ? 


Tulisan ini jelas tidak dimaksudkan untuk mengekor berantem yang diatas.

Mari kita kembali ke pepatah jawa jaman WaliSanga tadi:

Ajining diri saka lathi, ajining sarira saka busana.
Manusia dihargai karena lidahnya, manusia dihargai karena "busana"-nya.


Bener banget, kan?

Gegara lidah ( dan sekarang juga jempol tentunyah ) seseorang bisa dinilai..
Dan gegara cara penampilan, orang juga bisa dinilai..

Nah, yang sering jadi masalah itu.. bila lantas orang dinilai HANYA berdasar penampakan penampilan, dan/atau dari sisi perlente, dan/atau  dari sisi gelar, dan/atau  dari sisi kepemilikan. Padahal saya yakin pengertiannya tidak mementingkan citra penampilan seperti itu.

Kebetulan, kedua kakek saya ( yang satu muslim yang satu katolik ) pernah menasihati hal serupa. Yang saya ingat, kurang lebih begini: titik masalahnya bukan soal apa/bagaimana busananya, tapi cara berbusana-nya. Pun busana dalam pepatah ini tidak terbatas pada pakaian dari kain, tetapi juga mencakup "pakaian", yakni berupa agama. 

Agama dalam pengertian ini bukan apa yang tercantum di KTP, melainkan nilai2 yang mengatur sendi2 kehidupan manusia. Dan oleh karena itu, agama sering disebut sebagai ageming ati

Pengertian ageming ati-nya yang dimaksud tidak berarti menyamakan semua agama --> Soal ini kembali ke masing-masing. Saya muslim, pastinya akan bilang islam yang paling cocok buat saya.. Tetapi adik saya katolik, pasti akan bilang katolik yang paling cocok buat dia. --> melainkan, kalo sudah memiliki agama tertentu, pakailah sebaik2nya sebagai pakaian hati dan jiwa
<-- Ini, katanya, adalah bagaimana orang jawa memandang agama.
Etapi gak tau juga kalo jawa hari gini, loh.. Saya ngga punya kompetensi menebak apalagi menjawabnya: lha wong saya ini jawa ngga jelas, jeh :p  

Berkenaan dengan contoh ageming ati, contoh yang diucapkan kedua kakek saya kebetulan juga sama: Apa gunanya kamu beragama kalo masih menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuanmu ? 
--> dan karena itulah kita #eh saya ding, membedakan antara ajaran agama dengan kelakuan umatnya. 

Beberapa tulisan di bawah ini, meski agak beda penyampaiannya, kesimpulan akhirnya sepertinya mirip2 dengan apa yang saya yakini


1) Membumikan Langit: Ajining Diri Soko Lathi
2) Dongeng Ala "Simbah": 
Ajining Diri Jalaran Soko Lathi 
3) kalo yang ini sih tambahan saja: Suara Merdeka: Makna Tembang Ilir-ilir

Kutipan favorit saya, sekaligus penutup tulisan ini adalah:
Jadi ketika pakaian kita sudah baik..maka harus kita dukung dengan tingkah laku dan tindakan yang baik pula agar wibawa dan kehormatan diri kita terjaga dan orang pasti akan mesem kesengsem untuk menghormati kepribadian kita...
Itu. dari sisi kitanya sebagai "pelaku"
Tentunya  kita sebagai "penilai" juga diharap bijak menilai orang lain, tidak terjebak hanya gegara soal penampilan dan/atau atribut yang melekat pada diri seseorang..


Bukan begitu ?