Wednesday, July 16, 2008

Tentang Menyukuri Nikmat Tuhan


Ustadz kami sering mengajarkan bahwa Allah memberikan rezeki yang telah ditetapkan sebelumnya kepada kita. Itu kita percayai.
PS: Kalaupun ada yang diberi tambahan kelebihan rezeki, tentunya itu dengan seizin Allah pula.. (note: ini tambahan dari saya, bukan kata ustadz. mohon maaf kalo salah)

Oleh karena itu, bahkan dua orang sahabat yang besaran gajinya sama persis dan dengan jumlah tanggungan yang sama banyaknya, tidak selalu sama "jumlah" asap dapurnya (^^)
Dan itu yang terjadi pada seorang sahabat saya bernama si A. Tanggalan kalender baru menunjukkan angka belasan di bulan Juni,tetapi mereka, sahabat saya dan istrinya, sudah kehabisan uang sama sekali. Hanya tinggal lima ribu di kantung sahabat ini dan sepuluh ribu di kantung istrinya di rumah.

Masalahnya, akhir tanggal belas-belasan ini mereka sudah harus membayar separuh uang pangkal sepasang putri kembar mereka masuk sekolah. Sementara uang yang tadinya disiapkan untuk itu sudah terpakai untuk biaya pengobatan; mendadak seluruh anggota keluarga sakit termasuk mertua yang kebetulan datang dari luar kota, dan itu membuat tabungan mereka habis tidak bersisa.

Sahabat saya ini, tidak seperti sahabat-sahabat saya yang lain tetapi masih lebih baik dari saya, bukanlah orang yang setiap saat ke masjid beribadah (note: saya bilang begini tidak berarti sahabat saya ini ngga shalat lima waktu lhoo..). Pada saat kesulitan itu pun sebenarnya juga tidak banyak berubah juga, hanya saja beberapa kali bertemu di masjid (note: mushalla kantor ding.. saya salah..) wajahnya sedikit lain. lebih pucat dari biasanya. besok-besoknya kok malah lebih parah.. tapi sepintas lalu juga sepertinya jadi lebih pasrah.

Hari itu, ketika uang sahabat saya ini tinggal lima ribu yang saya ceritakan tadi, mereka berdua suami-istri kebingungan. Bingung, boro-boro buat bayar cicilan uang pangkal,  sedang buat belanja saja  uang mereka tinggal segitu-gitunya, yang paling  hanya cukup untuk dua hari bila dihemat. sahabat ini, bukan orang yang mudah meminjam uang (note: sebab kalaupun meminjam, kemampuan untuk mengembalikan juga terbatas tidak bisa sekaligus lunas.. ini alasannya untuk sebisa mungkin ngga pinjam uang).

Sahabat saya ini hanya bisa memohon pada Allah untuk diberikan jalan keluar sekaligus perlindungan daripada-Nya.

Malam itu, ia pulang dengan gontai. Hatinya seperti mencelos bila memikirkan hari ini uang istrinya pasti sudah habis untuk berbelanja.  Tinggal lima ribu di kantungnya. Ia harus memilih apakah untuk jaga-jaga bensin ataukah untuk makan keluarganya esok hari..
Mendadak ia teringat bahwa ia memiliki sejumlah jasa kepada beberapa orang yang belum dibayar. Tetapi ia ingat bahwa tagihannya belum jatuh tempo, jadi pastinya belum akan ia terima hari ini ataupun esok.
Ya sudahlah, waktu itu pikirnya, saya sudah berusaha sekuat tenaga, kalau ngga berhasil juga, pasti ada jalan keluar atau ada maksud-Nya dengan semua ini..

Entah mengapa, ia seperti dituntun oleh sesuatu, mendadak motornya harus menghindari sesuatu dan ia berkelit, berbelok arah ke jalan masuk sebuah bangunan dimana terdapat sebuah ATM. Berhenti pula ia mengambil napas, bersyukur bahwa ia mampu menghindari tabrakan.

Mendadak pintu ATM terbuka, seseorang baru keluar dari sana dan entah mengapa pintunya tidak menutup rapat. 
Tiba-tiba muncul pikiran sahabat saya ini untuk masuk ke ATM itu.
Sahabat ini tertawa kecil pada pikirannya sendiri karena ia tahu bahwa ia tidak memiliki sejumlah uang yang cukup untuk diambil, tetapi kakinya tidak mau menuruti pikirannya.
Tahu-tahu ia sudah ada di dalam ruangan ATM dan sudah mencoba mengecek saldo.
Alangkah terkejutnya sahabat ini ketika melihat saldo banknya ada lebih dari jumlah yang ia butuhkan: untuk belanja sampai akhir bulan, untuk membayar cicilan uang pangkal putri mereka, dan bahkan masih lebih lagi..
Ia terkejut dan mencoba meyakinkan diri bahwa ia tidak salah lihat.
Dikeluarkan kartunya dan dimasukkannya lagi.Diceknya lagi. Angkanya sama.
Dicobanya cek mutasi beberapa transaksi terakhir, ternyata ada uang masuk seminggu yang lalu.. tentu  belum ketahuan siapa pengirimnya.
Ia coba bertanya pada C/S bank yang bertugas lewat telepon, tapi petugas di telepon tidak bisa menjawab dari siapa. 
Ia coba telepon dan sms "klien"-nya, ternyata sang klien juga belum membayar tagihannya.

Maka sahabat ini hanya bisa bersujud syukur. 
Lalu ia pulang dengan terpesona; naik motor sambil setengah oleng, antara ingin menangis bahagia dan tidak percaya serta penuh rasa syukur..

Dan itulah saat kapan saya (berhasil) menyusul dari belakang dan segera hentikan dia karena berbahaya. Dan sampailah cerita ini pada saya, dan kini pada teman-reman semua; dengan izin tentunya.
---

Kisah di atas adalah kisah nyata meski mungkin jarang dialami orang lain.
Saya aja ngga pernah mengalami meskipun ingin sekali.. :p
Ahem.. kalo ada rekan2 yang mau transfer semilyar ke saya diam-diam, jangan ya.. ntar diinterogasi petugas dikira uang suap lho.. cukuplah sepuluh atau seratus juta aja ^^  --halah!!--

Bukan soal keajaibannya yang ingin saya ceritakan.
Ini adalah kesimpulan sahabat tadi: 
Allah mungkin menggunakan ujian atau cobaan (note: atau musibah. ini tambahan saya, lagi2 karena perbedaannya suka terlalu tipis heheh) supaya kita manusia ingat pada-Nya..
Di sisi lain, setelah mengalami cobaan, maka anugerah sekecil apapun, yang dalam keadaan normal mungkin tidak terasa,  jadi begitu fenomenal.. Hati ini, seolah berebut antara menyebut AlhamduliLlah dan Allahu Akbar..

Iya juga kali ya.. 
 
PS: saat ini sih udah ketahuan itu uang dari siapa, dan uang itu memang halal untuk sahabat ini..  atas suatu jasa yang pernah diberikannya yang ia sendiri malah sudah lupa.. sebab kejadiannya sudah lama sekali.
jadi ingat pepatah ini: "Tuhan menjadikan segala sesuatu itu indah pada waktunya" (..ataukah "pada waktu-Nya" ? saya ngga jelas juga..)
V(^.^)V  

MENGAPA SAYA ?

dari email kawan, sebelumnya (atau malah aslinya, ngga tau juga) dari milis alumni Ernst&Young kayaknya

saya juga ingat pernah komplen --bukan sama Tuhan-- tentang sifat buruk seseorang. [ps: meski ternyata ybs juga komplen tentang saya.. hiks ;p] ke seseorang yang kami tuakan.

komentar beliau ringan saja: segala sesuatu itu pasti ada baik dan buruknya. sudah satu paket. kalau kita ambil sesuatu itu, ngga bisa kita ambil baiknya tanpa buruknya terikut, dan sebaliknya.

jadi intinya, ini masih kata beliau itu, ngga pernah ada sebenarnya "ambil baiknya, buang buruknya" yang ada "ambil baiknya, antisipasi buruknya.. kalo ngga bisa diantisipasi, belajarlah menerima baik dan buruk itu apa adanya, barangkali bahkan ada hikmah tersembunyi dibalik itu yang kita belum tahu.."

iya juga kali ya..

I took the good times, I'll take the bad times.
I'll take you just the way you are.
 
[billy joel. just the way you are]

salam, ari.ams

---------- Pesan terusan ----------
Dari: a....s.......
Tanggal: 16 Juli 2008 08:41
Subjek: From EY alumni: MENGAPA SAYA?

Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?
(Ayub 2:10)


MENGAPA SAYA?

Arthur Ashe adalah petenis kulit hitam dari Amerika yang memenangkan tiga gelar juara Grand Slam; Amerika Open (1968), Australia Open (1970), dan Wimbledon (1975). Pada tahun 1979 ia terkena serangan jantung yang mengharuskannya menjalani operasi by pass. Setelah dua kali operasi, bukannya sembuh ia malah harus menghadapi kenyataan pahit, terinfeksi HIV melalui transfusi darah yang ia terima.

Seorang penggemarnya menulis surat kepadanya, "Mengapa Tuhan memilihmu untuk menderita penyakit itu?"
Ashe menjawab, "Di dunia ini ada 50 juta anak yang ingin bermain tenis, di antaranya 5 juta orang yang bisa belajar bermain tenis, 500 ribu belajar menjadi pemain tenis profesional, 50 ribu datang ke arena untuk bertanding, 5.000 mencapai turnamen grand slam, 50 orang berhasil sampai ke Wimbledon, empat orang di semi final, dua orang berlaga di final. Dan ketika saya mengangkat trofi Wimbledon, saya tidak pernah bertanya kepada Tuhan,  'Mengapa saya?'  Jadi ketika sekarang saya dalam kesakitan, tidak seharusnya juga saya bertanya kepada Tuhan, 'Mengapa saya?'"

Sadar atau tidak, kerap kali kita merasa hanya pantas menerima hal-hal baik dalam hidup ini; kesuksesan, karier yang mulus, kesehatan.  Ketika yang kita terima justru sebaliknya; penyakit, kesulitan, kegagalan, kita menganggap Tuhan tidak adil. Sehingga kita merasa berhak untuk menggugat Tuhan. Ashe, seperti juga Ayub dalam bacaan kita, tidak demikian. Itulah cerminan hidup beriman; tetap teguh dalam pengharapan, pun bila beban hidup menekan berat

KETIKA MENERIMA SESUATU YANG BURUK
INGATLAH SAAT-SAAT KETIKA KITA MENERIMA YANG BAIK

Tuesday, July 15, 2008

Jenny Jusuf: Mencari Bahagia

tulisan aslinya ada di milis sekolah-kehidupan
namun demikian, penulis aslinya juga mempost tulisan ini di blog-nya sendiri, di sini 

tulisan ini, bagi saya, seperti sebuah bubur-ayam-buat-jiwa yang sangat... hmm.. baca sendiri deh..

salam, ari ams


Monday, July 14, 2008


Mencari Bahagia

oleh: Jenny Jusuf

Di kaki gunung, tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, hidup seorang pemuda yang kerjanya menebang pohon untuk dijadikan kayu api dan dijual di pasar. Pekerjaan itu sudah ia lakukan selama belasan tahun, nyaris seumur hidupnya.

Ketika ia kecil, belum bisa melangkah apalagi bicara, setiap hari orangtuanya menjunjungnya dalam jarit dan membawanya ke pasar. Di sanalah, untuk pertama kalinya, bocah itu mengenal dunia. Dunia yang lebih luas dari sepetak pekarangan sempit yang ditumbuhi ketela dan rumah kayu yang sederhana.

Pasar adalah tempatnya bertumbuh. Setiap hari, setiap jam, bocah itu memperhatikan tingkah laku orang-orang yang lalu-lalang; bertransaksi, sekadar melihat-lihat, sampai berkelahi.

Pasar becek yang kadang menguarkan bau amis itu telah menjadi dunianya selama bertahun-tahun. Ketika orangtuanya meninggal, ia melanjutkan berjualan kayu di tempat yang sama, di pojok yang sama, selama bertahun-tahun.

Ia jauh lebih suka berada di pasar, karena pasar selalu dipenuhi orang-orang yang beraneka ragam, dengan berbagai perangai unik yang memancing rasa ingin tahunya.

Sering, sambil menunggui dagangannya, sang pemuda mengamati keadaan sekitar, berharap menemukan sesuatu yang lain dari biasanya -- sesuatu yang menantang indera dan intuisinya.

Ia suka mengamati ibu-ibu bersanggul yang menenteng tas yang tampak mahal, diikuti babunya yang tergopoh-gopoh berusaha mengimbangi kecepatan jalan sang majikan. Mereka tampak kontras di antara pengunjung pasar yang rata-rata berpakaian seadanya dan bersandal lusuh. Sesekali, wanita itu berbicara kepada si babu dengan nada cepat sambil menunjuk sesuatu, dan babu itu akan segera memilih satu dari tumpukan barang yang ditunjuk –yang kualitasnya paling baik, paling besar, paling bagus- dan memasukkannya ke keranjang belanja. Sang Nyonya akan membayar tanpa menawar lebih dahulu.

Si pemuda mengamati semua itu tanpa bersuara. Mungkin memang tak ada gunanya nyonya besar itu menawar. Tas yang dijinjingnya tampak lebih mahal dari semua dagangan di pasar ini dijadikan satu.

Ketika si Nyonya dan babunya berlalu, pemuda itu berpikir,”Bagaimana rasanya memiliki banyak uang? Apa rasanya bisa membeli sesuatu tanpa menawar? Bagaimana rasanya punya babu yang bisa diperintah sesuka hati?”

Menjelang gelap, saat pedagang-pedagang lain membereskan jualan, pemuda itu bersembunyi di pojokan pasar -- di tempat yang agak sepi dan jarang dilalui orang. Kayu-kayu dagangannya telah terikat rapi dan disembunyikan di tempat yang aman, siap diangkut kapanpun.

Ia tak perlu menunggu lama. Seorang pedagang kain yang berjalan kaki sambil bersiul-siul menghitung uang melintas di depannya. Dengan cepat ia menarik penutup wajah yang tersampir di kepala, menutupi seluruh mukanya kecuali hidung, dan merampas dompet kulit di genggaman si pedagang.

Pedagang yang kaget itu berteriak, namun si pemuda lebih cepat dari siapapun. Ia berlari berbelok-belok, memasuki gang-gang sempit secepat kilat, mengecoh para pengejar. Ia masuk ke dalam tempat sampah besar dari semen, mengayunkan penutupnya yang terbuat dari besi berkarat, dan bersembunyi di sana, mendengarkan suara para pengejarnya memudar di kejauhan, semakin mengecil ketika mereka memutuskan untuk berpencar ke arah yang berbeda-beda, dan akhirnya lenyap sama sekali.

Ketika hari telah benar-benar gelap, ia keluar, kembali ke pasar untuk mengambil kayu-kayunya, dan berjalan pulang. Sesampainya di pondok, ia melempar gelondongan kayu ke sudut. Ia tak akan membutuhkannya dalam waktu dekat. Uang yang diperolehnya cukup untuk bertahan hidup selama sebulan, jika ia berhemat. Seminggu, jika ia berleha-leha dan membelanjakannya sesuka hati.

Pemuda itu memilih yang kedua. Dengan saku penuh uang, ia berjalan ke rumah makan terdekat, memesan makanan termahal yang bisa diperolehnya dan melahap semuanya hingga kekenyangan. Lalu ia pergi ke rumah pedagang kain, membeli beberapa meter satin dan mengunjungi penjahit terkemuka di seberang jalan, memesan 3 potong pakaian dengan kualitas yang jauh lebih baik dari yang pernah dikenakannya seumur hidup. Belum cukup puas dengan semuanya, ia pergi ke sudut jalan yang lain, daerah kumuh tempat anak-anak gelandangan, dan memanggil seorang anak yang kelihatan agak bodoh.

“Jadilah pelayanku selama seminggu,” katanya. “Pijat kakiku, ambilkan air dari sungai untuk mandiku, cuci pakaian-pakaianku, siangi pekaranganku, masakkan nasi dan lauk untukku, dan tebanglah kayu bagiku,” ia memperlihatkan gulungan uang kepada si anak, yang segera menyambarnya tanpa bertanya sedikitpun.

Malam itu, untuk pertama kalinya, si pemuda menikmati kehidupan bak seorang raja. Ia menghambur-hamburka n air mandi (merasa tak perlu berhemat karena bukan ia yang susah-payah mengangkutnya dari sungai), makan sayuran segar yang dipetik dan dimasakkan si anak untuknya, serta tertidur sambil merasakan pijatan nyaman di kakinya.

Hari demi hari berlalu. Uang di sakunya mulai menipis. Si pemuda menyadari kehidupan mewahnya akan segera berakhir. Ia ingin merampas lagi, namun diurungkannya. Meskipun bisa mendatangkan uang dengan cepat dan mudah, setiap malam tidurnya diganggui ketakutan dan mimpi buruk. Ia selalu bangun dengan rasa bersalah, kepada dirinya sendiri dan kepada orangtuanya yang selalu mengajarnya untuk berlaku jujur.

“Aku tak akan melakukan hal itu lagi,” gumamnya pada hari ketujuh, ketika uang di sakunya tinggal selembar. Ia menyodorkan uang itu kepada si anak yang baru selesai mengikat kayu. “Ambillah, dan pergilah. Aku tak memerlukanmu lagi.” Setelah itu, ia memanggul gelondongan- gelondongan kayu dan berjalan ke pasar, mendirikan tenda jualannya, dan kembali pada aktivitas rutinnya: berdagang sambil memperhatikan orang-orang di sekitarnya.

Suatu hari, datanglah seorang tukang cukur ke pasar itu. Ia menyewa sebuah los kecil tidak jauh dari tempat berjualan si pemuda dan memasang papan bertuliskan: CUKUR RAPI, TUA-MUDA SEPULUH SEN.

Tertarik melihat harga yang diajukan, beberapa orang menghampiri los itu. Terdorong penasaran, si pemuda ikut mendekat. Ia tak mau memotong rambut, hanya ingin melihat seperti apa di dalam.

Si tukang cukur ternyata sangat piawai bicara. Sambil menggunting rambut, ia terus mengajak pelanggannya mengobrol, menceritakan kisah-kisah lucu dan bersenda gurau. Hasil pekerjaannya juga bagus. Setiap orang yang keluar dari los itu merasa puas dan berjanji pada diri sendiri akan kembali ke situ. Apabila tidak memotong rambut, mereka bercerita tentang si tukang cukur kepada orang-orang lain. Dalam sekejap, si tukang cukur kebanjiran pelanggan. Losnya tak pernah sepi pengunjung.

Si pemuda memperhatikan bagaimana laki-laki berperawakan kecil yang agak bungkuk itu selalu tertawa. Wajahnya tak pernah sepi dari senyum. Ia ramah, tak segan mengobrol dengan siapa saja (bahkan anak kecil sekalipun), dan tampak sangat menikmati pekerjaannya. Itulah yang memunculkan senyum di wajahnya, setiap hari, setiap menit.

Pemuda itu mulai berpikir, alangkah enaknya jadi tukang cukur. Uangnya mungkin tak seberapa karena ia tak memasang tarif mahal, namun ia tampak bahagia. Tukang cukur sederhana itu menularkan kegembiraan pada orang-orang dan ia disayangi pelanggan-pelanggan nya. Mencukur juga pekerjaan yang mengasyikkan. Bunyi kres-kres yang terdengar setiap kali gunting digerakkan menggelitik telinga, dan para pelanggan selalu tersenyum puas setiap habis dicukur.

Maka si pemuda meninggalkan pondoknya di kaki gunung, pindah ke kota, menguras pundi-pundinya dan menukarkan isinya yang tak seberapa dengan sewa los selama setahun, persis di seberang los si tukang cukur. Ia memasang papan: PANGKAS RAPI, TUA-MUDA DELAPAN SEN. Ia akan sangat merugi dengan ongkos semurah itu, namun ia tak keberatan apabila hasilnya sebanding dengan pengorbanannya, karena yang dicarinya kini bukan keuntungan, melainkan kebahagiaan. Ia menginginkan senyuman yang dimiliki si tukang cukur.

Tertarik dengan harga yang diajukan, pengunjung pasar berduyun-duyun menghampiri losnya. Mereka duduk dan menunggu gunting cukurnya bekerja, dan mereka menantikan cerita-cerita yang akan dibawakannya. Namun si pemuda tak pandai bercerita. Sehari-hari, ia hanya pedagang yang lebih banyak diam kecuali untuk bertransaksi, dan ia tak punya lelucon-lelucon memikat untuk dikisahkan. Ia juga bukan sosok berkepribadian menarik yang pintar bicara. Maka, ia mengerjakan tugasnya dalam diam. Selesai dipangkas, seorang laki-laki memandang cermin, berpaling ke arahnya dan berkata, “Kau tak bisa mencukur dengan baik, dan selera humormu payah.”

Si pemuda terdiam, hatinya mencelos. Seharian itu ia tak sanggup tersenyum. Pikirannya sering mengembara ke uang tabungan yang dikumpulkan selama bertahun-tahun dan terbuang sia-sia di los sempit itu. Di penghujung hari, tamu terakhirnya, seorang anak kecil dengan rambut ikal yang manis, menangis meraung-raung ketika melihat wajahnya.

Hari-hari berikutnya ternyata lebih buruk dari yang diduganya. Orang-orang kecewa dan menyebarkan berita buruk mengenai salon baru yang murah namun tidak memuaskan. Mereka kembali ke los tukang cukur lama, sekadar untuk bercakap-cakap dan mendengarkan cerita-ceritanya. Mereka tertawa, si tukang cukur tertawa, namun sebaris senyum pun tak tampak di wajah si pemuda.

Kebahagiaan yang dinantikannya tak kunjung tiba. Senyum yang ditunggu-tunggunya tak sudi mampir di wajahnya, walau hanya sesaat. Makin lama, losnya semakin sepi. Dari dalam ia bisa mendengar obrolan-obrolan riang di los seberang, dan hatinya kian merana. Ia patah arang.

Suatu siang, ketika ia sedang duduk menyesali nasib, seorang gadis mengetuk pintu los. Spontan, ia berdiri dan menepis debu di pakaiannya, memasang senyum terbaik yang bisa diusahakannya, dan bersiap-siap memotong rambut si gadis yang panjang sebahu.

Gadis itu duduk dan membuka pembicaraan. Sementara gunting bekerja, mereka terlibat dalam percakapan yang menyenangkan. Si gadis sangat suka berceloteh dan perkataannya segar menggembirakan. Ia juga memiliki selera humor yang baik. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, si pemuda tertawa lepas dan merasa bahagia.

Sepeninggal gadis itu, ia merasa jauh lebih baik. Senyum terus tersungging di bibirnya hingga malam tiba dan ia terlelap. Gadis itu telah membawakan senyuman yang dinanti-nantinya.

Dua hari kemudian, si gadis datang lagi, kali ini membawa seorang bocah laki-laki. Keponakannya. Sementara gunting bekerja, mereka kembali terlibat dalam percakapan yang menyenangkan. Tahulah si pemuda bahwa gadis itu baru pindah ke sana, dan ia memiliki dua keponakan yang lucu-lucu. Ia juga tahu bahwa si gadis sangat menyukai langit senja, pelangi dan aroma tanah menjelang hujan. Yang terpenting, kini ia tahu, gadis itu bisa memberikan apa yang dicarinya selama ini: kebahagiaan.

Mereka semakin sering bertemu. Terkadang si gadis mampir ke losnya hanya untuk bercakap-cakap. Bila los sedang sepi pengunjung, si pemuda akan menutupnya dan pergi ke rumah si gadis, untuk sekadar melewatkan senja dan mendengarkan jangkrik bernyanyi. Semakin lama, hati pemuda itu semakin dipenuhi perasaan aneh yang tak bisa dijelaskannya. Perasaan itu demikian kuat dan tak bisa digambarkan dengan kata apapun, kecuali cinta.

Ia jatuh cinta.

Malam-malamnya mulai diisi mimpi indah tentang seorang gadis yang membawakan senyuman baginya. Hari-hari sepinya mulai diisi dengan khayalan tentang gadis yang suara renyahnya menularkan gelak tawa. Lamunan-lamunannya mulai diisi dengan wajah manis yang senantiasa berbinar, yang mengajarinya bergurau dan bercerita.

Suatu hari, pada senja yang indah setelah hujan, ketika matahari mulai menghilang di ufuk, si pemuda mengutarakan isi hatinya kepada sang gadis. Ia jatuh cinta, dan berharap sang gadis bersedia menyambut cintanya.

Gadis itu menatapnya dengan mata bulat berbinar. “Kenapa?”

“Karena engkau bisa memberikan kebahagiaan untukku.” Si pemuda menjawab sambil mengulurkan setangkai mawar. “Dan aku ingin kebahagiaan itu kekal adanya, maka aku memintamu menjadi milikku selamanya.”

Tanpa disangka, binar gembira di wajah si gadis meredup. Sedikit.

Hanya itu? Karena aku bisa membuatmu bahagia?”

Pemuda itu mengangguk. Ia meraih tangan si gadis, mengecupnya lembut. “Karena engkau bisa membuatku bahagia. Engkau telah membawakan senyuman yang telah lama kucari.”

Si gadis menarik tangannya. Belum habis rasa terkejutnya, si pemuda menatap pujaannya dan menemukan kaca di mata gadis itu.

Ia terperanjat. Kenapa ia menangis? Apa salahnya?

“Kau tidak mencintaiku. Kau hanya mencintai dirimu sendiri.”

Sebelum si pemuda sempat memahami maksud perkataan itu, sang gadis telah beranjak pergi.

Pemuda itu pulang dengan bingung dan sengsara. Ia merasa jauh lebih merana dari yang sudah-sudah. Untuk sebuah alasan yang tidak dipahaminya, gadis pujaannya telah menolak cintanya. Kini ia hancur berkeping-keping. Rusak dan takkan dapat diperbaiki. Hidupnya sudah berakhir.

Ia duduk di depan losnya, termangu. Mawarnya sudah lama dibuang, dan ia sedang memikirkan cara terbaik untuk mengakhiri hidupnya. Ia sedang menimbang-nimbang, hendak menggantung diri atau menusukkan belati ke lehernya, tatkala si tukang cukur beranjak mendekatinya dan duduk di sebelahnya.

Si pemuda tak menyadari kehadiran tukang cukur itu, sampai ia merasakan tepukan ringan di pundaknya. Si tukang cukur menatapnya sambil tersenyum, dengan binar yang tak pernah lepas dari wajahnya.

“Aku tak mengerti.” cetus si pemuda. Dan kata-kata berhamburan dari mulutnya. Kegalauan dan kepahitan hatinya tumpah ruah. Si tukang cukur hanya diam dan mendengarkan.

“Aku hanya mencari bahagia,” bisik pemuda itu. “Mengapa begitu sulit?”

Si tukang cukur merenung sejenak, lalu tersenyum arif. “Mungkin kau tak perlu mencarinya, Nak. Mungkin kau hanya perlu berdamai dengan dirimu sendiri.”

Pemuda itu menatap si tukang cukur, keningnya berkerut bingung. “Apa maksudmu? Aku tidak bermusuhan dengan siapapun.”

“Kau tidak bermusuhan dengan siapapun,” si tukang cukur mengulangi. “Kau hanya perlu menerima dirimu sendiri, apa adanya, tanpa syarat.”

“Aku tidak mengerti,” gumam si pemuda, kini tampak lelah. Selain patah hati dan sengsara, apakah ia juga telah menjadi dungu? “Aku hanya ingin bahagia. Di mana salahnya?”

Lagi-lagi si tukang cukur tersenyum bijak. “Tak ada yang salah, Nak. Engkau hanya menganggapnya sebagai kesalahan, karena yang terjadi tidak sejalan dengan keinginanmu. Bila bahagia yang kau inginkan, engkau hanya perlu berhenti bertanya apa yang salah.”

Pemuda itu terdiam. “Namun hidupku tidak sempurna,” ucapnya perlahan, teringat pada kegagalan dan perbuatan buruknya di waktu lampau. “Aku bukan orang yang cukup baik.”

“Engkau tidak perlu menjadi sempurna untuk bahagia, Nak, karena hidup ini indah apa adanya.”

Si pemuda mengangkat muka dan menemukan lengkungan lembut di wajah si tukang cukur, yang tiba-tiba kelihatan begitu bijaksana dan berhikmat.

Tukang cukur itu pamit pulang, dan si pemuda tetap duduk di depan losnya hingga lewat tengah malam. Ia memikirkan segala sesuatu, apa yang telah terjadi di masa lalu, apa yang baru saja dialaminya, dan nasehat-nasehat si tukang cukur. Mendadak, ia tidak ingin mengakhiri hidupnya lagi.

----

Tiga purnama berselang, saat sang gadis menyirami tanaman di kebun mungilnya, pemuda itu menghampirinya. Kali ini tanpa membawa apa-apa. Hanya sebuah garis lengkung di wajahnya yang berbinar.

Si gadis menatapnya, bergeming.

“Aku tak lagi mencari bahagia,” ucap si pemuda. “Aku telah bersua dengan damai, dan aku tak membutuhkan apapun lagi untuk bisa tersenyum.”

“Hidupku tak sempurna,” ia berkata lebih lanjut, “namun aku mencintainya apa adanya. Dan aku tahu, bersamamu, hidupku akan menjadi utuh; begitu pula dirimu. Maukah engkau menjadi sempurna bersamaku?”

Gadis itu tersenyum. Senyuman termanis yang pernah tampak di wajahnya. Dan kali ini, si pemuda tahu, ia benar-benar tak butuh apapun lagi untuk menjadi bahagia.

Wednesday, July 2, 2008

Ensemble Planeta(Classic Acappella Group) - Air on G String




Creative.. Love it. Nice voices, esp. the lead vocal on the dead-right

I think if Johann Sebastian Bach could hear this, then he would change the name for this composition' to Air on G Voices, since there's no strings involved here heheh
V(^o^)~~*

-----
Ensemble Planeta - Orchestral Suite No. 3 In D Major BWV 1068 "Air On A G String". 
-----

video taken from http://www.youtube.com/watch?v=8eN9kiyIv-Q

The Land is Mine (Exodus Song)




Free Palestine

I won't support with terrorism. But I do support freedom fighters (and negosiators) to defend their lives from the colonials-oppressors. Palestinians have their rights on the land and no one can deny it. If every person in the world support a state of israel on palestine, that's your opinion and I honor yours. But even if yours were true (note, i said "if"), it wouldn't gave a damn right for zionist to kill any palestinians.

I stand for palestinians, that's clear. I don't hate jews, but I don't support terrorism which zionist did to the palestinians, but I also don't support bomb- killing any people.

Let Palestinians live their own-way with their own-government in their land.

------
" Freedom is never voluntary given by the opressors..." (Dr. M.L.King).
We shall overcome.
Free Palestine.
-----
Exodus
Artist: Andy Williams
Music written for 1960 film "Exodus" by Ernest Gold, who won an Oscar for the
score. Words added in 1961 by Pat "White Bucks" Boone as "This Land Is Mine."
Various versions charted in 1961 by Ferrante and Teicher (#2); Mantovani (#31);
Eddie Harris (jazz rendition, #36); Pat Boone (#64); and Edith Piaf (#116)

This land is mine, God gave this land to me
This brave and ancient land to me
And when the morning sun reveals her hills and plain
Then I see a land where children can run free

So take my hand and walk this land with me
And walk this lovely land with me
Though I am just a man, when you are by my side
With the help of God, I know I can be strong

Though I am just a man, when you are by my side
With the help of God, I know I can be strong

To make this land our home
If I must fight, I'll fight to make this land our own
Until I die, this land is mine

video taken from http://www.youtube.com/watch?v=f-tOSmRSAD4
lyrics taken from http://www.lyricsdepot.com/andy-williams/the-exodus-song-this-land-is-mine.html

Tuesday, July 1, 2008

Tentang Beruntung (3 dari 3): Si Untung

Tulisan ini lebih seperti uraian dari tulisan kedua.
Btw tentang menggunakan intuisi, imho saya tidak sepakat bila digunakan dalam setiap kali pengambilan keputusan. Tapi ya, percaya tidak percaya, dalam kasus saya dan beberapa orang dekat yang saya kenal,  seringkali ada semacam "alert" yang timbul dari bawah sadar mengenai sesuatu hal. Tetapi betul atau tidak isyarat itu, nampaknya tergantung kita ahli menggunakannya atau tidak serta kenyamanannya (dan untuk beberapa kasus, tergantung bersih tidaknya qalbu itu hehe)
Btw kan ada saja orang yang mau kayak apapun ngga bisa mengambil keputusa kalau tidak ada data lengkap tersedia. Saya rasa itu juga tidak salah.

Dalam konteks mereka yang beruntung lebih banyak menggunakan intuisi, hmm.. di satu sisi kayaknya benat juga..  setidaknya menurut saya. Saya tidak bermaksud mencela. Namun memang ada kawan saya yang rada2 skeptis melihat permasalahn, dia akan mencela begini:
"Ya iya lah kalo mengambil keputusan berdasar intuisi (dan berhasil) pastinya beruntung, kalo berdasarkan data dan analisis (dan berhasil), namanya keputusan yang matang.."
Kalau udah begitu, biasanya saya suka mencela balik, "Lha kalau sudah pake data dan analisa tetapi gagal juga..?"
"Kalo itu namanya takdir.." yah biasanya model beginilah jawabannya kalau ngeles..

heheh.. maap maap yah, out of topicsnya teh keterusan (^^)

salam, ari ams



original article: http://fauzirachmanto.blogspot.com/2007/03/rahasia-si-untung.html

Monday, March 19, 2007

Rahasia Si Untung



Anda pasti kenal tokoh si Untung di komik Donal Bebek. Berlawanan dengan Donal yang selalu sial. Si Untung ini dikisahkan untung terus. Ada saja keberuntungan yang selalu menghampiri tokoh bebek yang di Amerika bernama asli Gladstone ini. Betapa enaknya hidup si Untung. Pemalas, tidak pernah bekerja, tapi selalu lebih untung dari Donal. Jika Untung dan Donal berjalan bersama, yang tiba-tiba menemukan sekeping uang dijalan, pastilah itu si Untung. Jika Anda juga ingin selalu beruntung seperti si Untung, dont worry, ternyata beruntung itu ada ilmunya.

Ilmu beruntung tadi sedikit diungkap pada seminar Luck Factor yang diselenggarakan oleh Komunitas Tangandiatas dan dibawakan oleh Bp. Ahmad Faiz Zainuddin dari LoGOS Institute (www.seftlogos.com) pada tanggal 15 Maret lalu. Dalam seminar tadi Pak Faiz terutama merujuk pada hasil penelitian Professor Richard Wiseman yang telah dibukukan dengan judul "The Luck Factor", selain memberikan beberapa intrepretasi dan tambahan sesuai konsep LoGOS yang beliau rumuskan.

Penasaran dengan ilmu keberuntungan Prof Wiseman, saya mencoba menggali lebih dalam hal-hal yang tidak sempat dibahas di seminar tadi. Kalau ingin hidup Anda seperti si Untung, simak baik-baik:

Professor Richard Wiseman dari University of Hertfordshire Inggris, mencoba meneliti hal-hal yang membedakan orang2 beruntung dengan yang sial. Wiseman merekrut sekelompok orang yang merasa hidupnya selalu untung, dan sekelompok lain yang hidupnya selalu sial. Memang kesan nya seperti main-main, bagaimana mungkin keberuntungan bisa diteliti. Namun ternyata memang orang yang beruntung bertindak berbeda dengan mereka yang sial.

Misalnya, dalam salah satu penelitian the Luck Project ini, Wiseman memberikan tugas untuk menghitung berapa jumlah foto dalam koran yang dibagikan kepada dua kelompok tadi. Orang2 dari kelompok sial memerlukan waktu rata-rata 2 menit untuk menyelesaikan tugas ini. Sementara mereka dari kelompok si Untung hanya perlu beberapa detik saja! Lho kok bisa? Ya, karena sebelumnya pada halaman ke dua Wiseman telah meletakkan tulisan yang tidak kecil berbunyi "berhenti menghitung sekarang! ada 43 gambar di koran ini". Kelompol sial melewatkan tulisan ini ketika asyik menghitung gambar. Bahkan, lebih iseng lagi, di tengah2 koran, Wiseman menaruh pesan lain yang bunyinya: "berhenti menghitung sekarang dan bilang ke peneliti Anda menemukan ini, dan menangkan $250!" Lagi-lagi kelompok sial melewatkan pesan tadi! Memang benar2 sial.

Singkatnya, dari penelitian yang diklaimnya "scientific" ini, Wiseman menemukan 4 faktor yang membedakan mereka yang beruntung dari yang sial:

1. Sikap terhadap peluang.
Orang beruntung ternyata memang lebih terbuka terhadap peluang. Mereka lebih peka terhadap adanya peluang, pandai menciptakan peluang, dan bertindak ketika peluang datang. Bagaimana hal ini dimungkinkan? Ternyata orang-orang yg beruntung memiliki sikap yang lebih rileks dan terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru. Mereka lebih terbuka terhadap interaksi dengan orang-orang yang baru dikenal, dan menciptakan jaringan-jaringan sosial baru. Orang yang sial lebih tegang sehingga tertutup terhadap kemungkinan-kemungkinan baru.

Sebagai contoh, ketika Barnett Helzberg seorang pemilik toko permata di New York hendak menjual toko permata nya, tanpa disengaja sewaktu berjalan di depan Plaza Hotel, dia mendengar seorang wanita memanggil pria di sebelahnya: "Mr. Buffet!" Hanya kejadian sekilas yang mungkin akan dilewatkan kebanyakan orang yang kurang beruntung. Tapi Helzber berpikir lain. Ia berpikir jika pria di sebelahnya ternyata adalah Warren Buffet, salah seorang investor terbesar di Amerika, maka dia berpeluang menawarkan jaringan toko permata nya. Maka Helzberg segera menyapa pria di sebelahnya, dan betul ternyata dia adalah Warren Buffet. Perkenalan pun terjadi dan Helzberg yang sebelumnya sama sekali tidak mengenal Warren Buffet, berhasil menawarkan bisnisnya secara langsung kepada Buffet, face to face. Setahun kemudian Buffet setuju membeli jaringan toko permata milik Helzberg. Betul-betul beruntung.

2. Menggunakan intuisi dalam membuat keputusan.
Orang yang beruntung ternyata lebih mengandalkan intuisi daripada logika. Keputusan-keputusan penting yang dilakukan oleh orang beruntung ternyata sebagian besar dilakukan atas dasar bisikan "hati nurani" (intuisi) daripada hasil otak-atik angka yang canggih. Angka-angka akan sangat membantu, tapi final decision umumnya dari "gut feeling". Yang barangkali sulit bagi orang yang sial adalah, bisikan hati nurani tadi akan sulit kita dengar jika otak kita pusing dengan penalaran yang tak berkesudahan. Makanya orang beruntung umumnya memiliki metoda untuk mempertajam intuisi mereka, misalnya melalui meditasi yang teratur. Pada kondisi mental yang tenang, dan pikiran yang jernih, intuisi akan lebih mudah diakses. Dan makin sering digunakan, intuisi kita juga akan semakin tajam.

Banyak teman saya yang bertanya, "mendengarkan intuisi" itu bagaimana? Apakah tiba2 ada suara yang terdengar menyuruh kita melakukan sesuatu? Wah, kalau pengalaman saya tidak seperti itu. Malah kalau tiba2 mendengar suara yg tidak ketahuan sumbernya, bisa2 saya jatuh pingsan. Karena ini subtektif, mungkin saja ada orang yang beneran denger suara. Tapi kalau pengalaman saya, sesungguhnya intuisi itu sering muncul dalam berbagai bentuk, misalnya:

- Isyarat dari badan. Anda pasti sering mengalami. "Gue kok tiba2 deg-deg an ya, mau dapet rejeki kali", semacam itu. Badan kita sesungguhnya sering memberi isyarat2 tertentu yang harus Anda maknakan. Misalnya Anda kok tiba2 meriang kalau mau dapet deal gede, ya diwaspadai saja kalau tiba2 meriang lagi.
- Isyarat dari perasaan. Tiba-tiba saja Anda merasakan sesuatu yang lain ketika sedang melihat atau melakukan sesuatu. Ini yang pernah saya alami. Contohnya, waktu saya masih kuliah, saya suka merasa tiba-tiba excited setiap kali melintasi kantor perusahaan tertentu. Beberapa tahun kemudian saya ternyata bekerja di kantor tersebut. Ini masih terjadi untuk beberapa hal lain.
- Isyarat dari luar. "Follow the omen" demikian kalau kata Paulo Coelho di buku the Alchemist. Baca "isyarat2" dari luar yang datang pada Anda. Saya juga beberapa kali mengalami. Misalnya pernah saja tiba2 di TV saya kok merasa sering melihat iklan suatu perusahaan tertentu, kemudian ketemu teman kok membicarakan perusahaan itu lagi, di jalan melihat iklan perusahaan tadi. Belakangan perusahaan tadi ternyata menjadi klien saya. Jadi kalau akhir2 ini Anda sering berpapasan dengan Mercedez S Class dua pintu, barangkali itu suatu pertanda.

3. Selalu berharap kebaikan akan datang.
Orang yang beruntung ternyata selalu ge-er terhadap kehidupan. Selalu berprasangka baik bahwa kebaikan akan datang kepadanya. Dengan sikap mental yang demikian, mereka lebih tahan terhadap ujian yang menimpa mereka, dan akan lebih positif dalam berinteraksi dengan orang lain. Coba saja Anda lakukan tes sendiri secara sederhana, tanya orang sukses yang Anda kenal, bagaimana prospek bisnis kedepan. Pasti mereka akan menceritakan optimisme dan harapan.

4. Mengubah hal yang buruk menjadi baik.
Orang-orang beruntung sangat pandai menghadapi situasi buruk dan merubahnya menjadi kebaikan. Bagi mereka setiap situasi selalu ada sisi baiknya. Dalam salah satu tes nya Prof Wiseman meminta peserta untuk membayangkan sedang pergi ke bank dan tiba-tiba bank tersebut diserbu kawanan perampok bersenjata. Dan peserta diminta mengutarakan reaksi mereka. Reaksi orang dari kelompok sial umunya adalah: "wah sial bener ada di tengah2 perampokan begitu". Sementara reaksi orang beruntung, misalnya adalah: "untung saya ada disana, saya bisa menuliskan pengalaman saya untuk media dan dapet duit". Apapun situasinya orang yg beruntung pokoknya untung terus. Mereka dengan cepat mampu beradaptasi dengan situasi buruk dan merubahnya menjadi keberuntungan.

Sekolah Keberuntungan

Bagi mereka yang kurang beruntung, Prof Wiseman bahkan membuka Luck School. Saya yakin Anda semua sudah beruntung dan tidak perlu bersekolah di Luck School. Tapi ada baiknya mengintip sedikit, latihan2 apa yang diberikan di Luck School.

Salah satu yang menonjol dari orang sial adalah betapa mereka sering mengabaikan hal-hal yang positif di sekitar mereka. Misalnya salah satu pasien Prof Wiseman, adalah seorang wanita single parent, yang sangat sial. Ketika diminta menceritakan hidupnya akan segera nyerocos menceritakan setiap detil kesialannya. Betapa sulitnya memperoleh pasangan, sudah ketemu pria yang cocok tapi si pria jatuh dari motor, di lain kesempatan si pria jatuh dan patah hidungnya, sudah hampir menikah, gereja nya terbakar, dan sebagainya. Pokoknya benar2 sial. Padahal, dalam setiap interview, si wanita datang membawa 2 orang anak yang sangat lucu2 dan sehat. Sebagian besar dari kita akan merasa sangat beruntung memiliki 2 anak tadi. Tapi tidak bagi si wanita sial tadi. Karena 2 anak lucu tadi tidak ada dalam pikiran si wanita, yang otaknya sudah penuh dengan "kesialan".

Latihan yang diberikan Wiseman untuk orang2 semacam itu adalah dengan membuat "Luck Diary", buku harian keberuntungan. Setiap hari, wanita tadi harus mencatat hal-hal positif atau keberuntungan yang terjadi. Mereka dilarang keras menuliskan kesialan mereka. Awalnya mungkin sulit, tapi begitu mereka bisa menuliskan satu keberuntungan, besok-besoknya akan semakin mudah dan semakin banyak keberuntungan yg mereka tuliskan. Dan ketika mereka melihat beberapa hari kebelakang Lucky Diary mereka, semakin mereka akan sadari betapa mereka beruntung. Dan sesuai prinsip "law of attraction", semakin mereka memikirkan betapa mereka beruntung, maka semakin banyak lagi lucky events yang datang pada hidup mereka.

Jadi, sesederhana itu rahasia si Untung. Ternyata semua orang juga bisa beruntung. Termasuk Anda. Siap mulai menjadi si Untung hari ini?

Posted by Fauzi Rachmanto at 11:21 AM

Tentang Beruntung (2 dari 3): Donal Bebek

jadi intinya spontan, just do it.. kah ?
jadi ingat sebuah pelatihan kerja sama, dimana kita dilatih untuk menyamakan frekuensi dengan cepat dengan rekan kerja kita agar segala gerak langkah kita seiring seirama..  intinya juga begitu, just do it.. menakjubkan juga, betapa mudahnya ternyata (dalam pelatihan itu) kami mengatasi sekat-sekat komunikasi (yang dalam pelatihan model lain dibahas panjang lebar), menyampaikan pesan, dan bahkan menebak maksud lawan komunikasi kita tanpa harus menyebut/melihat/memberi petunjuk spesifik tentang apa yang dimaksud.

barangkali saja hal itu juga bisa diterapkan dalam hal ini. mungkin. seandainya salah, mohon maaf saya bukan mentalis (hush ! dilarang mengutip R...S....!! --joking)

salam, ari ams

original article: http://sepia.blogsome.com/2005/08/07/faktor-keberuntungan/


August 7, 2005

Faktor Keberuntungan


Donal bebek selalu sial, kenapa si Untung selalu beruntung?

Luck factor. Faktor keberuntungan. Hoki. Untung. Bejo.

Inilah sebutan untuk kejadian misterius yang sering diharapkan orang. Apakah hoki itu memang ada? Kalau ya, apakah kita dapat meningkatkan faktor keberuntungan diri kita?

Pertanyaan semacam itulah yang menggerakkan Profesor Richard Wiseman, psikolog dari University of Hertfordshire, Inggris, untuk meneliti perbedaan antara mereka yang sering beruntung dan mereka yang selalu sial.

Masalah pertama adalah tentang pertanda-pertanda sial seperti angka, lokasi tangga dan sebagainya. Penelitian organisasi survey Gallup terhadap 1000 orang Amerika apakah mereka percaya dengan hal-hal yang mistik menunjukkan bahwa 53% agak percaya, 25% sangat percaya. Survey lainnya menghasilkan data bahwa 72% orang di Amerika percaya dengan minimal memiliki sebuah jimat.

Namun tak dapat dipungkiri bahwa beda budaya beda pula sumber peruntungannya. Angka 13 yang bagi orang barat adalah sesuatu yang membawa kesialan, ternyata tidak berlaku bagi orang Cina yang lebih percaya bahwa angka 4 lah pembawa kesialan. Bagaimana kalau di masyarakat yang tidak mengenal angka berbasis 10? Artinya, kepercayaan tersebut tidak berlaku universal di seluruh dunia, namun terkait dengan kebudayaan tertentu.

Profesor Wiseman melakukan percobaan kecil dengan memberikan jimat kepada sekelompok orang untuk mengetahui efek dari jimat terhadap keberuntungan. Setelah beberapa minggu, dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah membawa jimat, Wiseman menemukan bahwa tidak ada sama sekali pengaruh jimat. Bahkan beberapa orang menyatakan merasa semakin sial dengan jimat tersebut dan kemudian mengembalikannya.

Akhirnya Wiseman membuat penelitian dengan mengundang 400 orang yang telah dikumpulkan dari pemasangan iklan di koran dan majalah selama setahun. Orang-orang tersebut sebagian adalah orang yang sering beruntung, sebagian adalah 'pembawa sial'. Umurnya bervariasi dari siswa 18 tahun hingga pensiunan akuntan 84 tahun, pekerjaannya pun bervariasi dari pebisnis, pekerja pabrik, guru, dokter, salesman, hingga pramugari.

Percobaan awal cukup sederhana. Semua diberi koran khusus dan diminta menghitung berapa foto yang ada dalam koran tersebut. Hasilnya luar biasa. Rata-rata mereka yang sial membutuhkan waktu 2 menit, sedangkan kelompok beruntung hanya memerlukan beberapa detik saja. Mengapa bisa demikian?

Wiseman secara sengaja telah menaruh di halaman 2 koran tersebut sebuah tulisan berbunyi "Stop counting - There are 43 photographs in this newspapaer." Tulisah tersebut mengambil separuh halaman koran dan ditulis dengan huruf lebih dari 2 inci tingginya. Semua orang akan melihat langsung tulisan itu tepat di hadapan mereka. Anehnya mereka yang sial mengabaikan tulisan tersebut! Biar lebih lucu, Wiseman menaruh tulisan yang mirip di halaman lainnya dengan bunyi, "Stop counting, tell the experimenter you have seen this and win $250." Lagi-lagi mereka yang sial mengabaikannya karena sibuk menghitung foto di sepanjang koran tersebut. Kasihan.

Tes kepribadian menunjukkan bahwa mereka yang sial adalah orang yang relatif lebih tegang dan cemas dibanding mereka yang beruntung. Riset menunjukkan bahwa kecemasan menghentikan kemampuan seseorang dalam memperhatikan sesuatu yang tidak disangkanya. Ketika seseorang bekerja terlalu keras kepada sesuatu, mereka semakin sedikit memperhatikan yang lain. Dan begitulah halnya dengan keberuntungan, mereka yang tidak beruntung sering kehilangan kesempatan untuk beruntung karena mereka 'terlalu fokus' mencari hal lainnya. Mereka datang ke pesta untuk mencari pasangan sempurna sehingga luput mendapatkan kawan baik. Mereka membuka koran mencari pekerjaan yang sesuai dengan mereka sehingga luput melihat kesempatan yang lain. Orang yang beruntung lebih santai dan terbuka. Mereka melihat apa yang tersedia dan bukan sekedar mencari apa yang mereka mau.

Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa orang beruntung mempunyai kebiasaan mencari hal-hal baru untuk meningkatkan peluang keberuntungan. Orang yang beruntung mencaoba variasi baru dalam hidupnya. Seorang partisipan sering mencoba rute baru menuju tempat kerjanya. Partisipan lainmengatakan bahwa untuk membuat variasi maka bila dia pergi ke pesta maka dia akan memaksa diri untuk bicara dengan orang berbaju warna tertentu. Misalnya kali ini akan bicara dengan wanita yang berbaju merah, kali lain hanya dengan laki-laki berbaju hitam.

Walaupun mungkin aneh, kebiasaan mencoba situasi baru memungkinkan munculnya peluang baru. Psikolog Stanford Alfred Bandura berkisah tentang pengalaman dirinya. Suatu ketika sebagai mahasiswa S-2 dia merasa bosan dengan tugas-tugas kuliah, maka bersama temannya dia mencoba main golf. Ternyata saat golf mereka bertemu dengan dua gadis cantik yang juga golf. Akhirnya mereka main golf berempat. Setelah itu Bandura mengatur pertemuan kembali dengan salah satu gadis tersebut, dan akhirnya mereka menikah. Kesempatan bertemu di golf mengubah jalan hidup Bandura.

Sesuatu yang baru membuka peluang yang baru. Ini dapat diibaratkan Anda masuk ke sebuah perkebunan apel yang sangat besar. Awalnya akan mudah bagi Anda untuk sembarang masuk dan menemukan apel di sana. Namun lama kelamaan apel di tempat yang sering Anda masuki menjadi semakin jarang, sehingga mendapatkan apel menjadi semakin sulit. Bayangkan Anda untuk mau mencoba wilayah lain kebun tersebut, maka Anda meningkatkan kemungkinan mendapat apel yang lain. Bayangkan selalu bertemu dengan orang yang sama, bicara hal yang sama, pergi ke tempat yang sama, dan melakukan hal yang sama. Tentu peluang yang dihadapi menjadi tetap sama. Pengalaman baru, bahkan bila random, akan meningkatkan potensi menemukan peluang baru.

Artikel selanjutnya : Menyikapi Nasib Buruk

http://www.luckfactor.co.uk

Tentang Beruntung (1 dari 3): Meningkatkan Keberuntungan

beruntung itu sebenarnya kejadian untung-untungan
atau sebenarnya ada sesuatu di balik keberuntungan seseorang itu
yang kita biarkan tersembunyi tidak terdeteksi sehingga tidak bisa dipelajari dan diambil hikmahnya ?

salam, ari ams


original article: http://sepia.blogsome.com/2007/02/21/meningkatkan-keberuntungan/

 

February 21, 2007

Meningkatkan keberuntungan

Filed under: Kecerdasan Power, Kecerdasan Aspirasi, Kiat, Topik Personal


Bill Gates dari Microsoft beruntung, IBM tidak menyadari betapa hebatnya masa depan komputer pribadi. Karena itu IBM setuju untuk membayar jasa pembuatan sistem operasi MS-DOS sebesar 1 juta dolar, sementara Bill Gates boleh tetap menjualnya ke pihak lain. Sepuluh tahun kemudian Bill Gates menjadi orang terkaya di dunia.

Steve Jobs dari Apple juga beruntung. Para petinggi Xerox tidak tahu bahwa benda bernama 'mouse' dan GUI (Graphical User Interface) yang dibuat oleh para jenius Xerox adalah harta karun tak ternilai yang terpendam. Xerox dengan ringan hati memberikannya kepada Apple keberuntungan jutaan dolar dengan lahirnya Macintosh yang menggunakan mouse tersebut.

Demikian pula disampaikan John Beck penulis DoCoMo, Japan's Wireless Tsunami bahwa menurut para pendiri DoCoMo mereka bisa sukses karena keberuntungan. DoCoMo beruntung karena punya pemimpin visioner Keiji Tachikawa, presiden perusahaan yang tidak sabaran Kouji Ohboshi, anak buah yang punya daya kreasi meluap Keiichi Enoki, juga talenta tinggi Mari Matsunaga. Dalam satu kondisi yang unik mereka mampu melejitkan DoCoMo dari divisi telepon di dalam mobil yang merugi, menjadi perusahaan telpon seluler yang paling berhasil berjualan data melalui layanan i-mode dan FOMA (yang hingga sekarang masih gagal ditiru perusahaan lain di dunia).

Bagaimana mereka bisa beruntung? Mengapa perusahaan seluler sejenis DoCoMO di Amerika maupun Eropa gagal mengambil keuntungan serupa padahal mengeluarkan biaya investasi yang juga sama besar? Jawabnya, kata John Beck, adalah keberuntungan. It's about luck. DoCoMo beruntung internet belum populer di masyarakat Jepang waktu itu. Beruntung pula sedang terjadi krisis ekonomi sehingga perbankan sangat antusias menyambut sistem pembayaran melalui i-mode. Beruntung juga belum ada standard. Beruntung memilih c-HTML dan bukan WAP sebagai format i-mode. Juga beruntung dengan adanya kartun Bandai di Jepang.

Dan inilah dia, Bandai lah nyawa tak disangka dari i-mode. Sebelumnya para ahli strategi bisnis i-mode menembak sasaran para profesional yang memerlukan layanan perbankan. Layanan ini disambut antusias, namun tidak banyak. Yang justru populer adalah hal remeh yang sebelumnya tak disangka : ringtone dan screensaver. Dan para ahli strategi bisnis DoCoMo segera menerima kenyataan, layanan ideal dan keren buat para profesional itu bukanlah penggerak utama. Justru layanan kelas rakyat yang kurang keren bernama ringtone dan screensaver itu. Lalu Bandai datang dengan tak disangka, mereka punya produk mainan semacam berjudul WonderSwan yang merupakan networking game dan bisa dimainkan lewat internet. WonderSwan inilah killer application seperti halnya spreadsheet VisiCalc di jaman awal munculnya PC. Sejak saat itu Bandai menjadi terdekat i-mode DoCoMo.

Andai DoCoMo lahir di Indonesia, mungkinkah i-mode melejit seperti itu? Andai dia lahir di Eropa, mungkinkah dia bertemu Bandai? Andai dia di Amerika, mungkinkah orang peduli untuk mengakses internet lewat layar supermini di ponsel (sementara sudah terbiasa dengan layar lebar di komputer)? It's about luck.

Dan ini yang menarik, keberuntungan menempel pada orang! Semua kondisi menguntungkan itu ada di Jepang, tapi kenapa DoCoMo yang berhasil memanfaatkannya? Karena orang-orang yang memegang posisi kunci di DoCoMo mampu segera mengenali peluang keberuntungan itu.

Setiap hari kita semua bertemu peluang. Orang yang hari ini Anda temui mungkin membawa peluang. Bis yang Anda tumpangi, juga membawa peluang. Beras mahal yang terjadi saat ini, juga membawa peluang. Semua kejadian random (yang sebenarnya tidak random karena ada ketentuan takdir Tuhan) menciptakan banyak peluang. Orang-orang tertentu ternyata lebih mampu menarik keuntungan dari peluang itu. Inilah si orang-orang beruntung.

Survey yang dilakukan Jencks dan kawan-kawan dari Educational Policy Research at Harvard di awal tahun 1970 menunjukkan bahwa hanya 12 hingga 15 persen saja orang yang lebih inferior dibanding orang lain. Umumnya setara. Maka, kalau Anda sekarang bekerja, sadarilah bahwa banyak orang yang setara dengan Anda dan tidak seberuntung Anda. Ada faktor 'luck' yang menyebabkan Anda diterima, lainnya tidak. Banyak kenyataan, bila ada dua lulusan perguruan tinggi yang sama-sama hebat, yang satu beruntung mendapat tempat kerja yang nyaman, gaji besar, dan penuh dukungan terhadap kebebasan berkreasi, sementara satu yang lainnya mendapat tempat kerja yang sulit, atasan yang sinis, bergaji kecil pula. Padahal mereka itu relatif setara, bahkan bisa jadi orang kedua tadi lebih pintar, lebih tekun, dan lebih hebat. Sayangnya orang ini kurang beruntung!

Meningkatkan keberuntungan

Sekeping uang tergeletak di jalan. Donald Bebek melewati jalan itu. Dia tidak tahu ada uang tergeletak di jalan. Si Untung Bebek melewati jalan yang sama. Tepat dua langkah sebelum uang tersebut dia tak sengaja melihat ke bawah. "Nemu uang!" kata si Untung. Uang yang sama, di jalan yang sama, dengan kondisi yang relatif sama. Dan si Untung yang beruntung. (Donald juga masih beruntung, dia punya pacar yang cantik dan baik bernama Desi bebek. Mungkin si Desi ini yang paling tidak beruntung. Haha)

Orang dengan jenis si Untung ini mungkin memiliki kemampuan seperti halnya Panji, si pawang ular, yang bisa mendeteksi keberadaan seekor ular dari jarak jauh. Namun saya yakin juga dia punya karakter yang menjadikannya beruntung (salah satunya adalah sikapnya yang optimis dan gembira sehingga membuat segalanya tampak menguntungkan, dan jadilah keberuntungan datang betulan kepada dia).

Saya percaya bahwa kita bisa meningkatkan keberuntungan. Dengan kecerdasan aspirasi, kita menjadi peka terhadap semua hal yang membantu terwujudnya impian kita. Dengan kecerdasan spiritual kita yakin bahwa kejadian yang tampak random itu sebenarnya bukanlah random (Tuhan Maha Mengatur), sehingga kita yakin bahwa do'a menjadi penting untuk menarik 'keberuntungan', sedekah menjadi penting untuk menarik keberuntungan, berbuat baik juga menjadi penting untuk menarik keberuntungan, dan sebagainya. Dengan kecerdasan power kita menjadi peka terhadap peluang yang bisa dimanfaatkan. Dengan kecerdasan emosi, kita jadi mau untuk menindaklanjuti peluang yang terbuka. Dan kreatifitas daya cipta kecerdasan intelektual membuat kita mampu mengatasi problem-problem yang muncul.

Keberuntungan itu seperti bermain sepakbola. Kita punya tujuan yang jelas, yaitu mencetak gol. Lalu sebagai pemain kita harus terus bergerak mencari posisi yang menguntungkan. Suatu ketika bola –mungkin- akan lewat di depan kita (ini namanya keberuntungan!). Kita tendang, dan… belum gol. Lalu kita berlari-lari lagi mencari posisi, dan menyiasati gerakan lawan. Lalu bola melintas lagi di depan kita. Kita tendang, dan… gol! Jika kita punya cita-cita (aspirasi), punya semangat dan keyakinan (spiritual), punya ketabahan (emosi), punya siasat (power), dan punya kemampuan menendang ala David Beckham (intelektual), maka kondisi lapangan dan permainan saat itu bisa mendatangkan keberuntungan bagi kita. (Selanjutnya kenapa Beckham lebih laris sebagai bintang iklan dibandingkan Figo, dsb, yah itulah keberuntungan dari Yang di Atas, yang ini sih belum bisa dimodelkan.)

Dan DoCoMo beruntung memiliki orang-orang yang bisa menarik keberuntungan datang kepadanya. It's about luck.

Link yang sesuai : Faktor keberuntungan