Wednesday, July 4, 2007

Si Bodoh (part 03)


Sebagai sequel dari tulisan yang lalu, Kembali tentang seseorang yang sering dianggap tolol tapi keras kepala. Siapa lagi kalau bukan Guo Jing (aka Kwee Ceng) dalam The Legend of Condor Heroes. Kali ini, kita akan menandingkan Guo Jing dengan seorang yang sering disebut-sebut pahlawan, tokoh legendaris, penakluk. Siapa lagi kalau bukan ayah angkatnya, Temujin atau Jenghiz Khan. Kha Khan bangsa Mongol.

Berikut ini adalah kutipan percakapan episode akhir cerita itu
dikutip dari http://serialsilat.tungning.com/lpr_haru.php
 
 
SIA TIAUW ENG HIONG (MEMANAH BURUNG RADJAWALI)
Dituturkan oleh: Aulia, Jilid Ke-XIX, Halaman 1606-1608

Jenghiz Khan menahan kudanja, ia memandang ke empat pendjuru.

"Anak Tjeng," ia berkata, "negara besar jang aku membangunnja, berdjaman-djaman tidak ada bandingannja! Dari tengah-tengah negaraku ini untuk sampai di daerah paling udjung di sekitarnja, di timur dan selatan, di barat dan utara, semuanja seperdjalanan satu tahun lamanja! Kau bilang, di antara pendekar-pendekar di djaman dulu hingga di djaman sekarang ini, siapakah jang dapat melawan aku?"

Kwee Tjeng berdiam sekian lama, baru ia menjahut: "Di dalam halnja kegagahan, semendjak dulu hingga sekarang ini, tidak ada orang jang dapat menandinginja, hanjalah, oleh karena keangkaran Khan seorang, maka di kolong langit ini entah telah bertumpuk berapa banjak tulangbelulang putih serta mengalirkan airmatanja setahu berapa banjak anak-anak piatu dan djanda..."

Sepasang alisnja Jenghiz Khan bangun berdiri, tjambuknja menjambar ke pundak si anak muda!

Kwee Tjeng melihat itu, ia tidak takut, ia berdiam sadja.

Tjambuk itu berhenti di tengah udara.

"Apa kau bilang?" membentak pendekar mongolia itu.

Kwee Tjeng berpikir: "Setelah hari ini dan selandjutnja, pasti aku dan khan ini tidak bakal bertemu pula, maka itu biarnja dia bakal djadi gusar sekali, apa jang aku pikir mesti aku mengutarakannja!" Maka ia menjahuti dengan gagah: "Khan jang agung! Kau telah memelihara aku dan mendidik aku, kau djuga telah memaksakan kematiannja ibuku! Tapi itulah budi dan dendaman pribadi, tak usahlah itu dibitjarakan! Sekarang aku hendak tanja kau dengan satu pertanjaan sadja: "Kalau seorang telah mati dan dia dikubur di dalam tanah, berapa luas dia dapat tanah kuburannja itu?"

Jenghiz Khan melengak, lalu ia mengajun bundar tjambuknja. "Itulah lebih-kurang seluas ini," sahutnja.

"Benar," berkata Kwee Tjeng. "Sekarang kau telah membinasakan demikian banjak orang, kau telah mengalirkan demikian banjak darah, kau djuga telah merampas demikian banjak negara, di achirnja, apakah gunanja semua itu?"

Khan jang agung itu, pendekar dari Mongolia, berdiam. Tidak dapat ia membuka mulutnja.

Kwee Tjeng berkata pula: "Pendekar djaman dahulu hingga djaman sekarang ini, mereka jang dikagumi orang djaman belakangan, mesti dia jang telah membuatnja rakjat berbahagia dan jang menjinta rakjatnja! Menurut pandanganku sendiri, siapa jang membunuh banjak orang, belum tentu dialah satu pendekar!"

Dengan "pendekar" itu, Kwee Tjeng maksudkan "eng hiong."

"Apakah seumurku aku belum pernah mealkukan pekerdjaan baik?" khan itu tanja.

"Pekerdjaan baik itu pasti ada dan djuga besar sekali," mendjawab Kwee Tjeng. "Kau telah menerdjang ke Utara, kau telah menumpuk majat setinggi gunung, apakh itu jang dinamakan djasa atau dosa, itulah sukar dibilang..."

Kwee Tjeng djudjur, maka apa jang ia pikir lantas ia mengutarakannja.

Jenghiz Khan besar kepala, ia biasa merasa puas akan dirinja sendiri, sekarang di saat-saat dari hari achirnja, ia mesti mendengar kata-kata tadjam itu, ia tidak dapat kata-kata untuk membilang suatu apa. Ia lantas membajangi segala perbuatannja duludulu. Ia pun memandang kelilingan. Ia merasa seperti kehilangan sesuatu. Lewat lagi sesaat, mendadak ia berseru: "Oweh!" dan memuntahkan darah hidup!

Kwee Tjeng kaget. Ia lantas mengerti bahwa barusan ia telah bitjara terlalu tadjam. Ia lantas mempepajang pendekar itu.

"Kha Khan, mari kita pulang untuk beristirahat," katanja. "Barusan aku telah salah omong, harap dimaafkan."

Tapi Jenghiz Khan tertawa, tawar tertawanja, parasnja pun menjadi kuning-pias. "Orang di kiri-kananku," katanja, "tidak seorang djuga jang bernjali besar sebagai kau, jang berani omong padaku setjara begini djudjur."

Ia lantas mengangkat alisnja, ia kelihatan djumawa. Ia kata njaring: "Seumurku aku telah malang-melintang di kolong langit ini, aku telah memukul musna negara lain tak terhitung banjaknja, tetapi menurut kau, aku bukannja satu pendekar! Hm, sungguh kata-katanja seorang botjah!"

Ia mentjambuk kudanja, ia melarikannja pulang.

* * *

Malam itu Jenghiz Khan berpulang ke lain dunia di dalam Kemah Emasnja, maka menurut pesannja jang terachir, Ogotai menggantikan ia mendjadi khan jang maha agung. Di saat napasnja terachirnja, beberapa kali ia menjebut-njebut: "Pendekar... Pendekar..." Rupanja ia terpengaruh sangat perkataannja Kwee Tjeng.

Kwee Tjeng dan Oey Yong menanti sampai upatjara permakaman selesai, di itu hari djuga mereka pulang ke Selatan. Di sepandjang djalan, hati mereka bukan main terharunja, sebab mereka melihat di antara rumput-rumput tebal tak sedikit tulang-belulang putih kurban bentjana perang. Mereka ngelamun, kapan akan datangnja djaman aman-sentosa hingga rakjat dapat hidup aman dan berbahagia...


- Tammat -


Kalau membaca ini, mungkin Guo Jing sebenernya ngga bodoh. Mungkin dia malah lebih bijaksana daripada saya, yang mungkin (mungkin lho..) kalau saja diberi kesempatan untuk melahap dunia mungkin akan saya lakukan saking maruknya..